Ibn Hajar: Peringatan Maulid Nabi SAWW Memiliki Dasar yang Kuat

Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan bahwa peringatan maulid memiliki dasar serta landasan yang jelas, sehingga tidak dapat digolongkan kedalam amalan bid’ah.

Pada tulisan kali ini akan diajukan dalil lainnya yang dapat menopang dalil sebelumnya. Dalil yang akan dimuat kali ini adalah apa yang disebutkan oleh Ibn Hajar sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Hawi Li al-Fatawa:

“Sungguh telah ditanya Syaikhul Islam, hafiz zaman ini, Abu al-Fadhl Ahmad bin Hajar tentang peringatan maulid, lalu beliau menjawab yang muatannya sebagai berikut: dasar amalan maulid adalah bid’ah karena tidak pernah diberitakan oleh seorangpun dari kalangan salaf yang shaleh pada tiga abad pertama. Sekalipun demikian peringatan tersebut bisa saja mengandung kebaikan dan keburukan. Barang siapa yang bisa melaksanakan kebaikan padanya dan menjauhi amalan buruknya, ia akan menjadi bid’ah Hasanah. Jika tidak demikian maka tidak (menjadi bid’ah hasanah). Ia berkata: sungguh telah nyata bagiku pengeluaran hukumnya atas dasar dalil yang kokoh; iaitu apa yang terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim, di mana Nabi Muhammad SAWW tiba di Madinah dan mendapati kaum Yahudi melakukan puasa pada hari Asyura lalu ia bertanya kepada mereka. Mereka menjwab: hari ini adalah hari di mana Allah SWT menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa AS, maka kami puasa padanya sebagai rasa syukur kepada Allah. Dapat disimpulkan darinya (kisah di atas) perbuatan syukur kepada Allah SWT atas pemberian keamananNya pada hari tertentu baik berupa pemberian nikamat maupun pencegahan bencana. Dan hal itu diulang pada hari yang sama setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan berbagai bentuk ibadah seperti: sujud, puasa, sedekah dan membaca al-Quran. Nikmat apa yang lebih besar dari kelahiran Nabi pembawa rahmat pada hari tersebut? Atas dasar ini setiap orang harus menjaga dengan tepat hari ini, sehingga sesuai dengan kisah Musa AS pada hari Asyura. Barang siapa yang tidak memperhatikan hal itu, berarti ia tidak mengindahkan peringatan maulid pada hari yang tepat di bulan tersebut, bahkan ada kalangan yang melonggarkanya, sehingga mereka memindahkan harinya. Dan hal itu bermasalah. Ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan dasar peringatannya.

Adapun yang berkaitan dengan amalan yang dilakukan padanya, selayaknya untuk fokus pada hal-hal yang merupakan bagian dari ekspresi rasa syukur kepda Allah SWT. Seperti yang telah disebutkan, baik berupa bacaan al-Quran, pemberian makan, sedekah, melantunkan puji-pujian kenabian maupun kezuhudan yang menggerakkan hati untuk melakukan perbuatan baik dan amal akhirat. Adapun yang menyertainya seperti pertunjukan dan permainan dan lain-lain, perlu disampaikan bahwa, hal-hal mubah (dibolehkan) yang layak dengan hari itu tidak ada masalah. Dan hal-hal yang haram, makruh dan khilaf al-aula (menyalahi yang yang lebih baik), adalah terlarang.[1]”

Dari pernyataan Ibn Hajar di atas dapat dipahami bahwa, walaupun pada awalnya ia menyatakan bahwa peringatan maulid adalah amalan bid’ah karena tidak ada pernyataan salafussaleh tentang hal itu, namun pada pernyataan berikutnya beliau mengatakan bahwa amalan tersebut memiliki dalil istinbat yang kokoh. Dengan begitu, peringatan maulid tidak lagi dapat digolongkan sebagai amalan bid’ah.

Dalil tersebut berupa riwayat yang diabadikan oleh Bukhari dan Muslim tentang puasa Asyura yang dilakukan oleh kaum Yahudi karena rasa syukur atas tenggelamnya Firaun dan diselamatkannya nabi Musa AS. Dengan alasan yang sama, nabi Muhammad juga memerintahkan ummatnya untuk melakukan puasa pada hari tersebut karena beliau menganggap lebih pantas melakukan hal itu dari kaum Yahudi.

Berangkat dari hadits di atas Ibn Hajar menyimpulkan bahwa peringatan maulid yang juga didasari atas rasa syukur kepada Allah SWT, merupakan hal yang dianjurkan karena nikmat kelahiran Nabi SAWW lebih besar dan agung dari nikmat selamatnya kaum Yahudi dari cengkraman Firaun.

Pun demikian, Ibn Hajar juga memberikan peringatan agar peringatan tersebut tidak dinodai dengan hal-hal yang dilarang oleh agama. dan hanya melakukan amalan-amalan yang sejalan dengan ekspresi rasa sykur kepada Allah SWT.

[1] Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, al-Hawi li al-Fatawa, jil:1, hal: 196, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, 1982 M.