Syekh Husnain Muhammad Makhluf: Merayakan Maulid Tidak Masalah dan Bid’ah Hasanah

Kelahiran nabi Muhammad saw merupakan momen yang menggembirakan bagi semua orang yang mendambakan nilai-nilai keadilan serta ajaran kebenaran. Sebab wujud beliau saw dimulai dari sejak dini hingga akhir hayatnya merupakan sosok yang berjuang demi nilai-nilai itu serta mengajarkannya pada masyarakat.

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa apa yang sampai pada kita saat ini pun merupakan buah dari usaha beliau saw selama hidupnya. Sehingga dengan hal tersebut kita dapat mengenal kebenaran kemudian mengerjakannya dan keburukan kemudian meninggalkannya.

Oleh sebab itu meskipun terpaut jarak waktu yang sangat jauh dengan kita, namun pada kenyataannya wujud beliau memiliki sebuah peran yang sangat besar dalam kehidupan kita. Sehingga bagi kita yang seorang muslim khususnya, sosok beliau adalah sebuah nikmat besar yang telah diberikan Allah swt pada kita.

Bertolak dari pandangan yang melihat beliau sebagai sebuah nikmat besar ini, maka sudah sepantasnya secara logis bahwa hal tersebut disyukuri. Tentunya ekspresi syukur dalam hal ini memiliki bentuk yang beragam, dan salah satunya adalah dengan perayaan maulid yang sering kita temukan, yakni bergembira dengan mensyukuri lahirnya wujud sang pembawa hidayah.

Dalam kasus ini banyak ulama yang melihat perayaan maulid itu sebagai wujud dari rasa syukur kepada Allah swt dan ekspresi kecintaan atas sosok agung nabi Muhammad saw. Sehingga apabila dilihat dengan sudut pandang ini, maka perayaan maulid ini adalah hal yang baik. Seperti halnya yang sudah kami ulas dalam beberapa tulisan sebelumnya.

Hal ini juga dinyatakan oleh seorang ulama dari mesir, Syekh Husnain Muhammad Makhluf (1890-1990). Ia merupakan seorang ahli di bidang fikih dan pernah menjabat menjadi seorang mufti besar pada tahun 1945-1950 dan 1952-1954. Dalam kitab fatwanya yang dinukil dalam kitab Ad-Durrul Maknun, ia menyebutkan:

Sesungguhnya menghidupkan malam maulid dan malam-malam dari bulan yang mulia ini -yang mana telah terbit darinya cahaya Muhammadi-, hanyalah dengan berdzikir dan bersyukur pada Allah atas apa yang telah Ia karuniakan pada umat ini dari munculnya makhluk terbaik ke alam wujud yang mana ia bukanlah sesuatu melainkan berada dalam adab, khusyu dan jauh dari hal-hal haram, bid’ah ataupun yang dilarang. Dan diantara perwujudan syukur adalah memberi makanan yang disukainya kepada orang fakir dan yatim serta membantu orang-orang yang memiliki hajat dengan meringankan beban mereka juga menyambung silaturahmi. Dan menghidupkan (maulid) dengan cara seperti ini meskipun tidak ada pada masa beliau saw dan juga pada masa para salaf saleh, merupakan hal yang tidak bermasalah serta bid’ah hasanah.[1]

Dari penjelasannya di atas bisa kita simpulkan bahwa perayaan maulid selama itu dilakukan dengan hal-hal yang sesuai dengan ketentuan syariat, meskipun hal ini tidak pernah ada pada masa nabi maupun salaf maka hal tersebut tidak masalah bila dikerjakan, serta alasan lainnya yang dijadikan dalil olehnya adalah bid’ah hasanah.

[1] Ad-Durrul Maknun, hal: 44, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut.