Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengenal Ishmah atau Kemaksuman dalam Bahasa

1 Pendapat 05.0 / 5

Pembahasan kenabian sangat berkaitan erat dengan ishmah atau kemaksuman, yang mana hal tersebut secara umum dipahami sebagai sebuah kondisi dimana orang yang memiliki ishmah atau yang disebut maksum, terhindar dari kesalahan dan dosa.

Persoalan ishmah atau kemaksuman ini menjadi penting dikarenakan ia merupakan salah satu pembahasan mendasar dalam mengkaji masalah kenabian yang merupakan salah satu pilar dalam keyakinan atau akidah Islam. Hal tersebut biasanya banyak dikaji dan diperdebatkan dalam kaitannya dengan peran para nabi sebagai pembimbing, pengajar serta figur yang patut dicontoh bagi manusia.

Salah satu diantaranya adalah nabi Muhammad saw, yang mana secara jelas dan terang-terangan sosok beliau diperkenalkan dalam surat Al-Ahzab ayat 21 sebagai suri tauladan dan panutan bagi umat manusia.

Oleh sebab itu dalam hal ini penting sekali bagi kita mengenal apa itu ishmah, seperti apa dan bagaimana. Sebab dengan mengenalnya secara benar, maka sebagai kelazimannya, kita pun akan benar pula dalam mengenal dan memahami sosok nabi Muhammad saw, sebagai seorang maksum dan figur contoh bagi kita.

Tentunya para ulama dengan kapasitas serta kemampuannya masing-masing berupaya menguak kebenaran yang ada dalam persoalan ini, akibatnya adalah mereka memiliki pandangan yang beragam dalam kasus tersebut, sehingga hasilnya pun membuat setiap dari mereka memiliki cara pandang dan keyakinan tersendiri dalam menggambarkan Baginda Nabi sebagai pribadi yang maksum.

Sebelum masuk kedalam inti pembahasan ini, serta memilah pandangan yang tepat dari berbagai pandangan yang ada, alangkah baiknya jika kita membekali diri dengan pengenalan terhadap beberapa mukadimah, seperti pengenalan ishmah secara bahasa sebagaimana yang akan kita bahas kali ini.

Di dalam Kitabul Al-Ain, salah satu kamus tertua bahasa arab yang ditulis oleh Al-khalil bin Ahmad Al-Farahidi (170 H), ishmah diartikan sebagai berikut:

العِصْمَةُ: أن يَعْصِمَك الله من الشر،أي:يدفع عنك

Ishmah adalah (ketika) Allah swt menjagamu dari keburukan, yakni melindungimu.[1]

Adapun Ibnu Faris (395 H) dalam kitabnya Mujam Maqayisil Lughah menyebutkan:

Ain, Shad dan Mim memiliki satu akar (makna) yang menunjukan pada penahanan, pencegahan dan watak dasar dan maknanya dalam hal itu semuanya bermakna satu. Darinya lafal Ishmah: (ketika) Allah swt menjaga hamba-Nya dari keburukan yang mana ia dapat terjatuh kedalamnya.

Ishmah adalah segala sesuatu yang mana engkau dengannya dapat terjaga atau terlindungi. Wa A’shamahut Tha’amu artinya makanan itu menjaganya dari kelaparan.[2]

Dari kedua pemaparan di atas secara jelas dapat kita ambil kesimpulan bahwa ishmah secara bahasa memberikan makna penjagaan yang mana tentunya makna secara bahasa ini bersifat umum, lain halnya dengan makna istilah yang biasanya lebih khusus kepada suatu hal sebab memiliki syarat-syarat tertentu. Namun meski demikian hal ini tidak menafikan kebutuhan kita untuk merujuk pada sisi bahasa.

Oleh sebab itu berangkat dari ini kedepannya kita akan melihat bagaimana perubahan yang terjadi ketika lafal ishmah ini dijadikan sebagai sebuah istilah. Kemudian juga bagaimana hubungannya dalam hal ini dengan sosok nabi Muhammad saw sebagai pribadi memiliki ishmah, serta apa saja konsekuensinya dalam mengenal pribadi beliau. InsyaAllah semua ini akan dibahas dalam beberapa tulisan yang akan datang.

[1] Al-Farahidi, Al-Khalil bin Ahmad, Kitabul Ain, jil: 1, hal: 313, Muassasah Darul Hijrah.

[2] Ibnu Faris, Abul Husein Ahmad, Mujam Maqayisil Lughah, hal: 751, Darul Ihya’i Turats Al-Arabi, Beirut.