Benarkah Nabi Berwajah Masam?
Mengenal sosok Nabi Muhammad saw melalui ayat Al-Quran maupun riwayat yang mu’tabar merupakan langkah terbaik yang bisa dikerjakan demi tujuan tersebut. Namun kenyataannya hal ini pun bukanlah sebuah pekerjaan yang sederhana, sebab terdapat keterangan-keterangan yang berasal dari kedua sumber tersebut yang seolah bertentangan atau bertolak belakang satu dengan lainnya.
Saat sebagian ayat atau riwayat menjelaskan keagungan serta keluhuran sosok Nabi Muhammad saw dari berbagai sisinya, sebagian ayat atau riwayat lainnya mengandung makna sebaliknya, yakni memperlihatkan seolah pribadi Nabi tidak berbeda dengan selainnya yang terkadang melakukan dosa serta kesalahan.
Di antara ayat-ayat lain yang dianggap menggambarkan kepribadian Nabi Muhammad adalah ayat-ayat yang terdapat pada surat ‘Abasa sebagai berikut:
عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ اَنْ جَاۤءَهُ الْاَعْمٰىۗ وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهٗ يَزَّكّٰىٓۙ اَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرٰىۗ اَمَّا مَنِ اسْتَغْنٰىۙ فَاَنْتَ لَهٗ تَصَدّٰىۗ وَمَا عَلَيْكَ اَلَّا يَزَّكّٰىۗ وَاَمَّا مَنْ جَاۤءَكَ يَسْعٰىۙ وَهُوَ يَخْشٰىۙ فَاَنْتَ عَنْهُ تَلَهّٰىۚ
Dia berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), maka engkau memberi perhatian kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang dia takut (kepada Allah), engkau malah mengabaikannya. (‘Abasa: 1-10)
Dalam riwayat yang terkenal di kalangan musliminin secara keseluruhan, bahwa ayat-ayat di atas secara jelas dimaksudkan terhadap Nabi Muhammad saw. Ketika itu beliau dalam sebuah pertemuan dengan para pembesar Arab Jahiliyah demi mengajak dan menyeru mereka masuk ke dalam Islam.
Tiba-tiba datanglah Abdullah bin Ummi Maktum, seorang yang buta memanggil-manggil nama serta meminta beliau untuk mengajarinya. Perbuatan Abdullah yang memotong pembicaraan Nabi dan menjadi pusat perhatian dalam pertemuan ketika itu, membuat ketidaksenangan pada diri Nabi dan hal ini terlihat pada ekspresi wajah beliau, sehingga turunlah rentetan ayat di atas.
Menanggapi persoalan ini, Syarif Al-Murtadha, salah satu ulama pada generasi mutaqaddimin (terdahulu), menjelaskan bahwa secara zahir ayat di atas -khususnya ayat pertama yang secara jelas mempredikatkan seseorang dengan berwajah masam dan berpaling- tidak menunjukkan secara tegas bahwa sosok yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw, melainkan hal tersebut hanyalah bentuk pengkabaran semata tanpa menyebutkan pelakunya.
Ia juga menambahkan bahwa dalam kasus ini, justru terdapat kemungkinan yang mengarah pada selain Nabi, apabila hal ini diteliti atau dipikirkan secara lebih jauh lagi, mengingat bahwa pemberian sifat serupa ini (bermuka masam) bukan dari sifat-sifat yang dimiliki oleh Nabi yang tercatat di dalam ayat maupun riwayat, bahkan ketika berhadapan dengan musuh-musuh yang menentangnya, terlebih kepada seorang dari kaum mukminin yang menginginkan bimbingan.
Kemudian dengan sifat yang memberikan perhatian terhadap orang-orang yang serba cukup (kaya) dan mengabaikan orang-orang yang miskin, maka hal ini juga sangat jauh dari kepribadian Nabi. Sehingga hal ini tidak sejalan dengan akhlak beliau yang agung dan luas, begitu pula kasih sayang beliau terhadap kaum muslimin.
Lalu ia juga menegaskan bahwa surat ini disebutkan telah turun terhadap seseorang yang bersama Nabi saw ketika itu, meskipun kita ragu mengenai siapa orangnya, namun yang jelas adalah kita tidak boleh ragu bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas bukanlah Nabi Muhammad saw.[1]
Hal serupa juga dilontarkan oleh Allamah Thabathaba’i dalam tafsirnya. Ia juga membawakan ayat-ayat yang menafikan kemungkinan sosok yang dimaksud pada ayat-ayat di atas adalah Nabi Muhammad saw. Seperti ayat-ayat berikut:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Al-Qalam: 4)
Ayat ini turun setelah surat Al-‘Alaq, yang artinya telah turun pada awal-awal Islam lahir. Maka bagaimana bisa Allah swt dalam ayat ini secara mutlak mengakui keagungan akhlak Nabi Saw sementara di kemudian mencelanya kembali atas prilakunya tadi.
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu. (As-Syu’ara’: 215)
Ayat ini juga menyeru Nabi untuk bersikap lembut terhadap orang-orang yang mengikutinya dari kaum mukminin.[2]
Semua ayat di atas turun pada masa-masa awal kelahiran Islam dan berbicara terkait dengan proses dakwah Nabi Muhammad saw. Maka tidak bisa dibayangkan apabila dari sejak itu Nabi bersikap sedemikian rupa (berwajah masam, berpaling, memperhatikan yang kaya, mengabaikan yang miskin) di depan khalayak dan menyebabkan turunnya teguran dengan ayat-ayat di atas. Hal ini seandainya seperti itu terjadi, maka bisa menyebabkan orang-orang yang menyaksikan hal tersebut menjauh dari sisi nabi atau bahkan juga terhadap ajaran yang dibawanya. Dan hal ini tentunya bertolakbelakang dengan falsafah pengutusannya sebagaimana telah kita singgung pada pembahasan-pembahasan yang lalu.
[1] Syarif Murtadha, Abul Qasim Ali bin Husein Al-Musawi, Tanzihul Anbiya, hal: 166, cet: Darul Adhwa.
[2] Thabathabi, Muhammad Husein, Al-Mizan, jil: 20, hal: 223-224, cet: Muassasah Al-Alaami Lil Mathbuaat.