Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Nilai Perbuatan Non-Muslim di Hadapan Allah (Bag 3)

1 Pendapat 05.0 / 5

Tidak diragukan lagi bahwa kufur itu ada dua macam: Kufur dengan menolak dan menentang serta kufur karena kebodohan dan tidak mengetahui kebenaran. Dalam hubungannya dengan bentuk kufur pertama, dalil-dalil qat’i, baik rasional maupun naqli, menegaskan bahwa seseorang yang tahu dan memahami kebenaran, tapi tetap menentang dan mengingkarinya, pasti mendapat siksa. Sedang dalam hubungannya dengan bentuk kufur yang kedua, kita harus mengatakan bahwa kebodohan dan ketidaktahuan seorang mukallaf, secara tidak disengaja, menempatkan orang tersebut pada posisi bisa dimaafkan dan diberi rahmat oleh Allah Swt.

Untuk menjelaskan masalah itu, perlu dibahas persoalan penyerahan diri (taslim) dan pembangkangan (‘inad) secara terperinci. Allah berfirman di dalam Alquran: “Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang­-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (taslim).” (QS. asy-Syu’ara: 88-89)

Syarat utama kesucian hati adalah taslim (tunduk/pasrah) kepada kebenaran. Taslim terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu taslim al-jism (ketundukan fisik), taslim al-‘aql (ketundukan akal), dan taslim al-qalb (ketundukan hati). Ketika dua orang sedang bergulat, dan salah satu di antara mereka ada yang merasa kalah, orang itu dinamakan menyerah (tunduk). Dalam perkelahian seperti itu, apabila salah satu di antara mereka ada yang merasa kalah, pihak yang kalah akan mengangkat tangannya dan tidak akan menyerang lagi. Dia takluk kepada lawannya dengan penuh kepasrahan. Taslim seperti ini hanya bersifat fisik dan lahiriah, karena tidak disertai pikiran dan perasaan, sedangkan perasaannya tetap membangkang. Karenanya, dia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari kekuasaan musuhnya, sambil berniat menguasainya kembali. Sikap seperti ini tetap ada dalam pikiran dan akalnya. Perasaannya tetap kesal terhadap musuhnya. Dengan demikian, taslim fisik tidak bisa diwujudkan kecuali dengan paksaan dan kekuatan.

Tingkatan taslim yang lain adalah taslim akal dan pikiran. Kekuatan yang mampu menguasai akal dan pikiran adalah pembuktian dan penalaran logis. Di sini, kekuatan otot tidak memiliki peran apa pun. Dengan pukulan, misalnya, kita tidak akan meyakinkan seorang murid bahwa jumlah sudut-sudut segitiga itu sama dengan jumlah dua sudut siku-­siku. Kita harus membeberkan bukti kepadanya melalui rumus-rumus matematis, tanpa ada cara selain itu. Dengan demikian, akal akan dipaksa untuk taslim melalui pembuktian dan penalaran. Apabila seseorang mempunyai bukti-bukti memadai untuk disodorkan kepada lawannya, lalu lawannya itu bisa memahami dan menerimanya, ketika itu dia disebut sebagai tunduk, sekalipun seluruh kekuatan di alam ini mencegahnya untuk tunduk.

Ada sebuah cerita terkenal tentang Galileo Galilei. Ketika dia disiksa karena keyakinannya bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari dan bahwa Matahari merupakan pusat perputaran segenap planet, dia diancam akan dibakar hidup-hidup sehingga dia terpaksa menyatakan tobatnya atas keyakinan tersebut. Namun, pada saat yang sama, dia menulis sesuatu di atas tanah. Ketika orang-orang membacanya, mereka mendapati Galileo menulis: “Tobat Galileo tidak akan pernah menghentikan Bumi untuk tetap berputar (mengelilingi Matahari).”

Benar, kekuatan bisa memaksa manusia mencabut kembali ucapan-­ucapannya, tapi akalnya tak akan pernah tunduk dan menyerah, sebelum diyakinkan oleh kekuatan logika dan argumentasi.

Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika kalian memang orang-orang yang benar.” (QS an-Naml: 64)

Tahapan yang ketiga adalah taslim hati. Taslim ini muncul dari keimanan. Dengan demikian, apabila taslim fisik dan taslim akal tidak dibarengi dengan taslim hati, berarti ia tidak beriman. Sebab, taslim hati berarti penyerahan seluruh eksistensi manusia dan penafian semua bentuk kekafiran dan pengingkaran.

Mungkin saja akal dan pikiran seseorang bisa berserah diri di hadapan kekuatan pembuktian dan penalaran tertentu, tapi batinnya tetap menentang. Yang demikian ini terjadi ketika pada dirinya terdapat kondisi kefanatikan, penolakan, dan pembangkangan, atau karena ada kepentingan pribadi yang harus dijaganya. Akibatnya, sekalipun akal dan pikirannya sudah teryakinkan dan terpuaskan oleh kekuatan pembuktian dan penalaran yang terbeber di hadapannya, toh jiwanya tetap menolak dan mengingkarinya. Karenanya, orang itu tidak disebut beriman. Sebab, hakikat iman adalah taslim hati dan jiwa. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam ketundukan (Islam) secara paripurna, dan janganlah kalian mengikuti langkah­-langkah setan. Sesungguhnya, setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. aI-Baqarah: 208)

Maksudnya, janganlah engkau bangkitkan pertentangan antara hati dan akal kalian, dan jangan pula kalian tebarkan peperangan di antara perasaan dan pengetahuan kalian. Kisah setan yang ada dalam Alquran, tak lain, merupakan contoh nyata tentang kekafiran hati dan taslim akal. Pada dasarnya, setan itu mengakui Allah dan beriman kepada Hari Kebangkitan, dan secara jelas mengakui para rasul, washi-nya, dan kedudukan mereka. Tapi, mengapa Allah tetap menyebutnya sebagai kafir? Dia berfirman, “Dan ia termasuk orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah: 34)

Alquran menisbatkan semua pengetahuan mengenai perkara-perkara tersebut kepada setan, tapi mengapa Alquran tetap memberinya sifat kafir? Dari sini kita tahu bahwa seseorang itu tak cukup hanya dengan mengenal dan mengakui, yakni taslim akal, pikiran, dan pengetahuan, tetapi ada syarat yang lain.

Mengapa, dalam penilaian Alquran, setan dengan segala pengetahuan yang dimilikinya itu tetap dikelompokkan ke dalam orang-orang kafir? Jawabannya adalah, walaupun akalnya telah taslim kepada kebenaran, kesadarannya menolak kebenaran tersebut. Hatinya melawan akalnya dan tidak mau menerima kebenaran, serta menyombongkan diri pada kebenaran yang telah diakui oleh akal pikirannya. Dia tidak bersedia melakukan taslim dengan hati.

Islam Faktual dan Islam Geografis

Kebanyakan di antara kita adalah orang-orang Islam berdasarkan tradisi dan geografi. Kita memeluk Islam karena orang tua kita orang Islam, atau karena kita tumbuh dan dewasa di tengah-tengah kaum Muslim. Adapun Islam faktual, yang mengandung muatan spiritual-samawi, adalah Islam yang mampu mengantarkan seseorang kepada hakikat taslim hati yang memberikan tempat paling luas bagi kebenaran di dalam dadanya. Dia menerima kebenaran dan mengamalkannya setelah dari satu sisi, menerimanya atas dasar penyelidikan dan analisis, dan pada sisi lain, atas dasar taslim dan bukan fanatisme.

Sekiranya seseorang memiliki karakter taslim kepada kebenaran, tapi karena sebab-sebab lain belum sampai pada kebenaran Islam, orang tersebut tidak dipandang sebagai sengaja tidak mau menerima kebenaran (muqashshar), dan Allah tidak akan menyiksanya, bahkan ia termasuk orang yang selamat, sebagaimana firman Allah yang berbunyi: “Dan Kami tidak akan menyiksa (manusia) sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Isra: 15)

Para ulama ushul, sejalan dengan ayat yang menguatkan hukum akal itu, memberi istilah bahwa “adalah buruk, menyiksa tanpa memberi penjelasan”, artinya, apabila Allah Swt belum menjelaskan kebenaran secara sempurna kepada hamba-­hamba-Nya, maka buruk bila Allah menyiksa mereka.

Jika hendak mencari contoh tentang kenyataan seperti ini, kita mungkin akan menemukan adanya orang-orang yang memiliki jiwa taslim kepada kebenaran, sekalipun mereka tidak berpredikat sebagai Muslim. Berdasarkan kata-katanya tentang dirinya, Descartes, filsuf Prancis, adalah contoh baik tentang manusia tipe seperti itu. Penulis biografinya menjelaskan bahwa dia memulai filsafatnya dari keraguan. Dia terlebih dahulu meragukan semua pengetahuannya dan berangkat dari nol. Kemudian dia menjadikan pikirannya sebagai titik pijak pertama, dengan mengatakan cogito ergo sum (aku berpikir, karena itu aku ada). Dengan begitu, Descartes menjadikan keyakinan tentang adanya dirinya sebagai metode dan sarana untuk membuktikan adanya ruh. Dan, menurut pandangannya, eksistensi materi dan Tuhan bersifat pasti. Selanjutnya, sedikit demi sedikit dia mulai memilih agama, dan akhirnya memilih agama Kristen karena di negerinya agama tersebut merupakan agama resmi.

Kebetulan sekali Descartes menyebutkan Iran sebagai contoh sebuah negara yang dia sendiri tidak tahu menahu, baik tentang agama maupun mazhab penduduknya. Descartes mengatakan: “Sungguh, aku tidak tahu, mungkin saja agama atau mazhab yang ada di Iran lebih mulia dan lebih baik daripada agama Kristen.”

Dengan demikian, orang-orang seperti Descartes ini tidak mungkin bisa dikatakan sebagai orang-orang kafir, karena mereka tidak bersikap menentang dan menyembunyikan kebenaran. Sementara, kafir tidak lain adalah menentang dan menyembunyikan kebenaran. Mereka adalah “Muslim fitri”. Bila kita keberatan menyebut mereka Muslim, kita pun tidak bisa menyebut mereka kafir. Sebab, oposisi antara Muslim dan kafir tidaklah seperti oposisi antara afirmasi dan negasi, atau eksistensi dan non-eksistensi.

Oposisi Muslim dan kafir terjadi antara dua hal yang mewujud, bukan yang satu mewujud (wujudi) dan yang lain tidak (‘adami). Secara teknis, oposisi itu disebut taqabul al-tadhad (oposisi kontras).

Adalah jelas bahwa saya menyebut Descrates sekadar sebagai contoh, dan ini tidak berarti bahwa saya membatalkan prinsip yang telah saya jelaskan sebelumnya, yaitu bahwa kita tidak bisa memastikan pandangan mengenai seseorang. Dengan menampilkan Descartes sebagai contoh, saya bermaksud mengatakan bahwa seandainya ucapan dan sikap taslim Descartes itu benar seperti yang dikatakannya dan dia telah mengerahkan segenap usahanya, tetapi hasilnya tidak lebih dari yang dikatakannya itu, dia dipandang sebagai seorang “Muslim fitri”.

Bersambung…