Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Nilai Perbuatan Baik Non-Muslim di Hadapan Allah (Bagian Akhir)

1 Pendapat 05.0 / 5

Ikhlas Adalah Syarat Diterimanya Amal

Setiap perbuatan pada dasarnya memiliki dua aspek, dan setiap aspek memiliki penilaian yang terpisah mengenai baik-buruknya. Bisa jadi satu perbuatan itu baik dilihat dari satu aspek, dan buruk dilihat dari aspek Iainnya. Sebaliknya, bisa juga kedua aspeknya baik, atau kedua-duanya buruk. Aspek pertama berhubungan dengan efek perbuatan di alam eksternal dan kehidupan sosial manusia, sedangkan aspek kedua terkait dengan hubungan perbuatan itu dengan pelakunya, motivasi-motivasi psikologis dan spiritual yang menggerakkannya ke perbuatan itu, dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh pelaku dengan melaksanakan perbuatan tersebut.

Pada sudut-pandang pertama, kita harus menentukan sejauh mana dampak baik atau buruk perbuatan itu terhadap masyarakat. Sedangkan pada sudut-pandang kedua, kita mesti menentukan kerangka spiritual dan mental pelaku guna mengetahui tipologi perbuatannya dan kemana tujuannya.

AIquran mengatakan: “Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya…” (QS. aI-Mulk: 2)

Allah mengatakan ahsanu ‘amalan (yang terbaik amalnya), dan tidak aktsaru ‘amalan (yang terbanyak amalnya). Ini karena saat kita melaksanakan amal tertentu yang dipengaruhi oleh motif-motif spiritual, maka selain tampilan lahiriah amal itu sendiri secara spiritual akan menuju arah dan menempuh jalan berbeda. Karena itu, persoalannya sama sekali tidak sederhana, di mana yang ada hanyalah perbuatan dan kerja otot semata-mata. Nilai pikiran dan niat terletak sebagai pengantar terjadinya perbuatan. Jadi, apa pun pengantarnya, perbuatan tetap sama saja.

Sebaliknya, efektualitas pikiran dan niat tidak kalah dengan efektualitas perbuatan (lahiriah) itu sendiri. Paham yang mengunggulkan perbuatan (lahiriah) dan mengesampingkan pikiran, niat, dan keyakinan, serta memandangnya hanya memiliki nilai pengantar, jelas merupakan paham materialistis. Selain gagal membuktikan kebenarannya, pemikiran tersebut jelas-jelas bertentangan dengan pandangan Alquran.

Alquran memandang bahwa kepribadian dan ke-aku-an kita yang hakiki adalah ruh kita. Seiring dengan tiap perbuatan yang dipilihnya secara bebas, ruh beranjak dari potensialitas kepada aktualitas, dan memperoleh karakter yang sesuai dengan kehendak dan tujuan perbuatan tadi. Semua malakah (kebiasaan yang sudah mewatak) dan dampak tersebut menjadi bagian dari kepribadian kita dan membawa kita menuju alam yang sesuai untuknya dari sekian banyak tingkat eksistensi.

Jadi, baik dan buruk fi’liy, yaitu baik dan buruk pada aspek pertama, bergantung pada dampak eksternal dan sosial perbuatan tersebut. Sedangkan baik dan buruk fa’iliyy, yaitu baik dan buruk pada aspek kedua, bergantung pada kualitas munculnya perbuatan tersebut dari pelakunya.

Jadi, pada kasus pertama, penilaian kita berpijak pada dampak-dampak eksternal dan sosial suatu perbuatan; sedangkan pada kasus kedua, penilaian kita berpijak pada dampak-dampak internal, transendental, intelektual, dan spiritual perbuatan tersebut pada diri pelakunya.

Seandainya seseorang mendirikan sebuah rumah sakit, lembaga-­lembaga kebudayaan, atau lembaga-lembaga perekonomian, tidak syak lagi bahwa perbuatan ini, dari perspektif sosial dan penilaian sejarah,

merupakan perbuatan baik. Artinya, perbuatan-perbuatan tersebut bermanfaat bagi makhluk Allah. Dengan perspektif seperti ini, kita tidak mempertimbangkan apa yang menjadi tujuan pendiri rumah sakit atau lembaga-lembaga tersebut. Apakah didorong oleh sikap riya dan sekadar ingin memuaskan dorongan-dorongan psikologisnya, atau didorong oleh faktor-faktor kemanusiaan yang luhur, tidak bersifat individual dan materialistis. Yang jelas, lembaga-lembaga tersebut didirikan dengan motif-motif

Hubungan kebaikan fi’liy dengan kebaikan fa’iliyy adalah seperti hubungan badan dengan ruh. Suatu makhluk hidup terdiri atas badan dan ruh. Dengan demikian, agar perbuatan itu hidup dan menjadi sosok yang hidup, perbuatan yang memiliki nilai kebaikan fi’liy itu harus disertai dengan kebaikan fa’iliyy.

Maka, dalil rasional dari kaum intelektual yang berpendapat bahwa karena hubungan (cara penilaian) Allah kepada seluruh makhluk-Nya itu sama, maka perbuatan baik setiap orang adalah sama. Dan mau tak mau, setiap orang yang melakukan perbuatan baik pasti mendapatkan pahala akhirat yang setara dengan pahala yang diterima oleh seorang Mukmin. Dalil ini sangat memperhatikan perbuatan dan menjelaskan bahwa hubungan Allah dengan seluruh makhluk-Nya adalah sama, tapi dalil ini melupakan poin penting, yaitu motif-motif dan tujuan-­tujuan pelaku, serta gerakan-gerakan spiritual dan niatnya.

Mereka mengatakan, “Tidaklah penting bagi Allah, apakah pelaku perbuatan tersebut menyadari perbuatan itu untuk kebaikan atau tidak, apakah pekerjaan itu dilakukan untuk meraih ridha-Nya atau untuk tujuan lain, untuk ber-taqarrub kepada-Nya atau kepada selain-Nya.”

Benar, dalam hubungannya dengan Allah, semuanya itu tidak berbeda. Tetapi, ia betul-betul berbeda bila dinisbatkan pada pribadi pelakunya. Seorang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak mengakui keberadaan-Nya akan melalui jalan spiritual yang berbeda dengan jalan spiritual yang dilalui oleh seorang Mukmin dan yang mengakui keberadaan-Nya. Apabila seseorang tidak beriman kepada Allah, amalnya hanya memiliki satu aspek dan dimensi. Dia hanya akan meraih kebaikan fi’liy, yaitu kebaikan yang bernilai sosial dan historis belaka. Sedangkan orang yang beriman kepada Allah, selain meraih kebaikan tadi, dia juga meraih kebaikan fa’iliyy.

Seorang Mukmin mengarahkan amalnya untuk Allah dan untuk naik ke atas, sedangkan amal orang yang tidak beriman tidak akan pernah naik ke atas. Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan Allah, perbedaan itu tidak terjadi. Tetapi, perbedaan terjadi dalam hubungannya dengan perbuatan itu sendiri. Adakalanya perbuatan itu menjadi wujud hidup yang terus naik ke tingkat-tingkat atas, dan adakalanya pula ia dinamakan perbuatan yang mati dan terus merosot ke bawah.

Mereka mengatakan, “Allah itu Mahaadil dan Mahabijaksana. Tidak mungkin Dia menghapuskan perbuatan baik seseorang yang tidak berdosa semata-mata karena orang itu tidak memiliki ikatan mahabbah dengan-Nya.” Memang, kita juga yakin bahwa Allah tidak akan menghapuskan perbuatan baik seseorang. Tetapi, apabila ia adalah seorang yang tidak mengakui keberadaan-Nya, bagaimana mungkin perbuatannya bisa bersifat baik secara aktual dan faktual, dan memiliki dampak yang baik pula sekaligus dari segi sosial dan spiritual bagi pelakunya.

Semua kesalahan ini berasal dari asumsi bahwa perbuatan yang memiliki manfaat sosial itu cukup untuk bisa dipandang sebagai perbuatan baik dan saleh. Tegasnya, kita bisa saja berasumsi (sekalipun asumsi ini mustahil) ada seseorang yang tidak mengakui keberadaan Allah, kemudian mengarahkan perbuatan baiknya kepada-Nya, maka Allah tidak akan menolaknya. Tetapi, pada hakikatnya, seseorang yang tidak mengakui Allah tidak akan bisa mengoyak tabir egonya. Jiwanya tidak akan mencapai ketinggian spiritual dan naik kepada-Nya agar dia bisa merealisasikan amalnya menjadi amal yang berdimensi malakuti, dan meraih kebahagiaan di alam tersebut. Diterimanya suatu amal di sisi Allah tidak bisa diartikan lain kecuali dengan pengertian seperti itu.

Begitu pun apabila seorang Muslim membayar zakat dengan disertai riya, zakatnya tidak diterima. Begitu juga, apabila ia bertempur di medan perang dengan niat untuk mempertontonkan kegagahannya, amal tersebut tidak akan diterima. Yang Allah kehendaki adalah prajurit yang memenuhi panggilan dengan ikhlas, “Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang beriman dengan surga yang telah disediakan buat mereka.” (QS. at-Taubah: 111).

Menurut riwayat-riwayat mutawatir yang disepakati Sunni dan Syiah, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya, segala perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan menerima sesuai dengan yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul­Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya, atau karena perempuan yang mau dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada yang dihijrahinya itu.”

Imam Jafar Shadiq a.s. mengatakan: “Persembahkanlah amal-amal kalian itu untuk Allah, bukan untuk manusia. Karena setiap yang diperuntukkan bagi Allah niscaya menuju kepada-Nya, dan setiap yang diperuntukkan bagi manusia tidak akan naik kepada-Nya.”

Niat adalah ruh suatu perbuatan. Kalau badan manusia menjadi mulia karena adanya ruh, begitu pula hubungan niat dengan amalnya. Apa yang menjadi ruh bagi perbuatan itu? Ruhnya adalah ikhlas. Allah Swt. berfirman di dalam Alquran, “Tidaklah mereka diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan keikhlasan kepada-Nya.” (QS. al-Bayyinah: 5)