Benarkah Ayat Hijab Turun atas Peran Umar dan Kesalahan Nabi Saw?

Lagi-lagi, ketika kita menggali keterangan-keterangan dan riwayat-riwayat dalam literatur Islam, kita akan dapati riwayat-riwayat miring yang mencoreng keagungan Nabi Saw dan bertentangan dengan konsep kemaksuman Nabi.

Beberapa riwayat tersebut telah kami sebutkan pada bahasan-bahasan sebelumnya. Dan kali ini kita akan bahas sebuah riwayat yang berhubungan dengan turunnya ayat Hijab. Pembahasan mengenai riwayat turunnya ayat hijab ini, sempat disinggung pada tulisan sebelumnya, dimana ayat ini turun dikarenakan atas nasihat dan peran Umar bin Khattab, dan tentu hal tersebut bertentangan dengan al-Quran seperti yang telah dijelaskan.

Riwayat kali ini pun masih berkaitan dengan sosok sahabat Nabi Umar bin Khattab namun dengan konteks yang berbeda. Secara zahir, riwayat yang tercatat dalam kitab Majma az-Zawaid karya al-Haitsami ini terlihat merendahkan Nabi Saw. Adapun riwayatnya sebagai berikut.

Dari Aisyah ia berkata: aku pernah makan bersama Nabi Saw dalam satu wadah, kemudian Umar lewat, lalu Nabi mengajaknya (makan), ia pun makan. Disaat makan, jarinya (umar) dan jariku bersentuhan. Lalu Umar berkata: uh..uh.. jika saja Nabi menaati perkataanku, tidak ada mata yang melihat pada kalian (istri-istri Nabi). Lalu turunlah ayat Hijab.[1]

Riwayat diatas menggambarkan sosok Nabi Saw yang membiarkan laki-laki ‘asing’ (Umar) untuk melihat istrinya dan makan bersama sampai-sampai tangannya Umar bersentuhan dengan tangan istrinya. Tentu hal ini merupakan aib dan menodai syariat. Jelas, hal tersebut bertolak belakang dengan peran Nabi Saw sebagai Uswatun Hasanah dan seorang yang makshum.

Selain itu, riwayat tersebut juga menunjukkan seolah-olah ayat hijab turun karena kesalahan Nabi Saw yang tidak menuruti perkataan Umar bin Khattab. Dan berdasarkan konsep kemakshuman yang pernah kita bahas sebelumnya, hal ini sangat mustahil terjadi pada Nabi Saw.

Riwayat-riwayat seperti ini banyak kita jumpai di kitab-kitab riwayat dalam Islam, yang seolah-olah ingin menunjukkan keunggulan dan kemuliaan Sahabat, namun di sisi lain terlihat mencoreng dan merendahkan Nabi Saw.

Wallahu A’lam

[1] Al-Haitsami al-Misri, Nuruddin Ali bin Abi Bakr bin Sulaiman, Majma az-Zawaid fi Manbail Fawaid Juz 7 Hal. 151 Cet. Darul Kutub al-Ilmiyah – Beirut