Apakah Nabi Saw Butuh Pendapat Orang Lain Untuk Memahami Jika Dirinya Telah Diangkat Menjadi Rasul?

Melajutkan pembahasan sebelumnya seputar memuliakan Nabi Saw, tulisan kali ini akan mengajukan sampel lainnya berkaitan dengan hadits-hadits yang memberitakan sosok beliau namun bertentangan dengan pahaman keislaman. Hadits yang dibicarakan pada tulisan ini termaktub di dalam kitab yang dianggap paling otentik setelah al-Quran, tepatnya kitab Shahih Bukhari.

Di dalam kitab hadits ini ada riwayat yang memuat tentang kronologi penerimaan wahyu pertama yang diriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah:   

“Awal turunnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimulai dengan ar ru’ya ash shadiqah (mimpi yang benar dalam tidur). Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi rasa ingin untuk menyendiri. Nabi pun memilih gua Hira dan ber-tahannuts. Yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya untuk mempersiapkan bekal untuk ber-tahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hira. Malaikat Jibril datang dan berkata: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Nabi Saw menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!”. Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah).


“Beliaupun pulang dalam kondisi gemetar dan bergegas hingga masuk ke rumah Khadijah. Kemudian Nabi berkata kepadanya: Selimuti aku, selimuti aku. Maka Khadijah pun menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Kemudian Nabi bertanya: ‘wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku ini?’. Lalu Nabi menceritakan kejadian yang beliau alamai kemudian mengatakan, ‘aku amat khawatir terhadap diriku’. Maka Khadijah mengatakan, ‘sekali-kali janganlah takut! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, pemikul beban orang lain yang susah, pemberi orang yang miskin, penjamu tamu serta penolong orang yang menegakkan kebenaran. Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin Naufal, ia adalah saudara dari ayahnya Khadijah. Waraqah telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Ia pandai menulis Al Kitab dalam bahasa Arab. Maka disalinnya Kitab Injil dalam bahasa Arab seberapa yang dikehendaki Allah untuk dapat ditulis. Namun usianya ketika itu telah lanjut dan matanya telah buta.

Khadijah berkata kepada Waraqah, “wahai paman. Dengarkan kabar dari anak saudaramu ini”. Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?”. Rasulullah Saw menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, “(Jibril) ini adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu”. Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab, “Ya, betul. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau kecuali pasti dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya”. Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia.[1]”

Yang menjadi fokus sorotan pada hadits ini adalah kisah yang menceritakan tentang kedaan Nabi Saw setelah kembali ke rumah Khadijah Ra. Di mana disebutkan bahwa Nabi tidak mengetahui apa yang terjadi, takut terhadap dirinya, dinasehati oleh Khadijah Ra dan terakhir dibimbing oleh Waraqah dan diyakinkan bahwa beliau telah menerima wahyu melalui malikat Jibril dan terpilih sebagai nabi.

Keberadaan beberpa poin di atas menyebabkan hadits tersebut mesti ditolak. Sebab bagaimana mungkin utusan Allah Swt tidak menegtahui apa yang sedang terjadi dengan dirinya, lalu takut dan meminta dukungan dari istri tercintanya?

Terlebih, kemudian istri beliau menenangkan Rasulullah Saw seraya mengingatkan berbagai macam sifat dan karakter beliau yang mulia. Apakah dapat diterima jika Khadijah lebih paham, lebih tenang dan lebih bijak dari Nabi? Tentu saja hal ini tidak dapat diterima.

Dan yang lebih patal lagi, Waraqah mengetahui kenabian Rasulullah Saw dan memahami bahwa yang mendatangi beliau adalah malikat pembawa wahyu. Dan Nabi Saw sendiri meyakini hal tersebut setelah mendapat wejangan dari Waraqah. Apakah berita seperti ini dapat diterima? Tentu saja lagi-lagi jawabannya negatif, karena meyakini hal ini akan menyebabkan keraguan terhadap wahyu itu sendiri. Bagaimana tidak, peneriama wahyunya sendiri tidak mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya dan tidak paham jika yang mendatanginya adalah malaikat pembawa wahyu.

Bahkan jika kronologi kejadiannya diterima seperti itu, selayaknya Waraqah saja yang menjadi nabi karena ia lebih paham dan mengerti. Yang tentu saja hal ini juga tidak dapat diterima.

Mengingat konsekuensi tersebut, hadits di atas sekalipun dimuat di dalam kitab yang dianggap paling otentik setelah al-Quran, mesti ditolak karena bertentangan dengan akal sehat dan konsep akidah Islam.

[1] Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, hal: 1729-1730, hadits: 6982, cet: Dar Ibn Katsir, Beirut, 1423 H/ 2002 Muslim, Pertama.