Aliran al-Yamani dan Klaim Ahmad al-Hasan

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang salah satu aliran yang muncul beberapa tahun silam dan dikenal dengan nama al-Yamani. Aliran ini berkeyakinan atas klaim pemimpinnya yaitu Ahmad al-Hasan yang mengaku dirinya sebagai washi atau wali Imam Zaman berdasarkan sebuah hadis yang ia sebut dengan hadis wasiat. Dalam website resminya Ahmad al-Hasan mengklaim dirinya sebagai imam Ahlulbait dari keturunan Imam Mahdi As dan dia mengaku sebagai washi atau khalifahnya imam Mahdi Af yang disebut sebagai Mahdi yang pertama.

Dalam website tersebut tertulis nasab dari Ahmad al-Hasan sebagai berikut:

“Namanya al-Imam Ahmad bin Sayyid Ismail bin Sayyid Sholeh bin Sayyid Husain bin Sayyid Salman bin al-Imam Muhammad bin al-Imam Hasan bin al-Imam Ali bin al-Imam Muhammad bin al-Imam Ali bin al-Imam Musa bin al-Imam Ja’far bin al-Imam Muhammad bin al-Imam Ali bin al-Imam Husain bin al-Imam Ali bin Abi Thalib As.”

Hal ini berarti ia mengklaim bahwa dirinya merupakan generasi kelima dari putra imam Mahdi As.

Dan pada hakikatnya, berdasarkan surat kabar Alarabiya telah dilakukan penyelidikan oleh polisi setempat bahwa nasab Ahmad al-Hasan tidak sampai pada Nabi Saw, dan tidak ada hubungannya dengan imam Mahdi As.

Adapun nasab aslinya ialah Ahmad bin Ismail bin Shaleh bin Husain bin Salman bin Daud bin Hambush (Alhambush merupakan desa yang pernah ditinggali oleh Ahmad al-Hasan) bin Muhammad bin Ridwan bin Burhan… dan seterusnya. Nama keluarganya adalah Albu Suwailam yang kembali pada Bani Salim yang merupakan Kabilah Mudharriyah Adnaniyah Kharzariyah. Untuk lebih detail pembaca yang budiman bisa merujuk disini.

Ada beberapa catatan terkait apa yang diklaim oleh Ahmad al-Hasan yang mengaku dirinya sebagai imam dan keturunan Imam Mahdi Af.

Berdasarkan klaimnya, Ahmad al-Hasan merupakan putra dari putra-putra Imam Mahdi As, Jika kita anggap Imam Mahdi menikah di masa gaib kubro, maka sebagai pendekatan, seharusnya usia nenek-moyang mereka (Hasan Yamani) (hasil dari pernikahan Imam Mahdi) berusia tiga ratus tahun. Sekarang, lalu kenapa anak-anak keturunan Imam Mahdi yang berusia tiga ratus tahun itu tidak lebih berharga dari Syekh Thusi hingga Sayyid Khu’i, yang seharusnya keduanya menjelaskan (tentang keturunan Imam Mahdi) itu di dalam kitab rijal mereka.

Disebutkan pula bahwa Ahmad al-Hasan mengklaim dirinya sebagai washi Imam Zaman berdasarkan mimpi dan istikharahnya. Hal ini tentu tidak menunjukkan kebenaran dan terdapat kemungkinan kebohongan, karena semua orang bisa mengklaim hal tersebut jika hanya berdasarkan mimpi atau istikharah.

Terlepas dari itu semua Ahmad al-Hasan juga tidak menyambut mubahalah atau tantangan dari orang-orang Syiah untuk membuktikan kebenaran klaimnya dengan bersandar pada sebuah riwayat yang datang dari Imam Hadi As. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa dagingnya putra Fathimah as haram untuk hewan buas.[1] Seperti yang dilakukan oleh Imam Hadi as waktu itu yang memasuki kandang singa yang lapar dan membuktikan bahwa keturunan Sayyidah Fathimah tidak akan dimakan oleh hewan buas.

Lalu, apakah seseorang mengaku sebagai Imam, atau Yamani, atau kedudukan lainnya yang semisalnya bisa dibenarkan?

Mungkin riwayat yang akan kami sebutkan ini akan menjawab pertanyaan tersebut.

…Dari al-Husain bin al-Mukhtar ia berkata: aku bertanya pada Abu Abdillah As tentang ayat,

(وَيَوْمَ الْقِيامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّه) “Dan pada hari Kiamat engkau akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah” Imam Shadiq as mengatakan: Setiap orang yang mengklaim dirinya imam dan ia bukan imam. Aku berkata: walaupun (yang mengkalim) itu keturunan Fathimah atau Ali? Imam as menjawab: walaupun begitu.[2]

Jadi, sesiapa yang mengaku Imam, khalifah, wali, atau kedudukan lainnya secara batil dan tidak benar, maka dia telah berdusta pada Allah Swt sesuai dengan ayat tersebut. Dan itu berlaku walaupun ia merupakan keturunan Fathimah atau Ali as.

Adapaun pembahasan lebih jauh tentang syubhat-syubhat lainnya yang berkaitan dengan al-Yamani, insya Allah akan dikupas pada pembahasan-pembahasan selanjutnya.

Wallahu A’lam

[1] Sayyid Hasyim al-Bahrani, Madinatul Ma’ajiz Juz 7 Hal. 476 Cet. Muassasah al-Ma’arif al-Islamiyah – Qom

[2] Al-Kulaini Syekh Abu Ja’far, al-Kafi Juz 1 Hal. 372 Cet. Darul Kutub al-Islamiyah – Teheran