Sejarah Dramatis Kaidah Fikih Mazhab Syafi’i
Kelahiran kaidah dasar fikih mazhab Syafi’i, yang berjumlah lima, terbilang cukup terlambat. Ia baru muncul setelah abad ke 4 dengan serentetan kisah yang menarik. Imam Suyuthi menjadikan cerita tersebut sebagai sebuah prolog dalam masterpiecenya “Al-Asybah Wa An-Nadhair”.
Konon, pada abad ke 4 H ada seorang ulama besar mazhab Hanafi yang sangat mumpuni dalam bidang Fikih. Namanya Abu Thahir Ad-Dabas. Ia hidup di tepian sungai kota Herat (sebuah kota di Uzbekistan). Dengan kepakarannya ia mampu menyimpulkan semua permasalahan fikih mazhab Hanafi hanya dengan tujuh belas kaidah.
Berita kealiman Abu Thahir di kemudian hari sampai ke telinga Qodhi Abu Said Al-Harawi, seorang qadhi bermazhab Syafi’i. Mendengar kabar ini Abu Said pun tertarik untuk mendengarkannya langsung dari Abu Thahir isi dari kaidah-kaidah yang beliau ciptakan. Abu Said pun akhirnya berangkat menuju daerah tempat syeikh Ad-Dabas tinggal.
Sesampainya di Herat Abu Said tidak bisa langsung mendapatkan ketujuh belas kaidah karangan maestro mazhab Hanafi ini. Karena Ad-Dabas sayangnya,entah karena alasan apa, ia belum bersedia mempublikasikan hasil capaiannya. Ia masih merahasiakannya. Setiap hari selepas shalat isya, ia mengulang-ulang ketujuh belas kaidahnya.
Mata Abu Thahir memang sudah buta. Namun, ia tahu kapan saatnya bersendiri selepas jamaah masjid beranjak keluar. Setelah masjid benar-benar sunyi, barulah ia melafalkan kaidah-kaidah ciptaannya.
Karena keadaan yang demikian, Abu Said pun menggunakan cara yang cukup unik untuk menguping semua kaidah ciptaan Ad-Dabas. Di suatu malam, setelah semua jamaah keluar dari masjid saat sang imam ingin menutup pintunya Abu Said berusaha menyelinap masuk. Setelah berhasil masuk ia bersembunyi di sebuah gulungan tikar agar tidak ketahuan.
Dirasa masjid sudah sunyi Abu Thahir pun mulai membacakan ketujuh belas kaidahnya. Bacaan beliau tentu didengar oleh Abu Said yang bersembunyi di balik gulungan tikar. Dengan sangat cermat satu persatu kaidah ia simak dan hafalkan baik-baik.
Satu-dua kaidah masih aman. Hingga saat sampai pada kaidah ketujuh Abu Said terbatuk kecil. Sontak kehadirannya pun diketahui Syeikh Abu Thahir yang langsung memukulinya dan mengusirnya keluar dari masjid. Walhasil ia hanya berhasil membawa tujuh kaidah saja dari Imam Abu Thahir Ad-Dabas.
Selepas kejadian tersebut, Abu Thahir tidak pernah lagi mengulang-ulang kaidahnya di dalam masjid. Sedangkan Abu Said Al-Harawi pulang kepada rekan-rekannya dengan tujuh kaidah yang ia curi dengar. Kaidah-kaidah tersebut kemudian ia bacakan berulang kali kepada sesama rekannya yang alim.
Hingga suatu saat tujuh kaidah tersebut sampai ke telinga Qadhi Husain, seorang alim fikih mazhab Syafi’i. Dengan kepiawaiannya ia mampu membuat empat kaidah universal untuk mengembalikkan semua permasalahan fikih mazhab Syafi’i. Empat kaidah tersebut adalah:
Pertama, اليقين لايُزال بالشك “keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”. Contohnya, seseorang yang yakin telah berwudhu kemudian ragu-ragu akan kalo-kalo wudhunya batal maka tetap dihukumi memiliki wudhu. Sebab keyakinan dia akan kesuciannya tidak bisa sirna dengan keragu-raguan.
Kaidah ini dilandasi sebuah hadist Rasul yang berbunyi,
إن الشياطين ليأتي أحدكم وهو في صلاته، فيقول له: أحدثتَ، فلا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا
“sungguh setan akan mendatangi salah satu dari kalian saat salat, kemudian berkata: kamu telah berhadas. Maka janganlah kalian batalkan salat kecuali benar-benar mendengar suara mencium bau kentut”
Kedua, المشقة تجلب التيسير “kesulitan akan mendatangkan kemudahan”. Contohnya, seseorang yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh) diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Karena safar merupakan salah satu kesulitan maka muncullah qashar yang memudahkan. Dasar kaidah ini diambil dari firman ilahi surat Al-Hajj ayat 78,
وما جعل عليكم في الدين من حرج
“dia sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan”
Ketiga, الضرر يزال “segala sesuatu yang berbahaya harus dihilangkan”. Contohnya, ketika seseorang pada puncak kelaparan yang bisa menyebabkannya mati maka boleh memakan bangkai (jika tidak ada yang lain). Namun dengan ketentuan-ketentuan lain, seperti bangkai yang dimakan hanya sebatas penyangga kelaparan, tidak boleh sampai kenyang. Kaidah ini didasari sebuah hadist yang berbunyi,
لا ضرار ولا ضرار
“Tidak boleh membahayakan/merugikan diri sendiri dan orang lain”
Dan keempat, العادة محكّمة “adat/kebiasaan bisa dijadikan landasan hukum”. Kaidah ini terbilang cukup banyak dipakai di kalangan fuqaha. Misalnya, penentuan sedikit atau banyaknya pekerjaan yang membatalkan salat, ukuran najis yang dima’fu, dan lain sebagainya. Penggunaan adat sebagai alat ukur hukum disebabkan tidak adanya nash (dalil Al-Quran atau Hadist) yang melandasinya.
Adapun dalil yang mengindikasikan bolehnya menggunakan adat sebagai pengukur hukum adalah sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam kitab “Al-Musnad”nya.
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“apa yang dipandang baik oleh kaum muslim maka di sisi Allah ia juga merupakan kebaikan”
Dengan keempat kaidah inilah para fuqaha Syafi’i mengembalikkan semua permasalahan fikih. Namun empat saja dirasa kurang pas, sehingga sebagian ulama menambahkan satu kaidah lagi terkait dengan kewajiban niat. Berangkat dari hadist Nabi: إنما الأعمال بالنيات “keabsahan segala perbuatan tergantung pada niatnya” lahirlah kaidah baru yang berbunyi,
الأمور بمقاصدها
“segala perbuatan tergantung pada tujuannya”
Penambahan ini dianggap cukup bagus oleh segolongan ulama hingga muncul sebuah adagium, Islam dibangun atas lima rukun dan fikih dibangun atas lima kaidah. Al-Ala’i juga menambahkan komentar terkait penambahan kaidah ini. “Imam Syafi’i pernah berkata bahwa sepertiga ilmu berkaitan dengan hadis tentang niat ini” -ujar Al-Ala’i.
Demikianlah kaidah Fikih dalam mazhab Syafi’i lahir. Penuh dengan cerita yang dramatis. Semoga bermanfaat. Wallahhu a’lam.