Meluruskan Pemahaman Jabariyah dan Kehendak Bebas Mutlak (Bagian 1)

Tauhid kepada Allah sebagai Pengaruh Mutlak Yang Mandiri merupakan salah satu pengetahuan yang bernilai tinggi dan berperan besar dalam pembinaan umat manusia. Oleh karena itu, Alquran sangat menekankan dan menyampaikannya dengan ungkapan yang beragam sehingga dapat dipahami secara benar. Di antara ungkapan-ungkapan tersebut ialah bahwa setiap kejadian di alam ini terwujud dengan izin, kehendak, qadha, dan qadar Allah.

Pemahaman yang benar atas persoalan ini, di samping memerlukan kematangan akal pikiran, juga membutuhkan kepada pengkajian dan penafsiran yang benar. Mereka yang tidak memiliki pencerahan akal yang semestinya, tidak mau berusaha menimba ajaran-ajaran para Imam Maksum a.s. dan penafsir hakiki Alquran, akan tergelincir dalam menafsirkan persoalan ini sedemikian rupa. Sehingga mereka menisbahkan segala pengaruh sebab-akibat hanya kepada Allah sembari menafikan pengaruh apa pun dari sebab-sebab dan perantara, padahal penafsiran ini bertolak belakang dengan keterangan Alquran.

Mereka berusaha meyakinkan kita –misalnya- akan kebiasaan Allah yang berlaku pada munculnya panas dari api, atau pada rasa kenyang dan segar setelah makan dan minum. Tanpa kebiasaan Allah, pada dasarnya api, makanan dan air itu tidak punya pengaruh sedikit pun dalam kejadian panas, kenyang atau pun hilangnya dahaga. Konsekuensi buruk dari penyimpangan ini menjadi lebih jelas apabila kita mengkaji dampak-dampaknya pada tindakan-tindakan bebas manusia dan tanggung jawabnya.

Bahwa timbulnya pemikiran ini adalah akibat penisbatan langsung segala tindakan manusia kepada Allah dan menafikan manusia sebagai pelaku tindakan dirinya secara mutlak. Atas dasar ini, tentu tidak seorang pun yang akan dimintai tanggung jawab atas tindakannya. Dengan kata lain, bahwa dampak-dampak buruk pemikiran tersebut ialah keyakinan terhadap determinisme (keterpaksaan manusia) dan menampik tanggung jawab. Hal itu berarti menafikan ciri khas manusia yang paling penting, dan tidak bermanfaatnya setiap sistem pendidikan, moral, dan hukum, termasuk juga di antaranya syariat Islam.

Karena, jika kita mencabut kehendak bebas dari diri manusia atas tindakannya sendiri, tentu tidak lagi tersisa tanggung jawab, tugas, perintah, larangan, pahala, dan siksa. Bahkan dapat melazimkan sia-sianya sistem alam itu; tanpa tujuan apa pun di dalamnya. Sebab, penciptaan alam semesta ini –sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat dan hadis-hadis serta dalil-dalil rasional– adalah untuk menyiapkan lahan yang sesuai bagi penciptaan manusia agar dapat mencapai kesempurnaannya dan kedekatan dirinya di sisi Allah Swt sehingga ia layak mendapatkan anugerah-Nya, yaitu dengan cara menjalankan berbagai kewajiban Ilahi secara sadar dan bebas.

Adapun, asumsi bahwa manusia itu tidak memiliki kehendak bebas dan tanggung jawab, ia tidaklah berhak memperoleh pahala, kesenangan abadi, dan keridaan Ilahi. Dengan demikian, tujuan dari penciptaan manusia akan gugur, undang-undang penciptaan itu akan berubah menjadi pentas besar permainan; layaknya boneka yang bergerak dan memainkan perannya tanpa kehendak dan kebebasan pada dirinya, kemudian ia dihujat dan disiksa, atau disanjung dan diganjar mulia.

Faktor terpenting yang memperluas pemikiran yang berbahaya ini ialah ambisi politis pihak penguasa zalim. Mereka menjadikannya sebagai pembenaran atas perilaku busuk mereka, menyiasati rakyat awam untuk menerima pemerintahan zalimnya, dan meredam protes serta penentangan mereka. Maka, paham Jabariyah (determinisme) merupakan cara efektif yang utama untuk membius rakyat.

Ada sebagian orang yang sadar akan bahaya Jabariyah, akan tetapi karena tidak memiliki kemampuan untuk menolak paham itu sekaligus komit pada Tauhid yang sempurna, dan tidak berusaha menggali ajaran-ajaran Ahlulbait yang suci nan mulia, mereka malah jatuh ke dalam paham tafwidh dan Qodariyah (kebebasan mutlak manusia). Mereka menganggap bahwa tindakan bebas manusia itu di luar jangkauan tindakan Allah. Dengan begitu, sebenarnya mereka telah terjebak ke dalam bentuk lain dari penyimpangan pemikiran, dan telah merenggang jauh dari ajaran Islam.

Sementara mereka yang memiliki kesiapan pengetahuan yang memadai dan mengenal para pengajar dan penafsir hakiki Alquran, senantiasa terjaga dari penyimpangan-penyimpangan tersebut. Dari sisi lain, mereka percaya bahwa perbuatan mereka itu bersumber dari kekuatan yang Allah berikan kepada mereka, sehingga mereka bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing. Dari sisi lain, mereka pun menyadari adanya pengaruh Allah yang mandiri pada levelnya yang lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan kesimpulan yang jernih.

Bersambung…