Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Hak dan Kewajiban antara Suami-Istri

1 Pendapat 05.0 / 5

Hak suami atas istri hanyalah dalam masalah kesenangan seksual (istimta’), adapun kewajiban seperti memasak, mencuci pakaian, dan lain sebagainya, yang berlaku menurut kebiasaan, adalah termasuk kewajiban akhlak wanita, dan bukan merupakan hak suami atas istrinya. Oleh karena itu kita melihat, pada hari pertama ketika Rasulullah Saw datang berkunjung ke rumah Sayyidah Fatimah az-Zahra a.s. untuk mengucapkan selamat, Rasulullah Saw membagi pekerjaan di antara az-Zahra dengan Imam Ali.

Rasulullah Saw berkata: “Zahra sayang, pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah, seperti memasak roti, menggiling gandum, menjaga kebersihan rumah, mengurus anak dan lain sebagainya, dikerjakan olehmu. Adapun pekerjaan menyediakan kayu bakar, menimba air, menyediakan keperluan rumah dan lain sebagainya dikerjakan oleh Ali.”

Kemudian, Sayyidah Fatimah az-Zahra a.s. mengucapkan kata-kata yang harus menjadi tuntunan bagi seluruh wanita Mukmin: “Tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, betapa bahagianya saya dengan pembagian ini.” (Bihar al-Anwar, 10/24)

Hak-Hak dan Perasaan

Jika di dalam urusan rumah tangga tidak ada persahabatan, sungguh merupakan sebuah pekerjaan yang sulit. Secara umum, jika yang berlaku di setiap tempat, terutama di lingkungan rumah tangga, hanyalah hukum secara mutlak, maka tidak akan memberikan hasil sebagaimana yang diinginkan. Sebagaimana juga emosi dan perasaan semata tidak boleh dijadikan pegangan.

Karena hal itu akan mendatangkan kerusakan. Hukum dan perasaan harus berjalan beriringan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. an-Nahl: 90)

Suami dan istri, di samping harus menjaga ketentuan-ketentuan Islam, mereka juga harus menjadi teman yang baik dan penuh kasih bagi satu sama lainnya.

Kerja Sama

Suatu hari Rasulullah Saw berkunjung ke rumah Imam Ali a.s., dan beliau mendapati Ali sedang membersihkan kacang. Melihat itu Rasulullah Saw sangat senang sekali, lalu Rasulullah berkata: “Wahai Ali, seseorang yang membantu istrinya di dalam melakukan pekerjaan rumah maka dia akan memperoleh ganjaran ibadah haji.”

Jihad Seorang Istri

Seorang wanita datang ke hadapan Rasulullah Saw lalu berkata: “Saya mempunyai pertanyaan dari pihak seluruh kaum wanita di muka bumi, sejak dari yang hidup pada jaman sekarang hingga yang hidup pada saat tibanya hari Kiamat nanti. Adapun pertanyaannya ialah, kenapa Anda membedakan di antara laki-laki dan wanita. Anda telah menetapkan ganjaran dan perbuatan bagi laki-laki, yang mana kaum wanita tidak mendapatkannya, yaitu seperti berjihad di jalan Allah.”

Rasul Saw menjawab: “Jihad kaum wanita ialah berbuat sebaik mungkin di dalam mengurus dan melayani keluarga.” (Wasaiil asy-Syi’ah, 11/15)

Oleh karena itu, hendaknya seorang istri harus sebaik mungkin menjaga kebersihan, menyediakan makanan, pakaian, mendidik anak, dan mengurusi suami, sehingga dengan begitu dia senantiasa berada di garis terdepan di dalam berjihad di jalan Allah Swt.

Hak-hak Suami

Di dalam menjawab pertanyaan wanita tersebut, Rasulullah saw menjelaskan hak-hak suami atas istri sebagai berikut:

1. Secara mutlak suami mempunyai hak kesenangan seksual (istimta’) atas istri pada setiap saat.
    
2. Seorang istri tidak mempunyai hak menggunakan harta suami dengan tanpa seizinnya.
    
3. Seorang istri tidak boleh membuat suaminya marah. Dan, jika dia menyakiti suaminya hingga suaminya tidak merasa rida, maka dia tidak boleh pergi tidur.

Wanita itu bertanya kepada Rasulullah saw: “Sekali pun laki-laki itu zalim, apakah dia tetap mempunyai hak­hak ini?”

Rasulullah Saw menjawab: “Pada setiap keadaan, seorang istri harus bersikap merendah di hadapan suaminya, dan tidak berhak bersikap memaksa kepada suaminya.” Bihar al-Anwar, jld 103.

Laki-laki pun, sebagaimana yang telah kita dijelaskan di atas, tidak berhak meminta sesuatu yang lain selain dari hak kesenangan seksual (istimta’) dari istrinya. Namun demikian, dari sisi pandangan akhlak, hubungan kemanusiaan dan emosi, sedapat mungkin hendaknya seorang istri memberikan perhatian sebaik-baiknya di dalam seluruh urusan rumah tangga.

Demikian juga seorang istri harus bersikap pemaaf. Jika -misalnya- suaminya pergi dari rumah dalam keadaan marah dan gelisah, maka dia harus mempersiapkan dirinya sedemikian rupa sehingga manakala suaminya pulang ke rumah dia dapat menghilangkan kemarahan dan kegelisahan suaminya. Ketika suaminya pulang ke rumah dia harus menyambutnya dengan wajah yang cerah dan bibir yang tersenyum, serta mengucapkan salam kepadanya, sehingga dengan begitu kebahagiaan pun kembali meliputi hati suaminya.

Demikian juga, seorang istri harus bersikap merendah dan ramah terhadap suaminya. Dia harus menghangatkan suasana rumah tangga dengan sikap tawadu, penuh senyum, dan ceria. Dia harus mencabut berbagai akar pertengkaran dan perselisihan dengan menunjukkan cinta dan ketulusan. Sedapat mungkin dia harus bisa mengambil hati suaminya manakala suaminya marah dan gelisah.

Perilaku Suami

Seorang suami juga mempunyai kewajiban manakala hendak masuk ke rumah dia harus terlebih dahulu menyingkirkan kemarahan, kekesalan, dan kekusutan dari dia mempunyai kekesalan-kekesalan yang didapatinya dari pekerjaan, teman, atau tugas-tugas kemasyarakatan, dia tidak boleh membawa kekesalan-kekesalan itu ke rumah.

Sikap keras terhadap anak dan istri, dan begitu juga akhlak yang buruk, tidak boleh ada di dalam rumah seorang Muslim. Sikap takabur hanya boleh ditunjukkan di hadapan musuh-musuh agama Allah, dan tidak boleh ditunjukkan di hadapan sahabat, apalagi di hadapan istri dan anak.

Dua Faktor Penting Dalam Kaidah Rumah Tangga

Dalam kaidah rumah tangga dan hubungan suami istri terdapat dua masalah penting sebagai berikut:

Masalah pertama, ialah mengenai hukum-hukum yang berlaku atas keduanya. Yaitu mengenai hak-hak istri atas suami, dan begitu juga sebaliknya hak-hak suami atas istri.

Adapun masalah yang kedua, yang lebih penting dan lebih bersifat emosional, ialah sikap saling memahami, saling mengasihi, ketulusan, dan keikhlasan. Jika kata-kata “saya” dan “kamu” sering diucapkan di sebuah rumah tangga, dan begitu juga yang dijadikan landasan adalah perintah dan kewajiban, hak dan perhitungan, maka akan terpatri noda hitam di dalam keluarga, dan kelak noda-noda hitam ini akan membuat kehidupan kita menjadi kelam.

Imam Ja’far ash-Shadiq a.s. berkata: “Jika seseorang melakukan sebuah dosa maka akan tercipta satu noda hitam di hatinya. Dengan melakukan dosa yang kedua maka noda hitam yang ada di hatinya menjadi semakin bertambah, sehingga pada akhirnya noda-noda hitam itu menutupi seluruh permukaan hatinya, dan pada saat itu dia tidak akan pernah bisa selamat untuk selamanya.” (Ushul al-Kafi, 3/373)

Sifat-sifat yang Layak Ada pada Istri

Para istri harus mempunyai tiga sifat. Yaitu sifat; kikir, takut, dan sombong. Berkenaan dengan sifat­sifat yang harus ada pada diri seorang istri Imam Ali a.s.berkata: “Sebagus-bagusnya sifat bagi wanita adalah seburuk-buruknya sifat bagi laki-laki, dan sifat-sifat itu ialah sifat sombong, kikir, dan penakut.” (Bihar al-Anwar, 103/238)

Jika seorang wanita sombong maka dia tidak akan pernah tunduk kepada siapa pun selain dari suaminya. Jika seorang wanita kikir maka dia akan senantiasa berusaha menjaga harta suaminya. Demikian juga, jika seorang wanita penakut maka dia akan takut terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi, dan tentunya dia tidak akan terperangkap ke dalam jebakan. Pada saat yang sama, ketiga sifat ini terhitung sebagai seburuk­buruknya sifat bagi kaum laki-laki.

Sombongnya wanita adalah sombongnya dia terhadap laki-laki yang bukan muhrim. Seorang laki-laki pun harus bersikap sombong di hadapan musuh. Seorang wanita, sama sekali tidak boleh bersikap tunduk dan tawadu di hadapan laki-laki yang bukan muhrim, melainkan dia justru harus sombong dan takabur di hadapan mereka. Karena sangat mungkin sikap ramah dan tawadunya di hadapan laki-laki yang bukan muhrim, justru akan mengundang hal-hal yang tidak diinginkan.

Seorang wanita, sedapat mungkin harus berusaha untuk tidak bertemu dengan laki-laki yang bukan muhrim. Jika pun dia harus bertemu dan berbicara dengan laki­laki yang bukan muhrim maka dia harus berbicara kepadanya dengan sombong, dan jangan sekali-kali berbicara dengan laki-laki yang bukan muhrim dengan nada suara yang lembut, sehingga tidak membuat laki-laki pengumbar syahwat tergoda.

Takut, merupakan sifat terpuji lainnya bagi seorang wanita. Seorang wanita tidak boleh keluar dari rumah sendirian pada malam hari hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya berani. Karena dikhawatirkan dia akan jatuh ke dalam perangkap orang-orang yang bermaksud jahat, sehingga kehilangan kehormatannya. Namun tentunya keberanian menghadapi berbagai cobaan dan kesulitan berbeda dengan takut. Takut yang terpuji ialah takut di dalam menjaga kesucian.

Kikir, juga merupakan sifat terpuji lainnya bagi seorang istri. Karena, sifat ini akan menjadikannya gigih di dalam menjaga harta suaminya dan tidak bersikap boros.