Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tauhid

Tingkatan-Tingkatan Syirik (5)

Tingkatan-Tingkatan Syirik (5)

Al-Qur’an menegaskan bahwa kekuasaan tirani juga merupakan bentuk syirik sosial. Ketika Fir‘aun menindas Bani Israil, ia menjadikan mereka sebagai “budak-budaknya” bukan dalam arti ritual penyembahan, melainkan penundukan total terhadap sistem kezaliman.  

Baca Yang lain

Tingkatan-Tingkatan Syirik (4)

Tingkatan-Tingkatan Syirik (4) Syirik jenis ini lebih halus dan filosofis. Ia muncul ketika seseorang menganggap sifat-sifat Allah terpisah dari Zat-Nya, atau ketika kekuasaan, ilmu, dan kehendak dianggap berdiri sendiri.  

Baca Yang lain

Tingkatan-Tingkatan Syirik(3)

Tingkatan-Tingkatan Syirik(3) Sebagian manusia mengakui Allah sebagai Pencipta, tetapi meyakini adanya makhluk-makhluk yang turut memiliki peran dalam penciptaan. Mereka menganggap bahwa Allah hanya menciptakan kebaikan, sementara kejahatan adalah ciptaan kekuatan lain—seolah-olah ada dua sumber eksistensi: kebaikan dan kejahatan.  

Baca Yang lain

Tingkatan-Tingkatan Syirik (2)

Tingkatan-Tingkatan Syirik (2) Al-Qur’an menjelaskan bahwa dasar keimanan dan tauhid bukanlah kondisi sosial atau kelas, melainkan fitrah—sifat bawaan dan hakikat terdalam manusia. Setiap manusia memiliki potensi alami untuk mengenal dan mengakui Tuhan yang Esa.  

Baca Yang lain

Tingkatan-Tingkatan Syirik (1)

Tingkatan-Tingkatan Syirik (1) Sebagaimana tauhid memiliki tingkat-tingkatnya, begitu pula syirik. Dengan memahami keduanya secara berimbang, manusia dapat mengenali makna tauhid yang sejati melalui kebalikannya—sebab, sebagaimana kata pepatah hikmah, segala sesuatu dapat dikenali melalui lawannya.  

Baca Yang lain

Kebijaksanaan Ilahi di Balik Penderitaan dan Perbedaan Hidup (1)

Kebijaksanaan Ilahi di Balik Penderitaan dan Perbedaan Hidup (1) Pada akhirnya, keadilan Ilahi bukan berarti menyamaratakan segalanya, tetapi menempatkan setiap makhluk sesuai kadar dan kemampuannya. Perbedaan bukanlah ketidakadilan, melainkan tanda kebijaksanaan Allah dalam mengatur alam semesta. Dengan memahami hal ini, manusia akan melihat dunia dengan pandangan yang lebih jernih, penuh makna, dan jauh dari keputusasaan.  

Baca Yang lain

Makna Transenden Allahu Akbar: Antara Bahasa, Batas, dan Ketak terbatasan Tuhan (2)

Makna Transenden Allahu Akbar: Antara Bahasa, Batas, dan Ketak terbatasan Tuhan  (2) Bahasa pada hakikatnya bersifat terbatas. Ketika manusia berkata “lebih besar,” ia menyandarkan makna pada relasi antara dua hal: sesuatu dibandingkan dengan yang lain. Dengan mengatakan “Allah lebih besar dari segala sesuatu,” seolah-olah ada kategori ontologis yang sama antara Tuhan dan makhluk, hanya berbeda pada tingkatan besar-kecil. Imam Ṣhadiq as menolak reduksi ini, dengan menyatakan: “اللَّهُ أَكْبَرُ مِنْ أَنْ یوصَف‏” — Allah lebih besar dari sekadar dapat digambarkan.     

Baca Yang lain

Makna Transenden Allahu Akbar: Antara Bahasa, Batas, dan Ketak terbatasan Tuhan (1)

Makna Transenden Allahu Akbar: Antara Bahasa, Batas, dan Ketak terbatasan Tuhan (1) Riwayat Imam Ṣhadiq as tentang makna Allahu Akbar membimbing kita untuk memahami bahwa hakikat Tuhan adalah Realitas yang tak terbandingkan, tak terukur, dan tak terdeskripsikan secara penuh. Dengan demikian, Allahu Akbar menjadi pernyataan teologis yang menolak segala pembatasan, sekaligus menjadi deklarasi spiritual yang menyucikan Tuhan dari sekat-sekat bahasa manusia.

Baca Yang lain

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (4)

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (4) Semua ini adalah simbol-simbol dari khazanah gaib yang memuat hakikat dan kebenaran yang kemudian diturunkan ke alam nyata dalam bentuk wahyu. Dengan demikian, iman kepada kitab dalam pengertian Al-Qur’an juga berarti iman kepada realitas gaib yang melampaui lembaran-lembaran tertulis.  

Baca Yang lain

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (3)

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (3) Semua ini adalah simbol-simbol dari khazanah gaib yang memuat hakikat dan kebenaran yang kemudian diturunkan ke alam nyata dalam bentuk wahyu. Dengan demikian, iman kepada kitab dalam pengertian Al-Qur’an juga berarti iman kepada realitas gaib yang melampaui lembaran-lembaran tertulis.

Baca Yang lain

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (2)

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (2) Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa segala sesuatu di dunia ini berakar pada realitas lain di alam gaib. Firman-Nya: “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS al-Hijr: 21).  

Baca Yang lain

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (1)

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (1) Pada akhirnya, iman kepada gaib bukanlah sekadar kepercayaan dogmatis, melainkan pintu menuju pandangan dunia yang lebih dalam. Ia menuntun manusia untuk tidak berhenti pada apa yang tampak, melainkan menembus hingga ke akar realitas. Dengan iman ini, manusia tidak hanya hidup di dunia nyata, tetapi juga senantiasa tersambung dengan dunia gaib yang menjadi asal sekaligus tujuan akhirnya.  

Baca Yang lain

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (2)

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (2) Pada akhirnya, iman kepada gaib bukanlah sekadar kepercayaan dogmatis, melainkan pintu menuju pandangan dunia yang lebih dalam. Ia menuntun manusia untuk tidak berhenti pada apa yang tampak, melainkan menembus hingga ke akar realitas. Dengan iman ini, manusia tidak hanya hidup di dunia nyata, tetapi juga senantiasa tersambung dengan dunia gaib yang menjadi asal sekaligus tujuan akhirnya.

Baca Yang lain

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (1)

Alam Gaib dan Alam Nyata dalam Pandangan Dunia Tauhid (1) Pada akhirnya, iman kepada gaib bukanlah sekadar kepercayaan dogmatis, melainkan pintu menuju pandangan dunia yang lebih dalam. Ia menuntun manusia untuk tidak berhenti pada apa yang tampak, melainkan menembus hingga ke akar realitas. Dengan iman ini, manusia tidak hanya hidup di dunia nyata, tetapi juga senantiasa tersambung dengan dunia gaib yang menjadi asal sekaligus tujuan akhirnya.

Baca Yang lain

Jangan Engkau Menuduh Tuhan dalam Qadha’-Nya!

Jangan Engkau Menuduh Tuhan dalam Qadha’-Nya! Seorang yang ‘Arif billah, yang benar-benar mengenal Allah, ia tetap teguh dan tangguh di hadapan badai berbagai peristiwa dan kesulitan-kesulitan yang menghadangnya, dan ia tidak berkeluh kesah terhadap Qadha’ Tuhan yang pasti. Namun ia pasrah dan menghamba kepada-Nya dengan ketentuan itu serta menaati-Nya.    

Baca Yang lain

Bentuk Hubungan Allah Sesuai Pandangan Tauhid (2)

Bentuk Hubungan Allah Sesuai Pandangan Tauhid (2) Di saat bersamaan, keesaan mutlak Allah dijabarkan dalam sejumlah riwayat. Imam Ali as berkata, ”Allah selalu Esa dan Azali di masa lalu dan depan; sebelum dimulainya masa dan setelah dibereskannya segala urusan.”[15] Imam Ridha as mengatakan, ”Allah Yang Mahaesa selalu Esa tanpa dibarengi suatu apa pun. Tiada batas dan `ardh (aksiden) bagi-Nya. Dia akan selalu seperti ini.”[16] Beliau juga menjelaskan, ”Sesungguhnya Allah, Sang Pencipta dan Maujud Pertama, adalah zat esa yang tak dibarengi suatu apa pun. Dia tunggal yang tiada duanya. Dia tak diketahui, juga tidak misterius.

Baca Yang lain

Bentuk Hubungan Allah Sesuai Pandangan Tauhid (1)

Bentuk Hubungan Allah Sesuai Pandangan Tauhid (1) Dari semua riwayat ini, yang bisa disimpulkan adalah: pertama, ketika sesuatu bersinggungan dengan sesuatu yang lain, pertama-tama ia bersentuhan dengan Allah; kedua, usai mengalihkan perhatian dari suatu makhluk atau setelah ia tiada, yang ada hanya Allah. Sebab Dia adalah Hakikat Mutlak yang tiada hakikat selain-Nya. Tiap sesuatu selain Allah yang disangka “tampak”, sebenarnya dia tersembunyi, karena Allah Lahir dan juga Batin. Dia Tersembunyi saat Dia Tampak dan Dia Dekat meski Tersembunyi.  

Baca Yang lain

Satya

Satya Pada akhirnya, pertanyaan ini kembali menghantui: apakah kita berani mencintai kebenaran lebih dari kenyamanan? Kebenaran tidak menjanjikan rasa aman; ia hanya menawarkan keaslian. Dalam dunia yang semakin terobsesi dengan stabilitas, jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan arah hidup kita. Orang yang memilih kenyamanan mungkin menemukan ketenangan sesaat, tetapi orang yang memilih kebenaran menemukan kehidupan itu sendiri.

Baca Yang lain

Manusia Bisa Mempengaruhi dan Mengendalikan Alam

Manusia Bisa Mempengaruhi dan Mengendalikan Alam Kemampuan manusia untuk mempengaruhi dan mengendalikan alam adalah karunia sekaligus ujian. Kita memiliki kekuatan, tapi juga tanggung jawab. Kita bisa mengatur air, tanah, udara, bahkan energi, tetapi kita juga harus mengingat bahwa kita bagian dari alam itu sendiri.  

Baca Yang lain

Gradasi Wujud, Gerakan Transubstansial, Pengampunan Dosa dan Penghapusan Amal (2)

Gradasi Wujud, Gerakan Transubstansial, Pengampunan Dosa dan Penghapusan Amal (2) Dalam logika yang sama, amal baik juga berwujud, karena ia meninggalkan bekas dalam jiwa: cahaya, kekhusyuan, kelembutan. Tapi jika amal itu dinodai dengan riya, atau dihapus oleh kezaliman, maka gerakan substansi pelakutidak lagi menuju cahaya, melainkan menurun kepada bentuk yang lebih gelap.  

Baca Yang lain