Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bantahan atas Syubhat Al-Qaffari tentang Prinsip Dasar Keyakinan Mahdawiyah dalam Mazhab Syiah

1 Pendapat 05.0 / 5

Pada tulisan sebelumnya telah dipaparkan sebuah syubhat yang dilontarkan oleh Al-Qaffari mengenai kesaksian Hakimah atas kelahiran Imam Mahdi As berikut dengan jawaban singkat atas syubhat tersebut.

Di tulisan kali ini kami masih akan bahas jawaban atas syubhat yang dilontarkan oleh penulis Wahabi itu. Al-Qaffari di pembahasan sebelumnya mempertanyakan akan prinsip keyakinan Mahdawiyah dalam Mazhab Syiah yang diperoleh lewat kesaksian atau perkataan seorang perempuan (Hakimah) yang bukan makshum.

Dalam menjawab syubhat tersebut perlu diperhatikan bahwa Al-Qaffari telah mencampuradukan dua masalah yang sebenarnya berbeda kemudian dikait-kaitkan sehingga menjadi sebuah kekeliruan yaitu antara prinsip dasar keyakinan Mahdawiyah dan pembuktian kelahiran seseorang yang dalam kasus ini adalah kelahiran Imam Mahdi As.

Sebenarnya sudah sangat jelas bahwa meskipun tanpa membuktikan kelahiran sosok pribadi Imam Mahdi As, prinsip keyakinan Mahdawiyah tidak bisa dipertanyakan. Al-Qaffari tidak bisa mempertanyakan prinsip keyakinan Mahdawiyah dengan alasan karena kesaksiannya (Hakimah) bukan dari seorang Makshum. Yang harus dipertanyakan ialah benarkah klaim atau kesaksian yang diucapkan oleh Hakimah, bukan prinsip keyakinan Mahdawiyah. Karena keyakinan Mahdawiyah merupakan perkara dasar yang berakar kuat yang sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan kesaksian Hakimah. Seorang Hakimah apakah beliau bersaksi atau tidak atas kelahiran Imam Mahdi As, prinsip keyakinan ini tetap tegak dan kokoh. Karena keyakinan ini berangkat dari ayat-ayat Al-Quran juga dari berlimpahnya riwayat-riwayat shahih baik dari Syiah maupun Sunnah yang hal tersebut bisa dibuktikan dengan mudah.

Selain itu, mayoritas kaum muslimin memiliki prinsip keyakinan Mahdawiyah. Segelintir orang yang tidak meyakini tersebut tidak akan merusak prinsip dasar keyakinan tersebut. Mereka kaum muslimin meyakini bahwa di akhir zaman akan muncul sang juru selamat dari keturunan Sayyidah Fathimah Zahra As yang akan bangkit dan memenuhi dunia dengan keadilan. Keyakinan ini akan tetap tegak dan kokoh, meskipun misalnya kesaksian dari Hakimah tidak bisa diterima.

Poin berikutnya yang mesti diperhatikan ialah andaipun kesaksian dan perkataan Hakimah tidak bisa diterima, hal itu tidak menafikan kebenaran telah lahirnya seorang putra dari Imam Hasan Askari As. Sebab, banyaknya riwayat-riwayat shahih yang telah mengabarkan hal tersebut. Sekarang, baik kesaksian Hakimah bisa diterima atau tidak, sosok pribadi Imam Mahdi As dalam pandangan Syiah tidaklah berubah. Dengan banyaknya riwayat mutawatir dalam literatur Syiah serta ijma dari seluruh para ulama Syiah sudah bisa membuktikan bahwa Imam Mahdi merupakan sosok tertentu, putra dari Imam Hasan Askari As yang akan bangkit serta memenuhi dunia dengan keadilan.

Perlu diperhatikan, bukankah sosok seorang Abu Hurairoh tidak diketahui persis siapa namanya dan nama ayahnya? Dengan tidak diketahui nama persisnya dan nama ayahnya apakah menunjukkan bahwa Abu Hurairoh itu tidak ada? Ibnu Hajar Asqalani Ulama Rijal Ahlussunnah dalam kitabnya Taqrib At-Tahdzib mencatat berbagai macam nama dari Abu Hurairah.

Abu Hurairah Ad-Dawsi, sahabat besar, Hafiz para sahabat, terdapat perbedaan pendapat pada Namanya dan nama ayahnya. Dikatakan Namanya Abdurrahman bin Shakhr, bin Ghanim, Abdullah bin Aiz, dikatakan ibnu Amir, ibnu Amr, dikatakan sukain bin Wadma, bin Hani, bin Mul, bin Sakhr, dikatakan Amir bin Abdu Syams, ibnu Umair, dikatakan Yazid bin Isriqah,….inilah yang kami ketahui dari perbedaan nama tersebut…[1]

Dari sini kami ingin katakan bahwa tidak bisanya membuktikan sesuatu dengan sebuah dalil bukan berarti tidak ada dalil shahih lain yang tak mampu membuktikannya.

Banyak riwayat shahih nan mutawatir dari Syiah dan sebagian kelompok Ahlussunnah yang mengabarkan bahwa Rasulullah Saw telah menjanjikan kehadiran Imam Mahdi As dan beliau adalah putra dari Imam Hasan Askari. Adapun siapa nama ibunya, itu tidaklah penting, bahkan jikalau kabar peristiwa kelahiran dari ibunda Narjis (ibu Imam Mahdi) tidak diterima, keberadaan Imam Mahdi As bukanlah sesuatu yang harus dipertanyakan, sebab bisa saja Imam Mahdi As lahir dari istri Imam Askari yang lainnya. Untuk itu, yang terpenting dalam menentukan sosok pribadi (seperti Imam) dalam aqidah Syiah ialah ayahnya, bukan ibunya.

Wallahu A’lam

[1] Al-Asqalani, Syahabuddin Ahmad bin Ali, Taqrib At-Tahdzib Juz 1 Hal. 680 Cet. Dar Ar-Rasyid – Suriah