Perjuangan Imam Hadi Menegakkan Kebenaran
Pertengahan bulan Dzulhijjah bertepatan dengan hari kelahiran Imam Ali bin Muhammad al-Hadi as. Hari-hari kelahiran para aulia Allah Swt akan selalu membawa kebaikan dan keberkahan. Momen baik ini menghadirkan sebuah kesempatan untuk meningkatkan pengenalan kita tentang salah satu figur mulia Ahlul Bait Nabi as.
Imam Ali an-Naqi as yang dijuluki al-Hadi dilahirkan pada tahun 212 Hijriyah di sebuah daerah yang disebut Sharya di dekat kota Madinah. Ayahnya memilih salah satu nama yang paling indah untuk bayi tersebut dan nama ini juga sudah populer di tengah Ahlul Bait yaitu Ali. Imam Hadi as memiliki banyak julukan di antaranya; Najib, Murtadha, Naqi, 'Alim, Faqih, Amin, dan Thayyib.
Imam Hadi as memiliki paras yang bercahaya dan rupawan. Selain ketampanan fisik, beliau sama seperti para leluhurnya memiliki ilmu dan keutamaan akhlak yang tinggi. Pada usia enam tahun, Imam Hadi dipaksa berpisah dengan ayahnya Imam Muhammad al-Jawad as, yang dipanggil oleh Khalifah Muktasim Abbasi untuk tinggal di Baghdad.
Pada waktu itu, Muktasim Abbasi memberikan perintah agar dicarikan seorang guru untuk mendidik Imam Hadi as yang menetap bersama keluarganya di Madinah. Dengan demikian, Khalifah Abbasi dapat mendidik Imam Hadi sesuai dengan selera dan keinginannya. Al-Juneidi – yang dikenal sangat menentang dan memusuhi Ahlul Bait – dipilih untuk melakukan tugas itu.
Al-Juneidi kemudian memulai kelas pendidikannya. Setelah berlangsung beberapa waktu, salah seorang keluarga khalifah melihat Juneidi dan menanyakan perkembangan si "anak" yang dititipkan kepadanya untuk dibina. Al-Juneidi memprotes sebutan kata "anak" sembari berkata, "Apakah dia anak? Aku menjelaskan satu perkara tentang adab kepadanya, tetapi dia malah menjabarkan banyak bab tentang adab kepadaku dan aku pun memperoleh ilmu darinya."
"Kadang ketika ia ingin memasuki kamar, aku sengaja mengganggunya dan meminta dia untuk membacakan satu surat dari al-Quran. Dia bertanya, 'Surat mana yang harus aku baca?' Lalu aku menyebutkan salah satu surat yang panjang. Dia membacanya dan menafsirkan ayat-ayat yang sulit kepadaku. Ia adalah orang yang alim, hafal al-Quran, dan mengetahui tafsir dan takwil ayat-ayat al-Quran. Maha Suci Allah," ujar al-Juneidi.
Imam Hadi as menduduki posisi imamah pada usia sekitar delapan tahun atau setelah ayahnya gugur syahid. Ia mulai memikul tanggung jawab sebagai pemimpin dan pemberi petunjuk kepada masyarakat Muslim selama 33 tahun. Imam Hadi melakukan tugas ini selama 13 tahun di Madinah dan 20 tahun sisanya di Samara, Irak.
Periode kepemimpinan imam kesepuluh umat Muslim Syiah ini berbarengan dengan masa kekuasaan enam khalifah dari Dinasti Abbasiyah yaitu; Muktasim, Watsiq, Mutawakkil, Muntashir, Musta'in, dan Mu'taz. Perang kekuasaan terus bergelora di balik tembok istana Dinasti Abbasiyah. Dalam kondisi ini, kezaliman dan kediktatoran para penguasa semakin meningkat sehingga menyulitkan ruang gerak para penyeru kebenaran, terutama Imam Hadi as.
Imam Hadi menetap di Madinah dan menangani semua urusan masyarakat Syiah sebelum Mutawakkil naik takhta. Begitu Mutawakkil berkuasa, para keturunan Ahlul Bait berada di bawah pengepungan ekonomi. Dia menangkap dan memenjarakan mayoritas dari keturunan Ahlul Bait pada masa itu. Di antara tindakan Mutawakkil yang paling mengerikan adalah merusak dan menghancurkan Makam Imam Husein as di Karbala.
Mutawakkil memerintahkan Imam Hadi untuk pindah dari Madinah ke Samara, ibukota pemerintahan Dinasti Abbasiyah waktu itu. Dia mengkhawatirkan pengaruh dan popularitas imam di tengah masyarakat. Setelah tinggal di Samara, pasukan Mutawakkil mengawasi seluruh gerak-gerik Imam Hadi dan memantau setiap pertemuan yang ia lakukan.
Situasi sangat mencekam dan interaksi Imam Hadi as dengan masyarakat semakin sulit. Namun, beliau dengan manajemen yang rapi dan kebijaksanaan tetap bisa menyebarluaskan pengetahuan agama dan menyelamatkan umat Islam dari jurang kefasadan.
Imam Hadi as membangun jaringan komunikasi untuk menjaga dan memperkuat basis politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan para pecinta Ahlul Bait di berbagai wilayah negara Islam. Beliau melalui perantaraan para wakil dan utusannya aktif membangun interaksi dengan masyarakat Syiah di berbagai belahan dunia Islam. Pola interaksi seperti ini sudah dirintis sejak masa kepemimpinan Imam Jakfar Shadiq as.
Para wakil tersebut mengumpulkan khumus serta menjawab persoalan-persoalan fikih dan akidah masyarakat. Keberadaan mereka membuat masyarakat bisa bernafas lega karena masih memiliki jalan untuk membangun komunikasi dengan Imam Hadi as. Lembaga perwakilan yang dibentuk Imam Hadi as bertugas untuk memperkuat dan memperlancar hubungan antara imam dengan para Syiahnya. Para wakil tersebut adalah orang-orang kepercayaan Imam Hadi.
Para imam Syiah menyusun program untuk membimbing masyarakat dan gerakan pemikiran mereka dengan memperhatikan kondisi sosial yang berlaku pada masa itu. Mereka bekerja keras untuk mendidik para murid berprestasi, yang kelak akan membangun budaya Ahlul Bait di tengah umat. Para ulama yang menjadi penerus mereka bertugas menyeru umat untuk menyembah Allah Swt dan membangun peradaban Islam yang hakiki.
Berdasarkan catatan Syeikh Thusi, jumlah total murid Imam Hadi as dan para perawi yang menukil riwayat darinya berjumlah 185 orang. Selain menguasai ilmu hadis, akidah, dan pemikiran Islam murni, mereka juga menulis banyak buku di bidang kedokteran, geografi, sejarah, astronomi, dan matematika. Karya-karya mereka berkontribusi dalam mengembangkan budaya Islam di berbagai wilayah negara Muslim.
Salah satu cara untuk menjelaskan hakikat agama dalam ajaran Syiah adalah melalui doa dan ziarah, yang bersumber dari para imam maksum. Salah satu ziarah yang paling penting di tengah masyarakat Syiah adalah ziarah hari Raya Ghadir atau Ziarah Ghadiriyah. Ziarah yang diajarkan oleh Imam Hadi as ini berisi tentang ayat-ayat al-Quran dan riwayat untuk membuktikan kebenaran kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib as.
Imam Hadi as mulai menyusun Ziarah Ghadiriyah ketika beliau sudah menetap di Baghdad dan berkesempatan untuk menziarahi Makam Imam Ali di kota Najaf. Dengan bersandar pada ayat-ayat al-Quran, beliau menjelaskan keutamaan dan karakter politik dan sosial Imam Ali as. Beliau membawakan ayat-ayat al-Quran yang secara khusus berbicara tentang kepemimpinan Imam Ali. Di antaranya adalah ayat pertama surat an-Naba’ di mana para mufasir – baik Syiah maupun Sunni – menafsirkan kata al-Naba' al-'Azim (berita besar) dengan masalah wilayah (kepemimpinan).
Imam Hadi as juga meninggalkan sebuah doa ziarah yang paling lengkap untuk masyarakat Syiah yaitu Ziarah Jami'ah Kabirah. Doa ini berisi tentang keyakinan Syiah terhadap imamah, kedudukan para imam, tugas dan tanggung jawab Syiah di hadapan para imam maksum. Ziarah Jami'ah Kabirah termasuk doa yang berisi pembahasan imamah dalam bentuk ibarat yang fasih dengan kandungan yang tinggi.
Dalam ziarah ini, Imam Hadi as memperkenalkan para imam maksum sebagai pemimpin politik, ideologi, dan spiritual umat Islam. Ziarah Jami'ah Kabirah juga menyinggung semua ajaran Syiah dengan bahasa yang fasih, seperti hubungan para imam dengan Nabi Saw, kedudukan para imam dalam keilmuan, akhlak dan politik, suri teladan, dan hubungan imamah dan tauhid.
Sebagai penutup, kami kutipkan nasihat bijak dari Imam Ali al-Hadi as yang dapat menjadi petunjuk bagi kita mengarungi kehidupan dunia. Beliau berkata, “Barang siapa taat kepada Allah, maka ia tidak akan khawatir terhadap kekecewaan makhluk.” ”Pelaku kebaikan itu lebih baik daripada kebaikan itu sendiri. Sedang pelaku keburukan itu lebih buruk daripada keburukan itu sendiri.”