Takut Kepada Tuhan dan Efek Moralnya

Imam Jakfar ash-Shadiq a.s. berkata: “Orang yang mengetahui bahwa Tuhan melihat dan mendengar pembicaraannya, dan bahwa Tuhan menyadari seluruh perbuatannya, maka yang baik maupun yang buruk akan dikendalikan oleh pengetahuan dan keyakinan ini, sehingga ia terbebas dari seluruh jenis dosa. Orang seperti itu akan takut kepada Tuhan dan menolak untuk mengikuti kecenderungan hawa nafsu.” (Tafsir al-Burhan. hal. 1071)

Rasa takut yang muncul dari perhatian kepada hasil akhir tindakan seseorang adalah seperti sebuah peringatan yang tidak mengotori dirinya sendiri dengan dosa, sebaliknya membimbingnya menempuh jalan kewajiban dan tanggung jawab yang menjamin kebahagiaan dan kesuksesan sejati. Rasa takut akan konsekuensi-konsekuensi tidak menyenangkan yang muncul akibat tindakan dosa mengubah manusia ke dalam kehidupan disiplin yang ditandai dengan kehatian-hatian, kearifan dan pandangan ke depan. Orang seperti itu akan melaksanakan seluruh kewajibannya, baik yang besar maupun yang kecil, dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab. Dalam setiap kesempatan ia akan merenungkan kebesaran dan keagungan Pencipta, dan berada di tengah rasa takut dan berharap, sebagaimana agama perintahkan, ia berharap akan kemurahan Tuhan yang terbatas sehingga ia berada dalam kehati-hatian akan konsekuensi tindakannya, dan menjadi yakin untuk tidak jatuh dalam perangkap hawa nafsu dan arogansi.

Imam Jakfar ash-Shadiq a.s. berkata: “Ketakutan dan kegelisahan adalah seperti seorang pengawas yang  diletakkan dalam hati manusia, sedangkan harapan adalah perantara antara diri dan kebutuhannya. Orang-orang yang mengetahui Tuhan berharap akan kemurahan-Nya sementara mereka takut kepada-Nya.”

Harapan dan rasa takut adalah seperti dua sayap keyakinan, dan hanya orang-orang yang beriman yang memiliki keduanya, mereka mampu terbang menuju kesenangan Tuhan. Dengan mata akalnya, mereka menatap peringatan dan ancaman Tuhan. Rasa takut mereka kepada Tuhan mengarahkan perhatiannya kepada keadilan Tuhan, yang identik dengan esensi-Nya, dan mencegah mereka dari mengotori dirinya dengan dosa. Harapan kepada Tuhan menyeru mereka untuk menerima kemurahan dan kedermawanan-Nya. Ringkasnya, harapan menjaga hati tetap hidup, sedangkan rasa takut menekannya dari kecenderungan-kecenderungan setan. (Muhajjat Bayda, 7/128)

Dalam kesempatan yang lain ketika berbicara tentang efek positif menyadari kematian, Imam Jakfar ash-Shadiq a.s. berkata: “Menyadari kematian menghapuskan seluruh nafsu dan keinginan haram dari batin manusia, memangkas akar-akar kelalaian dan membangkitkan kesadarannya, memperkuat hati untuk berharap kepada pemenuhan janji-janji Tuhan, memperhalus dan membuat peka sifatnya, menghancurkan tanda dan lencana berhala, menundukkan api kerakusan, dan memperlihatkan kepadanya remeh dan tidak bernilainya dunia. Inilah yang diimplikasikan dalam perkataan utusan yang paling mulia, merenung satu jam itu lebih baik daripada beribadah satu tahun.” (Bihar al-Anwar, 3/128)

Menyibukkan diri dalam urusan keduniaan sungguh akan menjadi tabir kelalaian dan kesembronoan yang membentang di depan visi manusia, ia membuatnya membalikkan punggungnya dari nilai-nilai spiritual yang mulia, sampai akhirnya ia mati dengan tangan hampa.

Suatu hari, pemimpin orang-orang yang beriman, Ali bin Abi Thalib a.s. masuk ke pasar kota Basrah. Beliau as menyaksikan orang-orang menenggelamkan diri dalam urusan jual-beli, seolah kematian dan kebangkitan tidak akan pernah terjadi. Atmosfir kealpaan sangat mengganggu hatinya, sehingga beliau a.s. menangis dan berkata: “Wahai hamba dunia, wahai hamba kehidupan dunia! Sepanjang siang kalian sibuk dengan urusan jual beli. Saya bersumpah pasti di waktu malam kalian juga melakukan kelalaian yang sama, malam hari kalian habiskan untuk tidur dan dalam keadaaan tak sadar penuh. Jadi siang dan malam kalian tidak menyadari akhirat dan hasil akhir urusan kalian, lantas kapan kalian akan mempersiapkan diri untuk perjalanan yang sedang menunggu kalian, dan kapan kalian akan mengumpulkan bekal yang kalian perlukan? Kapan kalian akan mulai mengingat akhirat dan kebangkitan?” (Safinah al-Bihar, 1/674)

Imam Ali Zainal Abidin Sajad a.s. dalam doanya setelah salat berkata: “Wahai Tuhan, panjangkan umurku apabila hari-harinya dihabiskan untuk ibadah dan taat kepada-Mu. Namun apabila hari-harinya hanya akan menjadi gembala setan, cabutlah nyawaku dan matikanlah aku sebelum kemarahan-Mu menimpaku atau kemurkaan-Mu menerkamku.” (Makarim al-Akhlak dalam Sahifah Sajjadiyah)

Pada saat yang sama selama manusia berada dalam dunia ini, ia ingin memenuhi kesenangan dan kenikmatan ragawinya. Kerinduan mendalam ini adalah kerinduan yang umum, tidak terbatas pada kelompok orang tertentu. Obyek keinginan ini sungguh merepresentasikan suatu kebutuhan, dan akan berakhir hanya setelah datangnya kematian. Maka dari itu, Tuhan memaksa seseorang dari kesenangan-kesenangan ini (rezeki yang baik dan bersih), atau Dia tidak mendorong seseorang untuk meninggalkan secara total urusan dunia ini.

Sekalipun demikian, mendorong manusia untuk mengarahkan kembali harapannya dari nilai-nilai yang salah dan tidak tetap menuju nilai dan aspirasi asli. Dia memperingatkannya untuk tidak tertipu oleh kesenangan-kesenangan dunia tempat transit dan ambigu ini, atau terpikat oleh hawa nafsu dan kerinduannya sehingga ia tercerabut dari balasan abadi di akhirat. Dengan kata lain, manusia didorong untuk berusaha keras agar dalam setiap kesempatan mencurahkan perhatiannya guna mencari kesenangan dan kepuasan dari Tuhan.