Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Agenda Imprealisme di Balik Gerakan Anti Hijab (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Pertarungan di seputar hijab muslimah memiliki cerita yang sangat Panjang. Upaya melembagakan ketakutan terhadap Islam baik di tingkat nasional, regional bahkan internasional membuat perempuan muslim di mana pun berada terutama di eropa menjadi rentan mengalami diskriminasi. Baru-baru ini aksi anti gerakan hijab internasional kembali mencuat dan berhamburan di beranda medsos kita lantaran seorang gadis berusia 22 tahun asal Iran, Mahsa Amini, meninggal dunia diduga dipukul oleh aparat kepolisian Iran – meskipun kasus pemukulan tersebut sampai saat ini belum terbukti – disebabkan tidak menggunakan hijab dengan benar.

Kematian Mahsa Amini dimanfaatkan oleh media mainstream internasional untuk mempropagandakan gerakan anti hijab internasional. Feminisme internasional tak segan-segan menaruh simpati kepada Mahsa Amini dan dukungan moral kepada seluruh perempuan Iran untuk melakukan aksi demonstrasi turun ke jalan menuntut penghapusan aturan hijab. Alhasil aksi demonstrasi yang berlangsung berhari-hari ini memakan korban sedikitnya 300an orang meninggal dunia.

Dari kejadian Mahsa Amini – yang sebetulnya juga telah terjadi kasus-kasus serupa – bahwa kecendrungan paradigmatik dalam melihat perempuan muslim di media dan isu gender arus mainstream adalah ‘agenda berbasis identitas’ yang dipisahkan dari sejarah kolonialisme dan kapitalisme. Perempuan muslim hanya diapresiasi jika mereka dianggap berhad-hadapan melawan sesama kaum muslim; entah itu para laki-laki patriarkis, ulama misoginis, atau pemimpin yang berkuasa di negara muslim. Sementara gerakan perempuan muslim yang berjuang melawan Islamfobia atau hijabfobia di Eropa khususnya Perancis, atau perempuan Palestina yang berbaris di garda terdepan melawan pendudukan Israel, atau perempuan yang memimpin gerakan menuntut keadilan di berbagai aspek tidak terlalu ditengok bahkan selalu dipandang sebelah mata. Sehingga apapun yang dianggap Islam atau Muslim seolah harus dibenturkan untuk menjadikan perempuan muslim disebut ‘heroik’.

Masih segar dalam ingatkan kita pada tanggal 15 Juli 2021, Pengadilan Kehakiman Uni Eropa/The Court of Justice of the European Union (CJEU) mengeluarkan keputusan sebagai legitimasi praktik diskriminasi terhadap para perempuan muslim pekerja. Atas nama netralitas di ruang publik, CJEU memperbolehkan perusahaan untuk melarang pekerja mengenakan atribut keagamaan dan memecat mereka jika tak taat pada aturan perusahaan. Keputusan ini mengulang keputusan tahun 2017 sebagai bukti konkret bagaimana kapitalisme yang beroperasi dalam aspek rasial menciptakan penindasan struktural yang dialami oleh mayoritas kelas proletariat muslim dan menjadi alat hegemoni identitas. Ini adalah hasil persekongkolan kelompok sayap kanan, neoliberal, dan feminis kulit putih di Eropa, yang ironisnya, dalam beberapa aspek melibatkan kaum Islam ‘liberal’.

Penindasan struktural ini dilakukan melalui upaya pelembagaan hijabofobia — yang dilihat secara taken for granted sebagai permasalahan horizontal dan identitas — hingga ke institusi negara dan regional. Pelembagaan ini beroperasi salah satunya dengan menekan dan mengontrol perempuan muslim di Eropa melalui politik. Politik hijab berfungsi sebagai sarana untuk mengimplementasikan suatu sistem politik tertentu dengan menentukan sejauh mana hijab dapat dikenakan dalam sistem politik tersebut (Wingo, 2003: 50). Tujuan dari politik ini tidak lain adalah untuk melayani nilai-nilai politik tertentu yang dalam konteks ini ialah nilai dari bangsa Eropa yang sekuler dan liberal.

Hijabofobia turut menjadi bagian dari mentalitas imperialisme baru, yang ditopang oleh kapitalisme rasial. Di sini konsep kapitalisme rasial masuk sebagai penyokong dari problem penindasan di era modern, yaitu neoliberalisme, rasisme dan problem pengungsi yang berakar dari kolonialisme dan rasisme sebagai bagian inheren dari kapitalisme (Thariq, 2020). Perempuan berhijab adalah representasi paling vulgar dari kehadiran mereka di tanah Eropa dirasialisasi karena identik dengan gelombang arus pengungsi non-kulit putih dari wilayah Muslim yang berkecamuk perang dan kemiskinan, sekaligus komoditas paling ‘memikat’ di wilayah-wilayah Muslim seperti Afghanistan untuk dijadikan objek ‘penyelamatan’ oleh kekuasaan imperialisme Amerika Serikat dan Eropa yang diwakili NATO.

Dua persoalan muncul sebagai warisan kolonialisme. Pertama, bagaimana kekuatan imperialisme modern membangun narasi soal ‘menyelamatkan’ perempuan muslim dari terkaman patriarki laki-laki Muslim sebagai justifikasi perang. Kedua, bagaimana kapitalisme menandai tubuh dan kehadiran perempuan sebagai agenda budaya konsumerisme dan sebagai komoditas. Jadi hijabofobia bukanlah peristiwa simsalabim muncul begitu saja, tak memiliki sejarah, maupun tak ditopang oleh kondisi material tertentu. Posisi saya ingin menekankan bahwa hijabofobia, sebagai Islamofobia yang tergenderisasi, sengaja diproduksi untuk menjustifikasi kolonialisme bangsa Eropa di Afrika dan Asia dan beregenerasi hingga sekarang untuk melayani agenda-agenda liberal, sekuler, dan so-called “feminis”.

Kritik terhadap feminisme liberal tidaklah semata pada pengelompokkan feminisme gelombang kedua atau gelombang ketiga. Fokusnya adalah kritik pada berbagai akademis yang menekankan perspektif dan agenda feminisme pada isu pemberdayaan berbasis identitas dengan bias liberalisme: semangat untuk merangkul segala aspek yang dirujuk sebagai identitas oleh perempuan, mengusung hak asasi yang melebay-lebaykan aspek kebebasan individu, mengesampingkan dimensi spiritualitas dan mengecam patriarki — padahal di saat yang sama merangkul patriarki dalam kapitalisme: bertarung tentang siapa yang berhak mengeksploitasi dan menguasai tubuh dan seksualitas perempuan. Feminis liberal berasumsi bahwa hasrat sejati tiap manusia adalah untuk mengejar otonomi dan kebebasan optimal ketika tidak dikekang oleh norma. Asumsi liberal normatif ini membuat norma dan ketaatan terhadap aturan agama dianggap mengekang perempuan dan secara insting perempuan yang ‘tercerahkan’ pasti menginginkan lepas dari kungkungan ini, sehingga gerakan perempuan dalam Islam berbasis kesalehan menempati posisi yang tidak nyaman dalam langgam feminisme (Mahmood, 2005).

Bersambung….