Mengapa hanya sedikit kitab-kitab para Imam Syiah yang sampai ke tangan kita?
Dengan Nama-Nya Yang Mahatinggi
Terima kasih Anda telah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan agama kepada kami. Sekaitan dengan beberapa pertanyaan Anda kami harus menyebutkan beberapa poin penting sebagai berikut:
Pertama, imamah (kepemimpinan) adalah merupakan tongkat estafet dan kelanjutan kenabian (nubuwwah). Falsafah keberadaan imamah adalah sama dengan falsafah keberadaan kenabian. Dalam al-Qur’an dan riwayat dijelaskan tujuan utama pengutusan para nabi adalah membina orang-orang dan memberikan kehidupan penuh nilai kepada manusia. Al-Qur’an menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul apabila rasul menyerumu kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (Qs. Al-Anfal [8]:24) Demikian juga, pada ayat lainnya, “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, meskipun mereka sebelum itu benar-benar terjerumus dalam jurang kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Jumu’ah [60]:2) Amirul Mukminin As bersabda, “Allah Swt mengutus para nabi untuk menyemaikan mutiara akal manusia. ”[2]
Kedua, membina dan menggembleng orang-orang yang pada akhirnya mereka sendiri yang dapat melakukan istinbâth (inferensi) hukum Ilahi, menyusun kitab-kitab fikih dan lain sebagainya. Di samping dapat memenuhi tujuan utama pengutusan para nabi dan menggelontorkan falsafah (reason d’etre) keberadaan imamah juga menyediakan ruang bagi tersebarnya pengetahuan-pengatahuan Ilahi[3] yang tentu saja akan banyak menuai keberkahan.
Imam Khomeini Ra dalam risalah Ijtihâd wa Taqlid dalam menjawab pertanyaan yang mempersoalkan mengapa Imam Shadiq As, lantaran kondisi-kondisi politik di masanya dan masa transisi pemindahan kekuasaan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah, mendapatkan kesempatan emas untuk membentuk hauzah dan memberikan pelajaran kepada orang-orang, akan tetapi mereka tidak menyusun risalah Taudhih al-Masâil (risalah fikih) yang menjawab seluruh persoalan dan problematika dihadapi oleh orang-orang Syiah sehingga kita tidak lagi perlu melakukan praktik ijtihad dan juga tidak harus merujuk pada riwayat-riwayat yang pada umumnya dalam bentuk soal-jawab dimana pada banyak hal terdapat kontradiksi dari riwayat-riwayat tersebut. Imam Khomeini menjawab demikian, “Apabila para Imam Maksum As menulis sebuah risalah Taudhih al-Masâil maka kita tidak lagi perlu melakukan ijtihad dan tidak akan ada orang yang pergi menuntut ilmu dan belajar untuk menggondol gelar mujtahid serta hauzah-hauzah Syiah tidak akan pernah berdiri sementara keberadaan hauzah-hauzah ini sendiri merupakan sesuatu yang ideal dan banyak membuahkan hasil yang membanggakan. Para Imam Maksum As ingin hauzah-hauzah ini berdiri supaya dapat membela dan menjaga kehormatan agama pada masa ghaibat. Dengan berdirinya hauzah-hauzah ini banyak ulama besar yang lahir dan tergembleng yang dari satu sisi, dengan menggeluti bidang keilmuan seperti Hadis, Rijal, Tafsir, Sejarah, Teologi, Filsafat, Irfan, Akhlak, Fikih dan Ushul mereka menjaga dan membela pelbagai pengetahuan yang diwarisi dari para Imam Maksum As dan dari sisi lain, mereka berdiri di hadapan pelbagai invasi budaya dan menjaga Syiah dari pelbagai penyimpangan budaya.”[4]
Ketiga, pada seluruh sistem pendidikan, pendidikan secara langsung bertatap-muka masih tetap primadona dan tidak tergantikan posisinya dengan adanya model-model pendidikan yang tidak secara langsung bertatap muka (misalnya open atau virtual university), meski model pendidikan ini telah banyak mengalami kemajuan dan menuai hasil yang menakjubkan.
Keempat, penyusunan kitab yang dilakukan oleh para Imam Maksum As secara serius dan luas, dengan memperhatikan situasi dan kondisi politik dan social pada masanya boleh jadi memiliki hasil yang tidak ideal mengingat posisi khusus para Imam Maksum akan memancing dan memprovokasi para musuh dan penguasa yang berusaha secara maksimal mengeliminir seluruh kitab atau menyelewengkan kitab-kitab tersebut yang tentu saja efek buruk dua hal ini sangat jelas. Sebagai gantinya, para Imam Maksum As menginstruksikan kepada para sahabat untuk melestarikan mazhab dengan meyusun kitab-kitab dan melalui jalan yang lebih baik sehingga mereka mampu menjaga mazhab karena, pertama, kepekaan para musuh dan penguasa kepada sahabat tidak sama dengan kepekaan mereka terhadap para Imam Maksum As. Kedua, apabila terjadi penyimpangan pada kitab-kitab para sahabat maka konsekuensi yang akan ditimbulkan tidak terlalu mengkhawatirkan.[5] Dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh para Imam Maksum As sendiri dapat dipahami bahwa apa yang dinukil oleh para sahabat boleh jadi keliru dalam memahami atau menukil riwayat dari para Imam Maksum As. Atas dasar itu, buku-buku Syiah dalam volume besar diperoleh dari hadis-hadis para Imam Maksum As yang dituturkan secara lisan kepada para sahabat dan mereka yang kemudian menulis hadis-hadis tersebut.
CATATAN:
[1]. Jelas bahwa penggunaan metode ini sepanjang sejarah khususnya pada masa para Imam Maksum tidak hadir secara langsung di tengah masyarakat telah memberikan garansi pada lestarinya agama dan mazhab Syiah.
[2]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 1.
[3]. Orang-orang ini beramal laksana ensiklopedia dan juru bicara. Dengan hadirnya mereka di tengah ragam masyarakat dengan ucapan dan perbuatannya telah menjadikan diri mereka sebagai sebaik-baiknya unsur dalam tabligh dan penyebaran maarif.
[4]. Silahkan lihat, Târikh Ilmu Ushûl, Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 74-76.
[5]. Jelas bahwa konsekuensi distorsi pada sebuah matan yang secara definitif disandarkan kepada para maksum sementara para maksum tidak menyusunnya tentu tidak sama dengan penyimpangan pada matan yang disandarkan kepada salah satu murid imam.
[6]. Silahkan lihat, Software Pârsejû, Pasukh: Wahid Pasukh be Sualat-e Daftar Tablighat Islami, be Pursesy: Luthfan nâm kitâb-hâye imâmân-e mâ râ beguyid. Har kudum az kitab-ha baraye kudum imâman As? Taudhih dahid. Departemen Penjawab Pertanyaan-pertanyaan, Kantor Propaganda Islam. Pertanyaan: Tolong Anda sebutkan nama-nama kitab para imam dan jelaskan masing-masing kitab dan karya imam yang keberapa?
[7]. Jufr adalah sebuah ilmu yang dengannya pelbagai peristiwa yang terjadi di dunia hingga hari Kiamat dapat diketahui. Ilmu ini berada dikuasai oleh Amirul Mukminin As dan para Imam Maksum As dan para ilmuan Barat menyandarkan ilmu ini kepada AHlulbait As. Allamah Dekhoda berkata, “Dalam kitab Kasyf Isthilâhât-e al-Funûn disebutkan, “Ilmu Jufr dan Jâmi’ adalah dua subyek yang ditulis dan disusun oleh Amirul Mukminin Ali As dalam dua kitab. Dalam kitab tersebut disebutkan pelbagai kejadian yang terjadi di dunia hingga hari Kiamat dan tentu saja para Imam Maksum (lainnya) mengetahui ilmu ini pasca Amirul Mukminin Ali As. Segala persoalan yang terkait dengan masa depan mereka keluarkan dari kitab itu. Apa yang disampaikan oleh Imam Ridha As dalam menjawab permintaan Makmun untuk menerima wilayah ahd, “Bahwa tugas menjadi pengganti dan khalifamu aku terima namun hal ini tidak akan pernah terlaksana; artinya sebelum itu terjadi aku akan meninggalkan dunia ini. Sayid Sanad menyandarkan prediksi ini pada ilmu Jufr dan Jâmi’. (Lughat Nâme Dekhâda, jil. 5, hal. 6852). Imam Shadiq As juga bersabda, “Sesungguhnya terdapat pada kami jufr merah dan putih, mushaf Fatimah dan al-Jame’ yang di dalamnya terdapat segala sesuatu yang diperlukan manusia.” Bihâr al-Anwâr, jil. 26, hal. 18. Irsyâd Syaikh Mufid, hal. 257. Ihtijâj Thabarsi, jil. 2, hal. 132. Terkait dengan kriteria kesahihan ilmu ini jelas bahwa prinsip-prinsip dasar yang berada di tangan para maksum bersifat pasti dan definitif. Namun untuk keluar dari siklusnya dan memiliki dimensi edukatifnya – dengan asumsi dapat dicapai – maka ia akan seperti ilmu-ilmu asumtif lainnya. Fondasi-fondasi ilmu ini berdiri di atas jenis olah-olah batin yang sangat pelik. Meski kami tidak menganjurkan Anda untuk mempelajarinya namun Anda dapat mendapatkannya pada literature-literatur berikut ini: 1. Nafâis al-Funun, Syamsuddin Amuli. 2. Sarmâye Sukhanwarân, jil. 1, Muqaddam. 3. Gulzâr-e Akbâri, Nahawandi. 4. Anwâ’ wa Asykâl-e Syenâkht, Ali Ishaq.
[8]. Bashâir al-Darâjât, Hasan bin Farakh, hal. 157 – 159; Ma’âlim al-Madrasatain, Sayid Murtadha Askari, jil. 2, hal. 233.
[9]. Al-Mahâsin, Muhammad bin Khalid Barqi, hal. 193.
[10]. Bashâir al-Darâjât, Hasan bin Farakh, hal. 157-158.
[11]. Ibid, hal. 153; al-Kâfi, Kulaini, Hadis 1, hal. 24.
[12]. A’yân al-Syiah, Sayid Muhsin Amin, jil. 2, hal. 332 – 333.
[13]. Ibid, hal. 457-476.
[14]. Ibid, hal. 476 – 518.
[15]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 240.
[16]. A’yân al-Syiah, Sayid Muhsin Amin, hal. 518 – 521.
[17]. Ibid, hal. 539.
[18]. Ibid, hal. 566 – 568. Bashâir al-Darâjât, hal. 157-158.
[19]. A’yân al-Syiah, hal. 584. Bashâir al-Darâjât, hal. 153. Al-Kâfi, Hadis 1, hal. 24.
[20]. Ibid, hal. 588.
[21]. Silahkan lihat, Tammulât dar Ilm Ushul Fiqh, Mahdi Hadawi Tehrani, Kitab Awwal, Daftar-e Syisyum, hal. 94 – 101.
[22]. Seperti musnahnya kitab-kitab Ibnu Abi Umair; Jâmi’ al-Ruwât Ardabili, jil. 2, hal. 51.
[23]. Seperti pembakaran perpustakaan Syaikh Thusi; Muqaddimah Rijâl Syaikh Thusi, hal. 17.