Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ibn Hazm Menukil Pendapat Sekelompok Ulama tentang Pengkafiran terhadap Orang Lain

0 Pendapat 00.0 / 5

Sudah menjadi rahasia umum, ketika kita mendengar nama ‘Wahabi’, maka pikiran kita langsung terbang, membayangkan kekerasan di dalam ajaran tersebut, yang menjadi ciri khas ajaran tersebut. Salah satu bentuk dari kekerasan ajaran tersebut adalah soal pengkafiran mereka terhadap kelompok atau orang yang bersilang pendapat dengan keyakinan mereka.

Iya, itulah salah satu ciri-ciri yang paling menonjol dari keyakinan yang digawangi oleh Imam Besar mereka, yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab. Di dalam tulisan sebelumnya, kami telah membeberkan tentang ketidakbenaran perbuatan mencap orang lain sebagai kafir, baik itu menurut kacamata para ulama, para Imam Ahlulbait hingga Nabi Muhammad Saw.

Untuk melengkapi pandangan tersebut, ada perkataan seorang ulama lain yang patut kita renungkan, agar kita tak terseret ke dalam gelombang pengkafiran ini. Berikut adalah sebuh pernyataan dari ulama Ahlusunnah yang cukup masyhur, yaitu Ibn Hazm di dalam kitabnya yang berjudul Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wa an-Nihal.

وَذَهَبتْ طائفةٌ إلى أنّهُ لا يُكَفَّرُ وَلا يُفَسَّقُ مُسْلِمٌ بقولٍ قالَهُ في اعتقادٍ، أو فُتْيا ، وإنَّ كُلَّ مَنْ اجتَهَدَ فِي شئٍ مِن ذلك فَدانَ بِما رَأى أَنَّهُ الحقّ فَإنَّهُ مَأجورٌ عَلى كُلِّ حالٍ، إن أصابَ فَأجران، وإنْ أخْطَأَ فَأجرٌ واحدٌ.

قال: وهذا قَولُ ابن أبي لَيْلى وأبي حَنيفة والشافِعي وسُفْيان الثَورِي وداود بن علي.

Sekelompok ulama berpendapat bahwa seorang Muslim tidak mengkafirkan dan tidak pula mencap fasik terhadap orang dengan keyakinann serta fatwa-fatwanya (yang salah) di dalam sebuah perkara. Oleh karenanya, setiap orang  yang berijtihad tentang suatu perkara, maka ia dianggap sebagai benar, dan dianggap sebagai pribadi yang diberi pahala. Jika ijtihad-nya benar, maka ia medapatkan dua pahala, dan apabila salah, maka ia mendaptkan satu pahala.

Perkataan di atas, merupakan hasil dari pandangan seorang ulama bernama Ibn Abi Laili dan Abi Hanifah serta Imam Syafi’I, Sufyan Suri, Dawud bin Ali… (Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wa Nihal, Ibn Hazm, jil. 2, hal. 267, cetakan Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut-Lebanon).

Pandangan di atas secara tersirat hendak mengatakan, kalau mencap orang lain sebagai kafir dikarenakan keyakinanya yang berbeda dengan kebanyakan orang, merupakan perihal yang patut dihindari. Apalagi, tak jarang hal itu dilakukan oleh seorang yang dianggap ‘ulama’.

Mestinya seorang ulama menjadi contoh bagi umatnya, termasuk contoh untuk tidak mengkafirkan orang lain yang beda pandangan. Wallahu a’lam bi as-hawwab.