Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Taklif Puasa, Anugerah Ilahi yang Mudah Dikerjakan (3)

1 Pendapat 05.0 / 5

Ibadah Itu Mudah

Satu lagi permasalahan menarik yang bisa kita telaah dari kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan adalah yang terkait dengan prinsip kemudahan yang ada pada segala macam taklif agama. Di dalam ayat 184 surat Al Baqarah, Allah SWT menyatakan bahwa bagi mereka yang yuthiiquun, maka cukuplah mereka untuk membayarkan fidyah, yaitu makanan untuk orang miskin.

Secara lahiriah, kalimat ini membingungkan, karena thaaqa yang merupakan akar kata yuthiiquun, memiliki arti mampu, kuat, dan kuasa. Di akhir surat Al Baqarah (ayat 286), ada doa yang dipanjatkan sebagai berikut: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami apa yang laa thaaqata lana bih (tidak ada kemampuan kami atas hal tersebut). Karena itu, rangkaian kalimat pada ayat tersebut, secara lahiriah berarti: “Dan bagi mereka yang mampu (berpuasa), cukuplah bagi mereka membayar fidyah”.

Para mufassirin memiliki pendapat yang berbeda-beda saat memaknai ayat di atas. Sebagian menyatakan bahwa ayat tersebut mengandung harf laa (لا) yang dilesapkan. Jadi, ayat tersebut sebenarnya berbunyi: laa yuthiiquunahu (mereka yang tidak mampu). Sebagian lagi menyatakan bahwa kata kerja yuthiiquun berasal dari mashdar ithaaqah, dan wazan if’al bisa menegasikan arti asal. Dengan demikian, alih-alih memiliki arti mampu, yuthiiquun justru bermakna tidak mampu. Ada juga yang menyatakan bahwa redaksi yang ‘aneh’ dari ayat ini menunjukkan pilihan bagi kaum beriman antara berpuasa atau memberi fidyah.

Terkait dengan kerumitan ini, ada baiknya kita mencoba menafsirkan ayat tersebut secara tematis. Sebagaimana yang dituliskan di atas, di akhir surat Al Baqarah ada kata thaaqah, yang berarti mampu. Di ayat yang sama, ada kata lain yang digunakan Al Quran yang sama-sama memiliki makna mampu, yaitu kata wus’u (وسع). Kalimat ayatnya berbunyi “laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya).

Apa perbedaan wus’u dengan thaaqah? Para ahli bahasa sepakat bahwa wus’u adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu secara mudah. Sementara itu, thaaqah adalah kemampuan sambil berpayah-payah. Jika Anda seorang lelaki dewasa yang memiliki fisik normal, mengangkat beban seberat 5 kilogram tentulah bukan hal yang sulit. Kemampuan mengangkat beban seberat 5 kilogram itu dinamakan wus’u. Tapi, jika Anda disuruh mengangkat beban seberat 50 kilogram, Anda mungkin saja bisa melakukannya. Tapi, bisa dipastikan bahwa Anda akan berpayah-payah saat mengangkat beban tersebut. Inilah yang dinamakan thaaqah.

Dalam contoh lainnya, jika kita disuruh untuk mengerjakan dua rakaat shalat Shubuh dalam rentang waktu satu setengah jam, yaitu mulai terbitnya fajar hingga terbitnya matahari, kita akan mengatakan bahwa shalat Shubuh adalah kewajiban yang mudah untuk dikerjakan. Akan tetapi, seandainya kita disuruh mengerjakan shalat dua rakaat sambung menyambung tanpa henti selama satu setengah jam, kita bisa saja melakukannya. Akan tetapi, kita pasti akan melakukannya dengan bersusah payah. Dalam contoh shalat Shubuh tadi, kemampuan kita itu disebut wus’u, sedangkan kemampuan untuk melakukan shalat dua rakaat terus menerus selama satu setengah jam itu disebut thaqah.

Demikian juga dengan puasa. Secara fisiologis, manusia normal mungkin saja akan mampu menahan diri untuk tidak makan dan minum selama 24 jam. Akan tetapi kemampuan tersebut pastilah akan ditunjukkan dengan berpayah-payah. Kemampuan ini disebut thaqah. Sementara itu, berpuasa sekitar 14 jam akan bisa dilakukan manusia normal dengan cukup mudah. Kemampuan ini disebut wus’u.

Karena kondisi manusia berbea-beda, parameter kemampuannya pun berbeda-beda. Bagi orang yang sudah tua, mengangkat beban seberat 5 kilogram jadi akan menjadi pekerjaan yang berat. Baginya pula, menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum selama 14 jam adalah sebuah pekerjaan yang sangat berat. Untuk itu, menurut Al Quran, bagi para orang tua atau yang sakit permanen, kewajiban berpuasa adalah pekerjaan yang amat berat, meskipun mungkin saja masih bisa dilakukan. Istilahnya berpuasa adalah pekerjaan yang sudah memasuki zona merah thaqah, bukan lagi zona wus’u. Bagi mereka ini, puasa bisa diganti dengan fidyah.

Kesimpulannya, puasa itu wajib hanya bagi mereka yang punya kemampuan untuk melaksanakannya dengan mudah, bukan dengan berpayah-payah. Hal yang sama juga hakikatnya berlaku untuk segala macam kewajiban ibadah yang dibebankan kepada manusia. Jadi, ibadah itu mudah. Jika terasa sulit, kitalah sendiri yang mempersulit

[i] Cerita lengkap perjalanan saya bisa dibaca di buku Pelangi di Persia (Pustaka IIMaN 2007)

[ii] Seperti yang diceritakan dalam Al Quran surat Al Maidah ayat 27-31.