Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Adu Konsep Pemikiran Tentang Ego: Antara Sigmund Freud dan Al-Ghazali (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Konsep pemikiran Sigmund Freud mengenai psikoanalisa adalah ikhtiar manusia Barat di saat filsafat eksistensialisme sedang merajai dunia. Konsep mengenai alam bawah sadar yang cenderung bersifat liar dikategorikan sebagai naluri hewani yang ada pada diri manusia, dan disebutnya sebagai “id”. Fase berikutnya adalah “ego”, yakni kesadaran akan kemanusiaan, di saat hal-hal negatif yang tak layak dari alam bawah sadar manusia, perlu dikesampingkan.

Namun demikian, Frued menarik kembali potensi-potensi insting dan naluri hewani, sebagai kekuatan menakjubkan yang bisa dicapai oleh kasadaran manusia, hingga mencapai fase “super ego”. Jadi, fase kesuksesan dan keberhasilan manusia bisa dicapai dengan menggabungkan unsur ketidaksadaran (hewani) dan unsur kesadaran (manusiawi), untuk mencapai fase manusia unggul. Tetapi, konsep ini tentu bersifat Barat-sentris yang dibangun dari puing-puing abad kegelapan, sebagai antitesis dari pandangan kaum agamawan (Gereja) yang ortodoks dan konservatif.

Pemikiran Freud sangat terbatas untuk lebih memasuki kualitas hidup bahagia, yang kemudian seorang muridnya, Carl Gustav Jung menawarkan konsep psikologi analitis, bahwa agama yang kontekstual dan pemahaman ketuhanan yang bersifat esoterik dapat menjawab kegamangan dan kegersangan manusia hiper modern. Pada konteks inilah Jung menarik benang-benang merah dari konsepsi agama (Kristiani) yang mengajarkan hidup bersahaja berdasarkan teladan Nabi Isa, yang dalam terminologi Islam dikenal sebagai zuhud, termasuk juga konsep ketakwaan dan  “melawan hawa nafsu”. Tetapi, jauh sebelum era psikoanalisa Freud, seorang ulama dan filosof muslim, Al-Ghazali sudah memasuki pemikiran yang melampaui banalitas manusia hiper modern, kemudian dengan jitu merumuskannya.

Nafsu hewani yang tak mampu dikendalikan itu tak lain sebagai “nafsu al-ammarah”, yang dalam konteks tertentu dapat membawa manusia kepada sifat-sifat yang lebih keji dari binatang buas. Dalam nafsu ini terkandung hasrat dan ambisi manusia akan kekuasaan, keserakahan, dengki, irihati, ingin menang sendiri, gila pujian dan penghormatan, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang, dan seterusnya.

Tapi, jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seseorang, maka ia akan dimudahkan untuk memahami segala sesuatu. Oleh karena itu, Rasulullah menegaskan pentingnya seseorang untuk terampil membaca kekurangan dirinya ketimbang sibuk mengorek-ngorek kesalahan orang lain. Sebab, orang yang disibukkan melihat kekurangan diri, ia akan tertutup kemungkinan untuk melihat aib dan kejelekan orang lain. Dengan demikian, pandangannya selalu “berhusnudzon” kepada rencana Tuhan, juga kepada makhluk-makhluk Tuhan. Tetapi sebaliknya, mereka yang sibuk mengorek-ngorek kesalahan orang, boleh jadi akan tertutup mata-hatinya untuk melihat segala kekurangan yang ada pada dirinya.

Konsep inilah yang ditegaskan Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam karya “hikamnya”, bahwa orang yang dikasyafkan (dibukakan hatinya) untuk melihat kekurangan diri, jauh lebih mulia ketimbang mereka yang dikasyafkan pada alam-alam gaib di sekelilingnya.

Lalu, ketika seseorang telah dikasyafkan akan kekurangan dan kekhilafannya, muncullah kesadaran diri bahwa manusia memang bersifat lemah dan terbatas. Pada fase ini, meningkat kepada nafsu “al-lawwamah”, bahwa dosa dan kesalahan yang dilakukan di masa lalu akan mengantarkan kesadaran manusia pada penyesalan, introspeksi diri, kemudian menjalani proses perubahan ke arah positif yang membawa maslahat bagi dirinya dan orang lain. Akan tetapi, jika nafsu al-ammarah yang dikedepankan, justru manusia akan semakin terperosok ke jurang yang lebih dalam lagi, akibat dari kesalahan yang telah diperbuatnya.

Untuk itu, setelah muhasabah dan dikasyafkan segala kekurangan dan kelemahan diri, maka berhentilah membuat lubang-lubang galian yang akan membuat Anda terus-menerus terperosok. Lebih baik menghindari kesalahan, daripada Anda terus-menrus berkubang dalam dosa, kemudian bertobat, lalu kembali melakukan kesalahan yang sama, kemudian bertobat lagi dan seterusnya.

Bersambung ...