Mono dan Poli dalam Teologi (Bagian 1)
Tauhid adalah meyakini ketunggalan (keesaan) dan ketaktersusunan (kesederhanaan)Tuhan.
Tuhan adalah sebutan dalam bahasa Indonesia untuk sesuatu yang merupakan individu prima, sempurna, tak bermula dan tak berakhir.
Tauhid dapat dirincikan dalam tiga dimensi sebagai berikut:
Pertama adalah keyakinan tentang ketunggalan personalitas (dzat)-Nya.
Inilah yang mungkin diyakini oleh mayoritas umat manusia dengan ragam teologi dan agamanya. Bisa dikatakan, mayoritas manusia meyakini bahwa Tuhan dengan aneka sebutan manusia di setiap tempat dan masa adalah individu tak berbilang dan tak tersusun. Karena makna keesaan atau ketunggalan inilah, seluruh atau mayoritas dominan umat manusia dianggap sebagai monoteis atau pengiman ketunggalan Tuhan.
Bila diperhatikan dengan seksama, keberadaan atau eksistensi Tuhan sebagai entitas atau “sesuatu” semakna dengan ketunggalan dan kesederhanaan. Artinya, karena eksistensi atau ke-ada-an secara ontologis meniscayakan ketunggalan dan kesederhanaan (ketaktersunan), maka mengimani keberadaan dzat Tuhan secara aksiomatik mengafirmasi ketunggalan dzatNya.
Dengan kata lain, dalam konteks tauhid pada dimensi pertama, politeisme tak berbeda dengan ateisme dan monoteisme adalah teisme itu sendiri.
Kedua adalah keyakinan tentang ketunggalan dzat Tuhan dengan semua atribut-Nya.
Monoteisme dimensi kedua ini menjadi area sengketa para penganut monoteisme. Sebagian monoteis menganggap dzat Tuhan berbeda secara eksistensial dengan atribut-atributNya seperti mahakuasa dan sebagainya, termasuk mungkin pembilangan 20 sifat Tuhan. Inilah monoteisme pluralistik. Semirip dengannya adalah henoteisme, yaitu keyakinan tentang satu Tuhan tanpa menafikan adanya dewa-dewa lainnya. Henoteisme juga dipahami sebuah teologi di antara politeisme dan monoteisme.
Sebagian lain meyakini ketakterpisahan dzat Tuhan dari atribut-atributNya karena menjadikan ketunggalan eksistensi dan keniscyaan keabadianNya sebagai dasar postulat ketunggalan dzat Tuhan dengan atribut-atributNya. Inilah monoteisme monistik.
Berdasarkan klausa-klausa swabukti dalam ontologi, para pengiman tauhid dalam sifat-sifat beranggapan bahwa tak megimani ketunggalan dzat dengan sifat-sifatnya sama dengan tidak mengimani ketunggalan alias mengingkari keesaanNya (syirk).
Dalam konteks polemik seputar tauhid dalam dimensi kedua ini agama masing-masing pengiman keesaan Tuhan tidak relevan untuk disertakan karena teologi dalam struktur penalaran mendahului agama yang merupakan buah dari keimanan kepada Tuhan.
Ketiga adalah keyakinan tentang ketunggalan dzat dan perbuatan-perbuatanNya. (Bersambung)