Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Catatan Sufistik: Burung pun Berakal (1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Di Indonesia, beberapa masjid kuna meletakkan burung buatan di bagian atas, yang sekarang banyak di pasang bulan dan bintang. Burung, oleh para kaum sufi adalah tanda, tanda-tanda “keluhuran”. Mengapa para sastrawan sufi gemar menggunakan imaji burung?

Jawaban konvensionalnya adalah karena burung melambangkan ruh. Mulanya, demikian kaum sufi mendongeng, burung-burung ruh beterbangan di angkasa surga, bertengger di pepohonannya, dan bermain di tamannya. Pada waktu yang telah ditentukan, burung-burung ruh diamanahi tugas mahaberat.

Mereka menerima perintah untuk keluar dari surga, mengembara di bumi, untuk kemudian—lucunya—pulang kembali ke surge dengan pengalaman, derajat, dan status spritual yang lebih tinggi.

Pengembaraan kawanan burung ruh di belantara bumi tak berjalan mulus dan berlangsung mudah. Sebab, ketika sampai di bumi, mereka terkurung dalam sangkar tubuh. Karena begitu kuatnya pengaruh tubuh, mereka melupakan jati dirinya sebagai penghuni surga yang luhur dan agung. Bahkan, mereka lupa dengan tugas yang dulu diamanahkan.

Kini mereka berpikir bahwa bumi merupakan satu-satunya tempat kelahiran, kehidupan, dan kematian. Tidak ada kehidupan lain selain kehidupan dunia. Tidak ada pengembaraan—tepatnya perjalanan—spiritual dari surga ke surga melintasi bumi. Burung lupa bahwa dirinya adalah burung.

Dalam bencana lupa jati diri itu, dari surga diutuslah sang burung pemandu, satu demi satu, untuk mengingatkan umat burung tentang jati diri dan tugas mereka, juga untuk membimbing mereka pulang ke kampung halaman sejati, yaitu surga.

Pada panggung sejarah, burung pemandu tampil sebagai guru spiritual dari beragam aliran, agama, dan tradisi. Dalam karya sastranya masing-masing, Ibnu Sina, lalu juga Fariduddin Attar, secara alegoris mengisahkan perutusan, pembimbingan, dan penyelamatan kawanan burung ruh oleh sang burung pemandu ini.

Itulah jawaban konvensional mengapa kaum sufi gemar menggunakan imaji burung dalam bersastra. Namun demikian, sebenarnya ada jawaban segar yang berhubungan dengan kemajuan sains dewasa ini. Berdasarkan penelitian ornitologi mutakhir, diketahui bahwa burung bukan binatang bodoh. Secara kognitif, burung seperingkat dengan spesies fauna pintar lain: simpanse dan lumba-lumba.

Menurut catatan majalah National Geographic (edisi Februari 2018, h. 110-111), di antara semua anggota keluarga avian, tiga besar burung paling pintar adalah gagak (corvus corax), nuri abu-abu (psittacus erithacus), dan pelatuk jambul (dryocopus pileatus).

Gagak mampu memecahkan teka-teki, menggunakan (dan menciptakan) alat, meneliti pihak lain, mempelajari vokal, bersosialisasi, mengingat, dan bermain. Demikian pula nuri abu-abu. Pelatuk jambul punya kemampuan kognitif tinggi dalam memacahkan teka-teki, menggunakan alat, dan bermain.