Para Perempuan Pemberani Ahlulbait (4)
Sakinah, putri Imam Husain as
Narator Karbala, Sakinah lahir dari seorang ibu bernama Rabab dan istrinya Qasim bin al-Hasan syahid di Karbala. Dia yang telah melihat kejadian itu dari dekat di Karbala. Dia dianggap sebagai salah satu perawi tragedi Karbala. Menurut Fadhl Darbandi dalam kitab Asrar al-Syahadah Sakinah, dia berkata: “Pada malam Asyura, saya mendengar ayah saya dan para sahabatnya berkata dari belakang tenda, saya diam dan tidak memberi tahu wanita lain. Saya perlahan bergerak maju, saya melihat ayah saya duduk dan teman-temannya mengelilinginya, ayah saya berkata: Anda berpikir bahwa jamaah ini akan berjanji setia kepada saya, tetapi Anda melihat bahwa iblis telah menguasai mereka, kecuali untuk membunuh saya dan teman-teman saya dan menangkap para Ahlulbait. Mereka tidak menginginkan yang lain. Ayahku belum selesai berbicara, sepuluh atau dua puluh orang pergi dan sekitar tujuh puluh atau delapan puluh orang tersisa.” Ummu Kulthum memperhatikanku dan bertanya kepadaku: “Apa yang terjadi? Saya menceritakan kisahnya, dia tidak tahan dan berteriak: “Ya Muhammada, Ali dan Husain..” Sakineh meninggal dunia di Madinah pada tahun 117 H.
Lubabah binti al Harits adalah istri Abul Fadhl
Lubabah, putri Ubaidullah bin Abbas, perempuan dari Qamar Bani Hasyim. Dia juga turut hadir di padang sahara Karbala. Setelah Abul Fadhl as mati syahid, dia menjadi tawanan dan setelah itu dia kembali ke Madinah bersama Ahlulbait. Tentunya bagi para perempuan ini, mereka telah diberi posisi dan kedudukan seperti suami dan laki-laki mereka di surga. Ya, setelah syahidnya Imam Husain as, para perempuan ini menjaga jiwa mereka dengan berusaha dalam setiap kesempatan yang ada, mengamalkan risalah revolusinya.
Dengan peran yang dimainkan setiap dewi-dewi sahara ini, baik secara individu ataupun kelompok, langsung atau tidak langsung, telah memberikan kontribusi kuat pada catatan sejarah pembantaian dan perjuangan cucu Rasulullah saw, al Husain assyahid. Dengan kesucian dan kesopanan serta kehadirannya yang komprehensif dan penting, mereka memenuhi tanggung jawab politik, revolusioner dan agama mereka pada saat-saat sejarah yang kritis.
Harapannya, perempuan saat ini akan melanjutkan misi perjuangan para perempuan pemberani ini, setidaknya air mata kita dalam penderitaan putra Zahra adalah semacam partisipasi dalam hikayatnya karena Imam Husain layak untuk tetap berada dalam sejarah dunia. Namun untuk menjaga dan mengaktualisasikan pencapaian gerakan suci Imam Husain as dan keabadian jalannya diwujudkan, kita tidak cukup hanya dengan menangisi tiap tahunnya tapi harus disertakan dengan gerakan yang kita lakukan dalam mentransformasi gerakan asyura dalam kehidupan sosial masyarakat sesuai cita-cita perjuangan Imam Husain as.