Apakah metode filsafat jauh lebih mengakar ketimbang metode agamis?
Agama merupakan sekumpulan keyakinan, moralitas, aturan-aturan dan hukum-hukum yang disediakan bagi manusia melalui jalan wahyu dan akal untuk mengatur manusia dan masyarakat serta membina manusia menjadi manusia-manusia unggul.
Karena itu, agama tidak berseberangan dengan akal bahkan agama adalah sebuah realitas paripurna dan yang meliputi dimana akal juga merupakan salah satu jalan untuk memahami agama dan media untuk menyingkap pelbagai realitas dan hakikat. Agama dalam pelbagai pembahasan rasional tidak mencukupkan diri pada masalah-masalah universal dan semata-mata menyepakati argumentasi akal, melainkan juga mengurusi hal-hal partikular dan menjelaskan argumen-argumen rasional.
Dengan kata lain, bagian terpenting ajaran-ajaran agama dijelaskan dengan lisan akal atau bahasa rasional; artinya bahwa meski ajaran-ajaran agama itu sepintas adalah nukilan (naqli) namun kandungannya menyimpan argumen-argumen rasional (aqli).
Poin lainnya adalah bahwa filsafat meski digunakan dalam artian yang sesungguhnya, dapat digunakan sebagai media yang baik untuk melayani agama seperti kebanyakan ilmu-ilmu lainnya yang membantu merealisasikan tujuan-tujuan agama, namun harap diperhatikan bahwa filsafat juga memiliki beberapa kekurangan yang sekali-kali tidak akan pernah menggantikan peran agama. Karena pertama: filsafat sama sekali tidak dapat dijadikan tempat sandaran secara mutlak; lantaran terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam filsafat. Kedua, bahasa agama adalah bahasa umum dan dapat dipahami oleh masyarakat secara umum; agama berbicara dengan masyarakat dengan bahasa fitrah namun bahasa filsafat hanya mampu menarik sebagian dari masyarakat saja.
Namun menarik dan seninya adalah bahwa agama di samping menyodorkan ajaran-ajarannya yang sangat berharga bagi semua orang dan menggunakan ungkapan-ungkapan sederhana juga menawarkan gagasan-gagasan subtil dan sublim yang dapat disemai dari ungkapan-ungkapan sederhana itu. Ketiga, tujuan agama adalah untuk menyucikan jiwa-jiwa dan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan dan kesesatan kepada cahaya petunjuk dan makrifat sementara tujuan filsafat adalah untuk memuaskan dimensi rasional manusia.
Jawaban Detil
Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya kita perlu terlebih dahulu mendedah definsi filsafat kemudian menemukan hubungan dan benang merah antara filsafat dan agama.
Apa itu Filsafat?
Para filosof menjelaskan beberapa definisi tentang filsafat:
Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang subyeknya adalah entitas mutlak dan membahas tentang kondisi-kondisi entitas mutlak.[1]
Filsafat adalah sebuah proses penyempurnaan jiwa manusia melalui pengenalan terhadap hakikat seluruh entitas.[2]
Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang mengulas pembahasan-pembahasan argumentatif yang tujuannya adalah untuk menetapkan keberdaan hakiki segala sesuatu, mengidentifikasi sebab-sebab dan proses tingkatan keberadaannya.[3]
Apa itu Agama?
Agama merupakan sekumpulan keyakinan, moralitas, aturan-aturan dan hukum-hukum yang disediakan bagi manusia melalui jalan wahyu dan akal untuk mengatur manusia dan masyarakat serta membina manusia menjadi manusia-manusia unggul.[4]
Karena itu, pertama, agama tidak terbatas semata-mata pada nukilan. Kedua agama tidak berseberangan dengan akal bahkan agama adalah sebuah realitas paripurna dan yang meliputi dimana akal juga merupakan salah satu jalan untuk memahami agama dan media untuk menyingkap pelbagai realitas dan hakikat. Agama dalam pelbagai pembahasan rasional tidak mencukupkan diri pada masalah-masalah universal dan semata-mata menyepakati argumentasi akal, melainkan juga mengurusi hal-hal partikular dan menjelaskan argumen-argumen rasional.[5]
Dengan kata lain, bagian terpenting ajaran-ajaran agama dijelaskan dengan lisan akal atau bahasa rasional; artinya bahwa meski ajaran-ajaran agama itu sepintas adalah nukilan namun kandungannya menyimpan argumen-argumen rasional sebagaimana Imam Ali As, terkait dengan falsafah kemestian pengutusan para nabi, bersabda, “Para nabi datang untuk membuat khazanah akal bersemi.”[6]
Hubungan Agama dan Filsafat
Terkait dengan hubungan agama dan filsafat harus dikatakan bahwa filsafat dalam artian yang sebenarnya artinya adalah penalaran-penalaran rasional dan argumentatif, dengan penerapan metodis dan tepat, dapat digunakan sebagai media untuk agama sebagaimana ilmu-ilmu lainnya yang membantu terealisirnya tujuan-tujuan agama.
Namun, mengingat subyek filsafat adalah (entitas mutlak) universal dan membahas entitas hakiki segala sesuatu, sebab-sebab dan bagaimana tingkatan entitas mereka. Sentral pembahasan asasi agama (bagian keyakinan) juga adalah alam keberadaan dan sebab-sebabbya. Dengan demikian hubungan agama dan filsafat adalah hubungan yang lebih lekat ketimbang ilmu-ilmu lainnya; karena masing-masing disiplin ilmu ini dalam bidang tertentu membantu terealisirinya tujuan-tujuan agama namun filsafat bantuannya lebih luas dalam merealisasi tujuan-tujuan agama.
Dari sisi lain, mengingat bahwa metode dan cara filsafat adalah penalaran dan mengandalkan argumen-argumen rasional, dalam pembahasan agama juga akal dapat digunakan untuk menyingkap hakikat agama di samping nukilan (naql).[7] Namun bagaimanapun filsafat memiliki beberapa kekurangan yang di antaranya adalah sebagai berikut:
Yang dimaksud bahwa akal dapat menyingkap hakikat agama adalah akal murni dan benar bukan rajutan-rajutan pikiran yang dinamai sebagai pembahasan rasional. Dengan kata lain, akal murni terlepas dari kesalahan sementara aqil (orang yang menggunakan akal) dan filosof tidak demikian. Karena itu kita tidak dapat membandingkan antara filosof, teolog, juris dan lain sebagainya dengan para nabi.[8] Atas dasar itu, kita tidak dapat bersandar secara mutlak kepada para filosof dan memandang mereka terlepas dari kesalahan; karena terdapat kesalahan dan kekeliruan pada seluruh aliran filsafat yang digandrungi orang dewasa ini.
Bahasa filsafat meski dapat digunakan sebagai media dan alat namun sekali-kali tidak dapat menggantikan bahasa agama; karena:
Pertama, bahasa filsafat – apabila dipahami dengan benar – hanya dapat menarik beberapa orang tertentu; namun bahasa agama adalah bahasa umum dan dapat dipahami oleh semua orang; karena agama berurusan dengan kebudayaan manusia bukan dengan dialek, bahasa dan budaya masyarakat tertentu; obyek seruan agama adalah kebudayan bersama seluruh manusia yaitu fitrah manusia; agama juga berbicara dengan manusia dengan bahasa fitrah.[9] Namun menariknya adalah bahwa agama di samping menyodorkan ajaran-ajarannya yang sangat berharga bagi semua orang dan menggunakan ungkapan-ungkapan sederhana juga menawarkan gagasan-gagasan subtil dan sublim yang dapat disemai dari ungkapan-ungkapan sederhana itu; misalnya al-Quran memperkenalkan alam penciptaan sebagai ayat dan tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Makna kata ayat sedemikian sederhana sehingga manusia dapat memahaminya dengan mudah namun seorang filosof dan arif tatkala mencermati hal tersebut (ayat) mereka memahaminya dengan konsep tajalli (manifestasi) dan zhuhur (penampakan) yang merupakan gagasan ontologis yang paling subtil dalam filsafat.[10] Atas dasar itu, Imam Shadiq As bersabda, “Kitabullah terdiri dari empat tingkatan, ibârat, isyârat, lathâif dan haqâiq. Ibârat-nya untuk orang-orang awam. Isyârat-nya untuk orang-orang khusus, lathâif untuk para wali dan haqâiq-nya untuk para nabi.[11]
Kedua: Tujuan agama adalah penyucian jiwa dan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan dan kesesatan kepada cahaya petunjuk dan pengetahuan;[12] atas dasar itu seluruh ajaran agama disertai dengan wejangan dan moralitas bahkan menjelaskan masalah-masalah adab interaksi sosial di samping masalah-masalah takwa dan tazkiyah.[13] Adapun tujuan filsafat adalah semata-mata untuk memuaskan dimensi rasional manusia.
Ketiga: Salah satu perbedaan asasi antara bahasa agama dan bahasa filsafat serta disiplin ilmu lainnya bahwa agama meletakkan ajaran-ajarannya di tengah umat manusia sedemikian sehingga manusia tidak dapat memahaminya tanpa bantuan cahaya wahyu.[14] Agama membantu manusia untuk dapat menyingkap tirai rahasia-rahasia yang terpendam dan alam gaib.[15] Terkadang manusia memandang baik sebuah persoalan menurut pikirannya namun agama dengan meninjau sisi batin mengumumkan bahwa apa yang Anda temukan adalah sesuatu yang buruk bukan sesuatu yang baik.[16] [iQuest]
catatan kaki
[1]. Shadr al-Muta’allihin, Asfar, jil. 1, hal. 24 & 25, Intisyarat Musthafawi, Qum, Tanpa Tahun.
[2]. Abdullah Jawadi Amuli, Rahiq Makhtum, jil. 1, hal. 119 dan 120, Nasyr Isra, Qum, Cetakan Kedua, 1382 S.
[3]. Murtadha Muthahhari, Majmu’e Âtsâr, jil. 6, hal. 26, Intisyarat-e Shadra, Cetakan Keempat, Qum, 1380 S.
[4]. Abdullah Jawadi Amuli, Din Syinâsi, hal. 27, Isra, Cetakan Kedua, Qum, 1382 S.
[5]. Silahkan lihat, Dalil-dalil Penetapan Keberadaan Tuhan dalam al-Quran, 5225.
[6]. Nahj al-Balâghah, Khutbah 1.
[7]. Din Syinâsi, hal. 99, 126, 130 dan 131.
[8]. Ibid, hal. 127.
[9]. Ibid, hal. 77-103.
[10]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Syiah dar Islam, hasil kompilasi Sayid Hadi Khusru Syahi, hal. 99, Bustan-e Kitab, Cetakan Kelima, Qum, 1388 S.
[11]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 75, hal. 278, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1409 H.
[12]. “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, meskipun mereka sebelum itu benar-benar terjerumus dalam jurang kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Jumuah [62]:2); “Alif Lâm Râ. (Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita (kemusyrikan dan kebodohan) kepada cahaya terang benderang (iman dan pengetahuan) dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Qs. Ibrahim [14]:1)
[13].“Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembali (saja)lah”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Nur [24]:28); “Hai anak cucu Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian ketakwaan itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, supaya mereka selalu ingat.” (Qs. Al-A’raf [7]:26)
[14]. “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu dengan perubahan arah kiblat itu), Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari kalangan kamu (sendiri) yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, menyucikanmu, mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah, dan mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]:151)
[15]. Din Syinâsi, hal. 106 dan 107.
[16]. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]:216)