Derajat Ujub (Bangga Diri)

Derajat pertama dan terutama yang merupakan tingkat ujub (bangga diri) paling dahsyat dan berbahaya adalah anggapan seseorang bahwa dengan beriman kepada Allah Swt atau bersifat terpuji, ia telah berbuat baik kepada Allah Swt, Sang Pemberi nikmat dan Pemilik Segala Sesuatu. Ia berpikir bahwa dengan keimanannya, dirinya telah memperluas Kerajaan Allah Swt dan ikut mencemerlangkan agama-Nya. Ia berpikir bahwa dengan menyebarkan syariatnya, memberikan bimbingan pada agamanya, melakukan amar makruf nahi mungkar, melaksanakan hudud yang yang diperintahkan-Nya, keberadaannya di mihrab atau mimbar, maka ia telah menambah kebesaran agama Allah Swt.

Derajat kedua ujub adalah orang yang tersipu (seperti orang yang dirayu) oleh ujub dalam hatinya, meskipun banyak yang tidak melihat perbedaan keduanya. Pada keadaan itu, seseorang memandang dirinya sebagai kekasih Allah Swt dan memasukkan dirinya dalam kelompok para wali dan orang-orang yang dekat dengannya.

Pada tingkat ketiga, seseorang memandang dirinya berhak memperoleh pahala dari Allah Swt karena keimanan, watak  dan perilakunya. Ia memandang Allah Swt wajib memuliakannya di dunia ini serta menganugerahinya kedudukan yang tinggi di akhirat kelak. Ia melihat dirinya orang beriman, bertakwa, dan suci. Ketika ada pembicaraan tentang orang-orang beriman, ia akan membatin, “Jika Allah berlaku adil, aku akan berhak mendapatkan pahala dan ganjaran.”

Tingkat ujub keempat ialah keadaan orang yang memandang dirinya lebih unggul daripada kalangan awam dalam keimanan, memandang dirinya lebih unggul daripada orang-orang beriman dalam kesempurnaan iman, dan memandang dirinya lebih unggul dalam sifat-sifat baik daripada kebanyakan orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut, serta memandang dirinya lebih unggul dalam menjalankan ibadah-ibadah wajib dan menghindari hal-hal yang diharamkan dibanding kalangan yang tidak menjalankan semua itu.

Orang yang telah mencapai tingkat ini akan menyangkal setiap perbuatan baik yang dilakukan orang lain dan mencatatnya dalam hati. Dalam hatinya, ia melihat amal-amalnya bersifat ikhlas dan bebas dari cacat apapun. Ia merendahkan perbuatan baik orang lain sembari membesar-besarkan perbuatan baiknya sendiri. Ia amat peka terhadap cacat orang lain namun lupa dengan cacat-cacat nya sendiri.

Imam Khomeini, Kitab Arbain al-Hadis