Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Catatan Fikih Tentang Masa Kecil Nabi

1 Pendapat 05.0 / 5

Saat itu, Makkah adalah urat nadinya Hijaz. Sebagai daerah yang dilalui jalur dagang internasional, Makkah adalah ladang basah bagi penduduk sekitar dan para turis yang ingin menjajakan barangnya di situ. Di sisi lain, Makkah adalah kota sakral bagi setidaknya kepercayaan kuno Pra Islam. Di antara kepercayaan tersebut adalah hanif, kepercayaan kuno warisan Nabi Ibrahim.

Inilah setidaknya alasan mendasar mengapa Nabi di utus di sana. Pengaruh Makkah, baik secara histori maupun sosial diharap bisa melancarkan dakwah Nabi kedepannya. Dalam daripada itu, Nabi adalah keturunan wangsa Hasyim dari klan Quraisy. Klan terhormat karena menjadi “Pelayan Tanah Suci”.

Kebanggaan dilahirkan dari keturunan orang terpandang dirasakan betul oleh Baginda Rasul. Dalam sebuah riwayat Muslim, Baginda Rasul bahkan berturut-turut menyebutkan genealogi dirinya; “Sungguh, di antara keturunan Ismail, Allah memilih Kinanah. Di antara keturunan Kinanah, Dia memilih Quraisy. Di antara Quraisy, Hasyim yang dipilih. Dan akhirnya, akulah yang dipilih dari Wangsa Hasyim”.

Dalam kesempatan lain, Baginda Rasul pernah bertanya kepada para sahabat; “Siapa aku?”, dengan sigap para sahabat menyeru, “Anda adalah utusan Allah”. Menanggapi respons sahabat tersebut Baginda Rasul meneruskan: “Aku Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Saat Allah menciptakan makhluk, Dia kemudian membaginya menjadi 2 golongan. Aku berada di antara yang terbaik dari keduanya. Kemudian golongan terbaik itu dipecah-pecah, dan aku berada di klan terbaik. Klan itu pecah menjadi sekelompok keluarga, dan aku berada di keluarga terbaik. Dari keluarga itu, aku kemudian dilahirkan dari seorang yang terbaik”.

Namun yang disayangkan, eksklusivitas gen tersebut tidak berbanding lurus dengan nasib Baginda Rasul saat kecil. Yatim adalah status pertama yang beliau sandang saat beliau lahir. Menginjak enam tahun usia, ibunya mangkat. Secara berturut-turut Abdul Muthalib mengambil alih pengasuhan, dan kemudian pamannya Abu Thalib dua tahun setelah itu.

Sebagai putra yang dibesarkan di lingkungan kuat tradisi, Baginda Rasul harus melalui proses “dirumat” di desa. Adalah Halimah yang kemudian mendapat kepercayaan merawat Baginda Rasul yang masih bayi hingga tahun kelima usianya.

Sedikitnya, saat dalam pengawasan Halimah, ada dua peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh siapapun yang menjadi saksi saat itu. Konon, sebelum Nabi tiba di rumah Halimah, lingkungan daerah tersebut kering kerontang. Bahkan banyak hewan ternak mati.

Namun, beberapa saat setelah Rasul berada di rumah Halimah, keadaan berbalik 360 derajat. Tanah yang sebelumnya kering menjadi produktif kembali. Hewan-hewan segar, bahkan menghasilkan susu yang melimpah. Itu peristiwa pertama.

Kedua, haditsah syaqis-shadr, peristiwa pembelahan dada yang dilakukan oleh malaikat Jibril. Saat itu usia Nabi sudah mencapai 5 tahun. Peristiwa yang membuat teman sepermainan Baginda Rasul lari dan melaporkannya kepada Halimah tersebut direkam dengan baik oleh Syekh Abdurrahman dalam Diba’-nya.

Dua hadis di atas cukup membuktikan betapa Baginda Rasul sangat bangga dengan klan dan keluarganya. Namun, yang perlu digarisbawahi bahwa kebanggaan Baginda Rasul bukan seperti kebanggaan ala Chauvinisme, yang memandang bangsanya unggul dan bangsa lain rendah. Kebanggaan Baginda Rasul itu ya karena beliau dilahirkan dari klan tersebut. Sederhananya begini, kalau Baginda Rasul bangga dengan Quraisy-nya, kita ya harus bangga dengan Jawa-nya.

Maka logis kemudian jika bangsa Arab, terkhusus klan Quraisy dianggap sebagai bangsa unggul karena kelahiran Baginda Rasul tadi. Logikanya begini, ketika Baginda Rasul adalah makhluk terbaik, maka segala hal yang bersinggungan dengan beliau menjadi “terbaik” pula. Bahasa fikihnya, Lil-wasa’il hukmul-Maqashid, media terwujudnya sesuatu dengan tujuan berada pada posisi yang sama. Ini catatan yang pertama

Catatan Fikih yang kedua tentang Baginda Rasul yang lahir dalam kondisi yatim dan pengasuhan Halimah. Posisi kepala suku yang diemban sang kakek, dan status orang berpengaruh yang disandang ayah dan paman Baginda menjadikannya berada di posisi yang menguntungkan. Sebagai putra orang tersohor di daerahnya, Baginda Rasul bisa saja menikmati segala fasilitas dan kemudahan yang diberikan.

Namun, Baginda Rasul kecil justru dididik jauh dari hiruk-pikuk Makkah dan dirawat oleh seorang miskin di pedalaman. Alasan mendasarnya adalah, agar Baginda Rasul mendapatkan pendidikan langsung oleh Allah. Sehingga, risalah kenabian yang adiluhung tidak dikotori oleh politik dunia.

Yang ketiga, tentang kondisi lingkungan yang berubah sesaat setelah Baginda Rasul tiba di rumah Halimah. Melalui peristiwa tersebut, alam seakan ingin menangguhkan bahwa Baginda Rasul memiliki reputasi yang tinggi di mata Tuhannya, bahkan saat usianya belum seberapa.

Peristiwa tersebut juga sangat logis, mengingat fikih mengajarkan kepada kita untuk menjadikan orang saleh sebagai perantara untuk meminta do’a kepada Allah. Lalu bagaimana jika suatu lingkungan yang tandus dan gersang tadi didiami oleh Baginda Rasul? Sebuah kehormatan jika kemudian Allah dengan kemurahannya menjadikan lingkungan yang produktif kembali berkat Baginda Rasul, nabi yang menjadi anugerah bagi semesta.

Terakhir, ada satu catatan fikih yang logis dari Syekh Said Ramadan al-Buthi tentang peristiwa pembelahan dada. Menurut beliau, peristiwa tersebut bukan sekedar pembersihan organ dalam dari hal-hal negatif. Dalam daripada itu, peristiwa tersebut merupakan sebuah maklumat bahwa Baginda Rasul sudah di-ma’shum, bahkan saat usianya masih belia. Peristiwa metafisik tersebut kemudian menjadi semacam “sirine” bahwa Baginda Rasul sudah disiapkan untuk mengemban risalah kenabian jauh-jauh hari.