Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tradisi Maulid Nabi di Cirebon ; Keraton Kanoman

1 Pendapat 05.0 / 5

Budaya perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tak terpisahkan dari sejarah Islam di wilayah Nusantara. Praktik ini timbul dan berkembang seiring dengan peran penyiaran Islam oleh Wali Songo sejak abad ke-15. Dalam usaha mereka untuk menyebarkan Islam, Wali Songo, termasuk Sunan Gunung Jati, mengadopsi berbagai pendekatan, seperti sosiologi, antropologi, teologi, dan pemahaman yang mempertimbangkan nilai-nilai dan ajaran agama-agama lokal seperti Hindu, Budha, dan Kapitayan. Hal ini mengakibatkan proses akulturasi dan sinkretisasi budaya di mana nilai-nilai dan ajaran Islam digabungkan dengan elemen-elemen budaya tersebut.

Seiring berjalannya waktu, tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW mulai berkembang dan menyebar di wilayah Nusa-Jawa. Penyebutan perayaan Maulid Nabi SAW berbeda-beda tergantung pada daerahnya masing-masing. Di Keraton Cirebon, perayaan Maulid Nabi memiliki berbagai nama yang berbeda, seperti Pelalan, Sekatenan, Pelal Ageng, Muludan, dan Panjang Jimat. Tadisi ini sudah ada dan berkembang sejak masa pemerintahan Pangeran Cakrabuwana, putra Prabu Siliwangi, yang memerintah di Cirebon sejak tahun 1447 hingga 1479 Masehi. Sejak era Pangeran Cakrabuwana, tradisi ini telah dirayakan dengan penuh kepatuhan terhadap tradisi-tradisi yang sebelumnya telah dilaksanakan, dimulai pada tanggal 1 Safar dan mencapai puncaknya pada tanggal 12 Rabiul Awal.

Tradisi ini telah tetap terjaga dan diwariskan secara teratur selama berbagai periode pemerintahan, dimulai dari masa Sunan Gunung Jati (1479-1568 M) hingga masa Fatahillah (1568-1570 M), berlanjut ke masa Pangeran Mas Zainul ‘Arifin atau Panembahan Ratu I (1570-1649/50 M), masa Panembahan Girilaya (1650-1662), dan kemudian masa Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Tohpati (1662-1677/8 M). Tradisi ini berlanjut hingga pemerintahan Sultan Badridin, Sultan Kanoman pertama, dan melalui generasi-generasi hingga Sultan Raja Muhammad Emirudin, yang merupakan penerus Sunan Gunung Jati dan penjaga tradisi Maulid Nabi SAW. Puncak tradisi Maulid Nabi SAW di Keraton Kanoman dikenal sebagai malam Pelal Ageng, atau sering disebut Panjang Jimat. Panjang Jimat adalah inti dari acara ini yang bertujuan untuk memperingati kelahiran Gusti Rasulullah SAW pada malam 12 Rabiul Awal tahun Gajah (571 M) di Kota Makkah. Istilah “Pelal Ageng” mengacu pada malam yang sangat istimewa, yaitu malam di mana Gusti Rasul dilahirkan ke dunia. Sementara itu, istilah “Panjang Jimat” berasal dari kata “Panjang,” yang merujuk pada sebuah piring pusaka berbentuk bulat dan besar yang diberikan oleh seorang Pertapa suci bernama Sanghyang Bango dari Gunung Surandil kepada Pangeran Cakrabuwana. Sedangkan istilah “Jimat” mengacu pada benda-benda yang memiliki nilai sejarah dan pusaka yang harus dijaga.

Lebih lanjut, istilah “Jimat” pada hakikatnya mengacu pada nasi yang dimasak dengan cara setiap biji berasnya dikupas satu per satu sambil melantunkan salawat kepada Nabi Saw oleh rombongan Bapak Sindangkasih. Kemudian, nasi ini disucikan di Sumur Bandung sambil ditemani oleh lantunan salawat dari rombongan Perawan Sunti, yang merupakan rombongan perawan yang menjaga kesucian (wudu) dari hadas kecil dan hadas besar. Nasi yang dimasak dengan prosesi salawat ini disebut sebagai “nasi jimat.” Jadi, “jimat” yang dimaksud dalam konteks ini adalah bacaan salawat yang diucapkan sebagai penghormatan kepada Baginda Gusti Kanjeng Rasulullah Saw. Salawat ini diyakini memiliki peran penting dalam memohon syafaat atau pertolongan bagi umat manusia pada hari pembalasan, dan Nur Muhammad dipercayai sebagai penyebab terciptanya manusia dan alam semesta. Dapat  disimpulkan bahwa “Panjang Jimat” adalah iring-iringan nasi jimat yang disusun di atas piring panjang yang memiliki banyak keutamaan (fadhilah) di dalamnya. Oleh karena itu, malam tersebut disebut sebagai “Pelal Ageng,” yang mengindikasikan malam yang memiliki makna sejarah yang besar dalam perjalanan sejarah manusia dan alam semesta serta mengandung banyak keutamaan. Rombongan ini juga kemudian menjadi bagian dari iring-iringan saat malam Pelal Panjang Jimat. Namun, sebelum itu, sore hari ada prosesi yang disebut “lamaran” atau “panjang mios” yang bertujuan untuk memberitahu masyarakat bahwa nanti malam akan ada ritual Panjang Jimat.

Tradisi  lain yang menarik perhatian menjelang Maulid Nabi di Keraton Kanoman adalah pencucian gamelan sekaten atau nyiram gong sekaten. Tujuan dari ritual ini tidak hanya membersihkan gamelan yang telah berusia ratusan tahun, tetapi juga sebagai ajang untuk memperoleh berkah. Masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan air bekas pencucian gamelan sekaten ini. Mereka percaya bahwa dengan menggunakan air tersebut, mereka dapat menjaga kesehatan tubuh. Selain itu, mereka juga memercikkan air tersebut ke sawah dengan harapan mendapatkan hasil panen yang melimpah.

Tradisi pencucian gamelan ini memiliki akar sejarah yang kaya. Dimulai pada tahun 1520 ketika Sultan Trenggono, Raja Demak Bintoro III, memberikan gamelan sekaten kepada Ratu Wulung Ayu. Ratu Wulung Ayu adalah putri Sunan Gunung Jati dan istri Nyimas Tepasari dari Majapahit. Gamelan ini adalah hadiah untuk Ratu Wulung Ayu setelah ditinggalkan oleh suaminya yang baru saja meninggal, Adipati Unus, Raja Demak Bintoro II.

Ratu Wulung Ayu kemudian memutuskan untuk memainkan gamelan tersebut setiap bulan Maulud. Selain sebagai hiburan, permainan gamelan dan tembangnya juga digunakan sebagai sarana dakwah. Saat itu, imbalan atau “tiket” untuk menyaksikan gamelan sekaten adalah dengan menyatakan syahadat. Istilah “sekaten” berasal dari kata “syahadatain” atau “bersyahadat.” Saat ini, bahkan bagi mereka yang belum memeluk Islam tetap bisa dengan sukarela menikmati gamelan sekaten.

Sekaten juga memiliki makna “sekati” atau “sesuka hati” dan “serela hati.” Ini berarti bahwa permainan gamelan sekaten harus dilakukan dengan kerelaan hati. Kerelaan hati ini juga mencerminkan keikhlasan dalam berbagi rezeki ketika gamelan sekaten dimainkan dari tanggal 7 hingga 12 Maulud. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masyarakat sering memberikan uang kepada para pemain gamelan, yang disebut nayaga.

Tak hanya itu, Keraton Kanoman  juga mengadakan pasar muludan selama sebulan penuh, di mana berbagai jenis barang dan jasa dijual, termasuk makanan, obat-obatan, serta layanan ramalan. Pasar ini juga menawarkan berbagai sarana permainan untuk anak-anak, mirip dengan yang dapat ditemukan di pasar malam.

Sumber :

1. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-deny%20Cultural%20System%20of%20Cirebonese%20People%20(editan%20niken).pdf
    
2. https://www.liputan6.com/regional/read/4688957/panjang-jimat-dan-makna-peringatan-maulid-nabi-di-kasultanan-kanoman-cirebon