Revolusi Kultural Imam Shadiq as; Guru para Imam Mazhab
Imam Ja’far as dilahirkan pada 17 Rabiul Awal 83 H di kota Madinah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad Al-Baqir as. Era Imam Shadiq as merupakan masa yang penuh dengan peristiwa penting dalam sejarah Islam. Sebab proses peralihan kekuasaan dari dinasti Umayah ke dinasti Abbasiyah di masa itu menyisakan beragam dampak sosial dan politik. Di sisi lain, masyarakat muslim di zaman itu berhadapan langsung dengan perkembangan pelbagai bentuk ideologi dan aliran teologi dan filsafat. Atmosfer kebangkitan ilmiah terasa sangat kental sekali yang dibarengi dengan maraknya penyebaran dan penerjemahan pemikiran filsafat dan teologi dari dunia luar, seperti Yunani dan Persia.
Tentu saja, kebangkitan ilmiah yang demikian pesat itu juga memunculkan beragam penyimpangan pemikiran dan akidah. Kondisi tersebut niscaya membuat misi dakwah Imam Shadiq memikul tanggung jawab yang besar. Dari satu sisi, masyarakat di masa itu mulai condong kepada pemikiran ateisme dan materialisme. Sementara di sisi lain, Imam Shadiq as harus mempertahankan Islam dari pelbagai penyimpangan dan kesalahan interpretasi.
Dalam kondisi yang sangat sensitif inilah, Imam Shadiq as melancarkan gerakan revolusi kultural Islam. Gerakan ini ditandai dengan keberhasilan mencetak lebih dari 4 ribu ilmuan dan ulama terkemuka dalam pelbagai bidang. Masing-masing memiliki spesialisasi dalam bidang keilmuan tertentu. Mereka pun disebar ke berbagai penjuru negeri-negeri muslim. Ibarat kata, murid-murid Imam Shadiq as laksana kobaran pelita yang menerangi sudut-sudut dunia Islam. Gerakan revolusi kultural dan revitalisasi pemikiran Islam oleh Imam Shadiq ini berhasil membuka ufuk baru kebangkitan ilmiah di kalangan masyarakat muslim.
Lewat gerakan revolusi keilmuannya itu, Imam Shadiq as menghimpun pemikiran orisinal Islam, terutama dalam masalah fiqh dan kalam serta mendidik para ilmuan dan ulama. Beragam khazanah ilmiah di bidang ahlak, fiqh, tafsir, dan kalam serta ilmu-ilmu lainnya yang bisa kita akses hingga kini merupakan hasil dari jerih payah dan perjuangan Imam Shadiq. Di mata para pemikir dan ulama dari berbagai mazhab, madrasah pemikiran Imam Shadiq as berdiri di atas landasan yang kokoh. Ulama terkemuka Ahlusunnah, Ahmad Zaki Saleh, menuturkan, “Mazhab Syiah yang dipelopori Imam Ja’far Shadiq as merupakan mazhab pertama yang membangun persoalan keagamaan di atas landasan rasional. Semangat ilmiah di mazhab ini sangat terasa kental melebihi mazhab-mazhab lainnya”.
Salah satu ciri khas gerak dakwah Imam Shadiq as adalah perdebatan ilmiah beliau dengan para pemikir dari berbagai kelompok dan aliran, termasuk kalangan ateis di zaman itu. Penguasaan Imam Shadiq as terhadap pelbagai ilmu pengetahuan, menjadikan beliau sebagai tokoh yang sulit dibantah argumentasi-argumentasi ilmiahnya.
Imam Shadiq as mendidik murid-murid besar di antaranya Hisyam bin Hakam, Muhammad bin Muslim dan Jabir bin Hayan. Sejarah menyebutkan bahwa murid-murid Imam Shadiq as mencapai 4000 orang. Sebagian dari mereka memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam, pakar teologi Islam, menulis 31 buku. Jabir bin Hayan yang dikenal sebagai bapak kimia menulis lebih dari 200 buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq as yang menulis buku “Tauhid Mufadhal”.
Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi mengungkapkan kalimat indah tentang keagungan Imam Shadiq as. Abu Hanifah sendiri merupakan cendekiawan yang terkenal di masa itu. Suatu hari Khalifah Mansur yang begitu dengki dengan keagungan Imam Shadiq as mengusulkan kepada Abu Hanifah untuk menggelar ajang debat dengan Imam Shadiq.
Khalifah meminta Abu Hanifah merancang pertanyaan yang sulit sehingga dengan cara itu pamor Imam Shadiq as diharapkan akan turun ketika tak bisa menjawabnya.
Abu Hanifah mengatakan, “Aku telah siapkan 40 pertanyaan yang sulit kemudian aku menemui Mansur. Saat itu Imam Shadiq as juga berada dalam pertemuan tersebut. Ketika melihatnya aku begitu terpesona hingga aku tidak bisa menjelaskan perasaanku di waktu itu. 40 masalah aku tanyakan kepada Ja’far bin Muhammad. Beliau menjelaskan masalah tersebut tidak hanya dari pandangannya sendiri namun ia mengungkapkan pandangan berbagai mazhab. Di sebagian masalah ada yang sepakat dengan kami dan sebagian bertentangan. Terkadang beliau menjelaskan pula pandangan yang ketiga. Ia menjawab 40 soal yang aku tanyakan dengan baik dan terlihat sangat menguasainya hingga aku sendiri terpesona oleh jawabannya. Harus kuakui, tidak pernah kulihat orang yang lebih faqih dan lebih pandai selain Ja’far bin Muhammad. Selama dua tahun aku berguru padanya. Jika dua tahun ini tidak ada, tentu aku celaka”.
Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki juga pernah menjadi murid Imam Shadiq as. Malik berkata, Imam Shadiq selalu senyum lembut. Aku tidak pernah melihat beliau mengatakan sesuatu yang sia-sia. Ketakutan kepada Tuhan menyelimuti jiwanya. Setiap kali aku menemuinya, beliau selalu menghamparkan alas tempat duduknya untukku.
Kemuliaan akhlak Imam Shadiq as senantiasa menjadi buah bibir umat Islam di masa itu. Sejarawan Islam, Ibnu Khalakan menuturkan, “Imam Shadiq as merupakan salah seorang keturunan Rasulullah dan tokoh utama Ahlul Bait as. Ia dijuluki dengan gelar Al-Shadiq, sebab setiap apa yang diucapkannya adalah kejujuran dan kebenaran. Keutamaan beliau melebihi apa yang bisa dilukiskan oleh lisan”.
Imam as juga dikenal sebagai sosok yang sangat penyayang dan dermawan. Kefasihan dan ketrampilan beliau dalam bertutur kata, sangat mengagumkan dan memikat siapapun yang mendengarnya. Meski beliau senantiasa menjadi pihak yang unggul dalam setiap perdebatan ilmiah, namun Imam tetap bersikap rendah hati dan sangat bijaksana kepada lawan-lawan debatnya.
Kadang di tengah teriknya musim panas, Imam Shadiq as tetap bertani di ladangnya. Beliau berkata, “Jika dalam keadaan seperti ini, aku menemui Tuhanku, niscaya aku akan bahagia”.
Kendati Imam Shadiq as adalah pemimpin umat dan tokoh yang terpandang, namun kehidupan beliau sangat merakyat. Suatu ketika, kota Madinah dilanda masa kekeringan dan masyarakat mengalami kekurangan gandum. Kepada pembantunya yang bernama Mu’tab, Imam berkata, “Berapa banyak kita punya gandum di rumah?”. Mu’tab menjawab, “Cukup untuk kebutuhan beberapa bulan”. Beliau pun segera memerintahkannya untuk menjual seluruh gandumnya. Mu’tab pun segera menjual seluruh gandumnya ke pasar Madinah. Setibanya di rumah, Imam Shadiq berkata, “Mulai saat ini, buatlah rotiku dari gandum yang dibeli dari pasar. Roti rumah ini harus seperti roti orang kebanyakan, separuh dari gandum dan separuh lagi dari barli (sejenis gandum kualitas rendah).”
Setiap kali ada kesempatan, Imam Shadiq as selalu melakukan perlawanan terhadap pemimpin zalim dengan senjata ilmu dan penanya. Imam berkata, “Barang siapa yang memuji pemimpin zalim dan tunduk di hadapannya agar mendapatkan keuntungan dari pemimpin tersebut, maka ia akan berada dalam kobaran api neraka bersama pemimpin zalim itu”.
Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, Imam Shadiq adalah manusia yang paling rendah hati di kalangan masyarakatnya. Kaum papa dengan mudah menyampaikan keperluannya kepada beliau dan beliaupun memenuhi keperluan mereka dengan kasih sayang. Sikap mulia dan merakyat Imam Shadiq ini, makin meningkatkan kesadaran politik dan sosial masyarakat. Tentu saja hal tersebut menyulut kekhawatiran para pemimpin zalim dinasti Abbasiyah. Khalifah Mansur pun merasakan posisinya makin terancam. Lalu, ia meracuni Imam Shadiq as hingga akhirnya beliau pun gugur syahid pada tahun 148 H