Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bukti Praktik Tawassul Imam Ali dan Abu Bakar kepada Rasulullah yang Telah Wafat

1 Pendapat 05.0 / 5

Amalan tawassul, yang merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui perantara tertentu, ‎terus menjadi topik perdebatan di sebagian kalangan umat Islam. Tulisan ini bertujuan untuk ‎menyajikan bukti konkret mengenai amalan tawassul yang dilakukan oleh dua tokoh utama dalam ‎sejarah Islam, yaitu Imam Ali dan Abu Bakar, setelah wafatnya Rasulullah. Data yang disajikan ‎merupakan rangkaian hadis dan peristiwa yang membuktikan keabsahan dan keutamaan amalan ‎tawassul.

Dalam sejarah Islam, Imam Ali dan Abu Bakar, dua tokoh di awal peradaban Islam, juga ‎melakukan amalan tawassul setelah wafatnya Rasulullah. Sebagai contoh, ketika Rasulullah wafat, ‎mereka berdua memohon kepada Allah melalui perantara beliau.

Imam Ali sibuk memandikan dan ‎mengafani jenazah Nabi Muhammad SAW, sambil mengucapkan kalimat tawassul yang mengandung ‎doa dan permohonan kepada Allah. Peristiwa ini termaktub di dalam kitab Nahjul Balagah pada bagian khotbah ke 235.

بِأَبِيْ أَنْتَ وَ أُمِّيْ، يَا رَسُوْلَ اللهِ! لَقَدِ انْقَطَعَ بِمَوْتِكَ مَا لَمْ يَنْقَطِعْ بِمَوْتِ غَيْرِكَ مِنَ النُّبُوَّةِ وَ الْإِنْبَاءِ وَ أَخْبَارِ السَّمَاءِ خَصَّصْتَ حَتَّى صِرْتَ مُسَلِّيًا عَمَّنْ سِوَاكَ وَ عَمَّمْتَ حَتَّى صَارَ النَّاسُ فِيْكَ سَوَاءً. وَ لَوْ لاَ أَنَّكَ أَمَرْتَ بِالصَّبْرِ وَ نَهَيْتَ عَنِ الْجَزَعِ لَأَنْفَدْنَا عَلَيْكَ مَاءَ الشُّئُوْنِ، وَ لَكَانَ الدَّاءُ مُمَاطِلاً وَ الْكَمَدُ مُحَالِفًا وَ قَلاَ لَكَ، وَلَكِنَّهُ مَا لاَ يُمْلَكُ رَدُّهُ، وَ لاَ يُسْتَطَاعُ دَفْعُهُ. بِأَبِيْ أَنْتَ وَ أُمِّيْ! أُذْكُرْنَا عِنْدَ رَبِّكَ، وَ اجْعَلْنَا مِنْ بَالِكَ.

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah! Dengan wafatmu.. proses kenabian, wahyu dan risalah surgawi berhenti, yang tidak berhenti pada wafatnya (para nabi) yang lain-lain…. Apabila Engkau tidak memerintahkan untuk bersabar dan mencegah kami meratap, niscaya kami mengucurkan air mata hingga kering, dan dengan demikian pun perihnya tak akan mereda, dan kesedihan tidak akan berakhir, dan akan terlalu sedikit dari kesedihan kami bagimu. Tetapi (kematian) adalah suatu hal yang tak dapat dibalikkan dan tak mungkin ditolak. Biarlah ayah dan ibuku menjadi tebusanmu! Sebutkanlah ingatlah kiranya kami di sisi Allah, dan semoga kami terpelihara. (1)

Abu Bakar juga, dengan kesedihan atas wafatnya Rasulullah, ‎juga melakukan tawassul di samping jasad sucinya Saw. Hal ini termaktub dalam banyak kitab termasuk dalam kitab Durarus Saniyah Fir Raddi Alal Wahabiyyah karya Ahmad Zaini Dahlan. Beliau adalah Mufti Agung mazhab Syafi’i di Mekah, dan Syaikhul Islam di wilayah Hijaz, negara Ottoman, dan Imam al-Haramain, serta menjadi sejarawan dan teolog Asy’ari.

 لما توفي صلى الله عليه وسلم أقبل أبو بكر رضي الله عنه حين بلغه الخبر فدخل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فكشف عن وجهه ثم أكب عليه فقبله ثم بكى وقال بأبي وأمي طبت حيا وميتا اذكرنا يا محمد عند ربك ولنكن من بالك

ketika kabar kematian rasulullah sampai kepada abu bakar kemudian ia menghapiri Rasulullah, ia membuka penutup wajah Rasulullah dan mencium kening beliau seraya menangis dan berkata: “Ayah dan ibuku sebagai tebusan, engkau adalah orang suci baik ketika masih hidup maupun setelah wafat. ingatlah kami di sisi Allah”.(2)

Imam Ali, dengan hati yang sedih, mengucapkan tawassul di samping jenazah suci sang Nabi. Dia memohon agar Rasulullah mengingatkan ‎nama dan pribadinya di sisi Allah Swt begitu juga Abu Bakar. Ini menunjukkan pemahaman dan praktik tawassul yang dilakukan oleh pembesar utama Islam.

Dari dua riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa amalan tawassul bukanlah inovasi yang ‎muncul kemudian, tetapi telah diterapkan oleh para tokoh utama Islam sejak awal peradaban. ‎Mereka melibatkan diri dalam doa dan permohonan kepada Allah melalui perantara Rasulullah. ‎Tawassul menjadi bentuk penghormatan, kecintaan, dan pengakuan terhadap kedudukan unik ‎Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian, tawassul bukanlah ‎praktik yang kontroversial atau dipertentangkan. Sebaliknya, ia merupakan ‎sebuah tradisi yang memiliki dasar kuat dalam praktik dan keyakinan kaum Muslimin. Dengan ‎mempertimbangkan praktik tawassul oleh tokoh-tokoh besar ini, kita dapat menemukan landasan ‎keabsahan dan keutamaan dalam amalan ini.

1. Amirul Muminin Ali bin Abi Thalib, Nahjul Balagah, Khutbah ke 235
   

2. Ahmad Zaini Dahlan, Durarus Saniyah Fir Raddi Alal Wahabiyyah, Hal. 36 Cet. Mesir