Pandangan Ulama Mazhab Ahlulbait terhadap Aisyah(2)

Bukankah ini tuduhan dan penghinaan terhadap ‘Aisyah dan Rasulullah? Kalau memang mereka mengklaim bahwa dirinya adalah pembela kehormatan istri-istri Nabi Saw, mengapa tidak menyanggah pernyataan yang terdapat dalam kitab Minhâj Al-Sunnah itu? Ataukah memang mungkin mereka sudah menganggap Ibnu Taimiyah lebih adil daripada sahabat Nabi Saw yang semua ucapannya harus selalu didengar dan diikuti?

Pandangan Al-Albani terhadap Nabi dan Ummahatul Mukminin

Lebih jauh, silahkan merujuk kitab Silsilah Al-Ahâdîts Shahîhah, Al-Albani berkata, “Karena itu, sikap Nabi saw dalam kasus Ifik, merasa lelah menanti diturunkannya wahyu yang meyakinkan untuk menjawab keraguan tentang kabar yang datang kepada beliau Saw (kasus ‘Aisyah).”(9)

Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah sebagai seorang Nabi menyimpan keraguan dan kebimbangan atas kasus atau gosip yang menimpa ‘Aisyah.
Setelah itu Al-Albani mengomentari kasus perang Jamal dalam Kitab Silsilah Al-Ahâdîts Shahîhah,

    “Tidak diragukan lagi bahwa keluarnya Ummul Mukminin adalah sebuah kesalahan dari asalnya. Karena itu, ia ingin kembali ketika mengetahui bahwa berita yang disampaikan Nabi Saw perihal Hauab menjadi kenyataan, namun Zubair berhasil meyakinkannya supaya tidak kembali dengan mengatakan, ‘Semoga Allah memperbaiki urusanmu di antara manusia.’ Dan kami tidak ragu untuk mengatakan bahwa Zubair pun dalam hal ini berbuat kesalahan.’‘Dan akal memutuskan secara pasti bahwa tidak ada jalan lain selain menyalahkan salah satu dari dua kelompok yang saling berperang (yaitu perang Jamal). Karena perang tersebut ratusan orang menjadi korban. Dan tidak diragukan lagi bahwa ‘Aisyah dalam posisi salah karena alasan yang cukup banyak dan pelbagai dalil yang jelas, di antaranya adalah penyesalannya atas keluarnya (menuju medan perang).’” (10)

Fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia terhadap Nabi dan Istrinya

Dalam kitab Fatâwâ Lajnah Al-Dâimah li Al-Buhuts Al-’Ilmiyyah wa Al-Iftâ’ yang dikumpulkan dan disusun oleh Ahmad Al-Dausyi, memuat pertanyaan sebagai berikut, “Apakah Rasul Saw mengetahui terbebasnya ‘Aisyah dari tuduhan peristiwa Ifik sebelum turunnya wahyu sebagaimana dikatakan oleh salah seorang mereka?”

Jawaban Fatawa Lajnah:

“Nabi Saw tidak mengetahui terbebasnya ‘Aisyah dari tuduhan tersebut. Sebab, andaikan beliau mengetahui niscaya beliau tidak diliputi oleh kebingungan dalam menyikapi kasusnya.” (11)

Bukankah jawaban fatwa lajnah tersebut di atas telah menghina Rasulullah, karena sudah menganggap Rasulullah berprasangka buruk kepada istrinya? Mukmin mana yang apabila dikabarkan padanya bahwa istrinya melakukan suatu perbuatan yang tidak baik, langsung bingung menyikapi kasus tersebut? Artinya langsung berburuk sangka kepada istrinya. Mungkinkah Rasulullah tidak mengenal pribadi ‘Aisyah sehingga beliau ragu, bingung dan bimbang mengenai kasus istrinya atau mereka secara tidak langsung menuduh Rasulullah telah menentang.

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurât [49]: 6)

Demikianlah sikap dan penilaian kelompok tersebut dalam fatwa lajnah ulama Saudi, yang nyata-nyata telah merendahkan dan menghina kedudukan istri Nabi Saw. Tidak cukup sampai di situ, mereka pun telah menuduh Nabi berburuk sangka kepada istrinya. Hal ini tentu saja berbeda dengan Ahlusunah yang selalu mencintai para istri Nabi dan Ahlul Bait Nabi, juga memuliakan kedudukan dan martabat mereka.

( )

Catatan Kaki

1. Al-’Allamah Sayyid Muhammad Husein Al-Thabathaba’i, Tafsîr Al-Mîzân, juz 15, tafsir surah 24: 26, h 52, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 1997 M, 1417 H.
    
2. Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi, Al-Tibyân fî Tafsîr Al-Qur’ân, j. 10, h. 52, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, TT.
    
3. Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi, Al-Tibyân fî Tafsîr Al-Qur’ân, j. 10, h. 52, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, TT.
    
4. Syarif Al-Murtadha, Tanzîh Al-Anbiyâ’, h. 44.
    
5. Allamah Al-Majlisi, Bihâr Al-Anwâr, juz 22, h. 240, cet. 2, Muassasah Al-Wafa’, Beirut, Lebanon, 1983 M (1403 H).
    
6. Al-Thabarsi, Abu ‘Ali Al-Fadhl bin Al-Hasan, Majma’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 10, h 64, cet 2, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 2005 M, 1425
    
7. Al-’Allamah Sayyid Muhammad Husein Al-Thabathaba’i, Tafsîr Al-Mîzân, juz 15, h 102, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 1997 M, 1417 H.
    
8. Ibnu Taimiyah, Minhâj Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, juz 8, h. 80, cet. 1, Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, 1986 M, 1406 H.
    
9. Muhammad Nasir Al-Din Al-Albani, Silsilah Al-Ahâdîts Shahîhah, j. 6, h. 27, hadis 2507, cet. 1, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, Saudi, 2002 M, 1422 H.
    
10. Muhammad Nasir Al-Din Al-Albani, Silsilah Al-Ahâdîts Shahîhah, j. 1, h. 854.
    
11. Ahmad Abd Al-Razzaq Al-Duwaisy, Fatâwâ: Al-Lajnah Al-Dâimah li Al-Buhuts Al-’Ilmiyyah wa Al-Iftâ’, juz 4, h. 212, soal 9811, Dar Al-Muayyad, Riyadh, Saudi Arabia, 1424 H.