Apa yang dimaksud dengan Kitâb Mubîn, rutab, yabis dalam al-Qur’an?(1)

Ayat ini (al-An’am [6]:59) menyoroti masalah tingkatan-tingkatan pengetahuan Tuhan dan keumumannya. Pengetahuan Tuhan dan pelbagai tingkatannya merupakan masalah yang paling pelik dalam masalah teologi di kalangan para periset Islam sedemikian sehingga sebagian dari mereka memandang persoalan ini sebagai persoalan yang amat-sangat rumit. Karena itu, Mulla Shadra ra terkait dengan persoalan ini menulis, “Mengetahui ilmu Ilahi merupakan tingkatan tertinggi kesempurnaan manusia. Orang yang dapat mengakses pengetahuan ini akan membuat manusia mencapai derajat kesucian. Dan bahkan memasukkannya dalam golongan para malaikat. Mengingat kerumitan dan kepelikannya, sebagian ulama seperti Ibnu Sina dan Suhrawardi (Syaikh Isyraq) menempuh banyak jalan untuk memahami ilmu Ilahi ini; tatkala kondisi dua orang besar ini – dengan segala kecerdasan, kejeniusan, pengalamannya dalam bidang filsafat – sedemikian adanya, maka bagaimanakah kondisi orang-orang yang ahli dalam menuruti hawa nafsu, melakukan bidah, orang-orang yang suka berdialektika dalam ilmu kalam?[1]

Mengingat sangat sukar untuk mencapai kualitas dan tingkatan-tingkatan ilmu Ilahi, dalam hal ini kita harus bertekuk lutut dan mengakui ketidakmampuan untuk mengakses kedalaman zat dan sifat Ilahi ini. Bagaimanapun, apa yang dapat diperoleh dari ucapan-ucapan para periset dan peneliti (baca: teolog dan filosof), ilmu Ilahi dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan tingkatan:

1. Ilmu zat, sifat zatiyah dan asma zatiyah. (Tingkatan ghayb al-ghuyûb yang tidak dapat menjadi objek penyaksian [syuhud] oleh manusia).

2. Ilmu zat terhadap muqtadiyât (tuntutan) zat. Ilmu ini disebut sebagai ilmu yang bersifat universal dan global terhadap seluruh makhluk sebelum penciptaan. Global di sini bermakna bahwa batasan, ukuran, ketentuan (takdir) belum lagi ditetapkan padanya dan satu dengan yang lainnya belum ada yang menonjol).

3. Ilmu terhadap seluruh makhluk sebelum penciptaan secara detil semenjak awal penciptaan terus berlanjut hingga kiamat besar. Detil di sini bermakna bahwa telah ditetapkan batasan dan ketentuan atas seluruh makhluk, tingkatan-tingkatan penciptaan dan perubahannya.

4. Ilmu khusus yang menjadi sebab munculnya perbuatan dan realisasinya. Ilmu ini sendiri menjadi sumber munculnya perbuatan (ilmu ‘inai).

5. Ilmu terhadap seluruh makluk yang tercipta dan dominasi atas seluruh perubahan dan konsepsinya. Ilmu ini merekam dan mencatat seluruh perubahan yang terjadi atas makhluk yang telah dicipta tersebut. Ilmu ini tidak akan pernah dihinggapi sifat lupa, lalai, salah, dan tidak akan musnah.

6. Ilmu yang merekam segala kondisi, perbuatan, dan pikiran manusia yang boleh jadi hilang dan ditutupi oleh iman setelah kekufuran, atau taubat setelah melakukan dosa. Atau mungkin sebaliknya, hilang karena kekufuran setelah iman, maksiat setelah ketaatan. Juga dengan kematian, catatan-catatan amal manusia akan ditutup kecuali ia memiliki amal shalih (baik) atau amal thalih (buruk) yang tetap tersisa efeknya setelah kematian. Sebagaimana setelah terjadinya perubahan dan reaksi seluruh makhluk, maka catatan-catatan perbuatan mereka akan tertutup yang kemudian menjadi bank data dan terpelihara.

Tidak diragukan bahwa setiap tingkatan bersumber dari tingkatan sebelumnya. Dan, seluruh tingkatan ini tidak lain kecuali menandaskan dominasi wujud dan eksistensi Tuhan atas seluruh entitas. Bukan berasal dari pengaruh seluruh entitas tersebut. Seluruh entitas dalam menyisakan pengaruh bagi yang lainnya dalam ilmu memerlukan media, wahana dan alat. Atau, pada tingkatan tertentu, ia dapat mengeluarkan dirinya dari dominasi ini dan tidak menjadi objek pengetahuan Tuhan. Karena itu, klasifikasi dan penggolongan ini, dikemukakan pada tataran pembelajaran mengingat terbatasnya bahasa untuk menyebutnya sehingga manusia mengetahui bahwa wujud, seluruh pikiran, kondisi dan perbuatannya berada dalam pengawasan Tuhan. Semua ini terekam dengan baik dan pada hari Kiamat akan dihadapkan kepadanya dalam bentuk catatan amal, sehingga dengan memerhatikan pandangan ini, ia bersikap waspada dan hati-hati terhadap perbuatannya dan menggembleng dirinya dengan bimbingan Ilahi sehingga ia mencapai makam khalifah Tuhan di muka bumi.

Bagaimanapun bagian pertama dan kedua dalam perspektif filosof Islam tergolong dalam bagian sifat zat, zat itu sendiri dan terjaga dari segala macam perubahan. Sedangkan bagian-bagian lainnya, termasuk dalam klasifikasi sifat fi’liyah dan ilmu fi’li yang memiliki pengaruh dalam terealisasinya seluruh entitas. Mengalami perubahan dan pergantian, semakin beragam jenisnya, semakin banyak kuantitasnya.[2] Ilmu Ilahi ini pada setiap tingkatan, syuhudi dan hudhuri, bersumber dari dominasi wujud dan eksistensi-Nya. Dengan demikian, bergantinya, terpengaruh dan bereaksinya ilmu fi’li tidak akan menjadi penyebab munculnya reaksi dan perubahan zat Ilahi.[3] Karena reaksi zati sebagai susulan dari perubahan ilmu berkaitan dengan entitas seperti manusia yang ilmunya pada umumnya lebih bersifat hushuli (perolehan) ketimbang hudhuri (kehadiran) dan syuhudi (penyaksian intuitif)!

Adapun ayat suci, Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tiada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak sebutir biji pun yang jatuh dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh). (QS Al-An’am [6]:59)

Bagian pertama ayat yaitu, “Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tiada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri” menyinggung dua bagian pertama klasifikasi ilmu Ilahi. Artinya, ilmu Tuhan bersifat zati yang tiada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan tiada seorang pun yang menjadi pembantu-Nya untuk memahami hal tersebut. Sebagaimana “khazâin” pada ayat 21, surah al-Hijr (15) dan enam ayat[4] yang serupa, ditafsirkan sebagai ilmu zati Tuhan maka yang dimaksud dengan khazanah-khazanah (khazâin) dan kunci-kunci semua yang gaib adalah tuntutan-tuntutan zat Ilmu Tuhan pada maqam zat.

Adapun kelanjutan ayat menyoroti masalah ilmu fi’li (perbuatan) Tuhan setelah penciptaan. Allah Swt berfirman terkait klasifikasi global seluruh makhluk dan entitas:

Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak sebutir biji pun yang jatuh dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh).” Sebagaimana hal ini juga disebutkan pada ayat 3, surah Saba, Tidak ada tersembunyi dari-Nya seberat zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dan yang lebih besar dari itu, melainkan tersebut (tercatat dan terekam) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh). [5]

Rutab dan yabis adalah dua terma yang saling berlawanan kata. Artinya setiap maujud dan entitas pada akhirnya berada berjejer di bawah dari dua terma ini. Satu entitas tidak dapat memiliki dua objek luaran (mishdaq). Karena itu, gabungan dari rutab dan yabis pada ayat ini merupakan kiasan dari seluruh makhluk.

Dari sisi lain, mengingat satu entitas terkadang basah dan terkadang kering, redaksi ayat ini boleh jadi menyinggung ilmu Ilahi pada seluruh perubahan dan pergantian yang terjadi di alam semesta. Mubîn bermakna nyata dan jelas tanpa secuil keraguan dan keburaman.

Mulla Shadra ra dalam mendefinisikan “kitâb” menulis: “Sesungguhnya kitâb disebut “kitâb” karena di dalamnya sebagian huruf dan kalimat-kalimat digabungkan satu dengan yang lain. Kitab misalnya pada kalimat katabat al-jaisy bermakna sekelompok laskar berkumpul.”[6]

Dalam mendefinisikan kedudukan ilmu, Mulla Shadra melanjutkan, “Yang benar adalah bahwa hal ini merupakan ilmu Ilahi terhadap segala sesuatu pada tingkatan zat. Sebuah ilmu yang sama sekali suci dan jauh dari karakteristik wujud kontingen dan rangkapan. Sedemikian sehingga seluruh entitas yang ada di alam kontingen (imkan) tersingkap dalam bentuk sempurna. Dan, hal ini berujung pada keberadaan entitas tersebut di alam luar dalam bentuk sempurna yang tidak memerlukan niat dan pikiran. Ilmu ini adalah ilmu yang bersifat basith (simpel) yang merupakan wâjib lidzatihi (wajib bagi diri-Nya) dan qâim bidzatihi (ada dengan sendiri-Nya) dan merupakan pencipta ilmu-ilmu secara detil (tafshili) dan rinci. Karena itu, ilmu ini berasal dari sisi Tuhan (dan bersumber dari zat-Nya) bukan pada zat Tuhan.”[7]

Bersambung ...