Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Apa yang dimaksud dengan Kitâb Mubîn, rutab, yabis dalam al-Qur’an? (2)

1 Pendapat 05.0 / 5

Penjelasan Mulla Shadra terkait ayat 39, surah al-Ra’ad (13) dimana yang serupa dengannya juga disebutkan pada ayat-ayat 1-4 surah Zukhruf (43). Akan tetapi redaksi “Ummul kitab” disertai dengan kalimat “fii” (pada) dan “indahu” (di sisi-Nya) dimana Mulla Shadra menegaskan bahwa ilmu zati itu adalah “anhu” (di sisi-Nya) bukan “fi” (pada) karena keduanya berbeda satu dengan yang lain.

Dengan demikian, Kitâb Mubîn ini, Ummul Kitâb, Lauh Mahfuzh, Lauh mahw wa itsbat, imam mubîn dan redaksi-redaksi yang lainnya adalah menyinggung ilmu zati yang identik dengan Zat. Karena sesuai dengan penjelasan Mulla Shadra Ra, ilmu tersebut harus kosong dari segala corak kontingen, rangkapan, batasan dan ketentuan (taqdir), disertai dengan ekspresi “anhu” (di sisi-Nya) dan tidak boleh disertai dengan redaksi “fi” (pada). Sementara ayat-ayat ini, menyinggung seluruh entitas secara detil dan bahkan rontoknya dedaunan, basah dan keringnya seluruh entitas. Yang disertai dengan “indahu” dan “fi’.

Dalam hal ini, Allamah Thabathabai Ra memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih akurat:

“Khazanah-khazanah gaib dan kitâb mubîn itu mencakup seluruh entitas, dalam hal ini tidak ada perbedaan dan demikian juga bahwa tidak terdapat entitas kecuali menjadi khazanah di sisi Allah Swt yang melaluinya seluruh entitas mendapatkan pertolongan, demikian juga tiada satu pun entitas kecuali telah tercatat dan terekam sebelum keberadaannya, pada saat keberadaannya dan setelah keberadaannya pada kitâb mubîn; kecuali bahwa kitâb mubîn merupakan salah satu khazanah yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, di sinilah makna ini menjadi jelas bagi setiap alim bahwa kitâb mubîn pada saat ia merupakan sebuah kitab (yang sebagian bergabung dengan sebagian lainnya) namun ia tidak berasal dari jenis kertas dan lauh (lempengan). Karena semakin besar kertas-kertas material, maka ia akan semakin tidak mampu mencatat seluruh entitas dan pelbagai fenomena.”[8]

Yang dimaksud dengan kitâb mubîn adalah sebuah perkara yang dalam kaitannya dengan seluruh entitas hubungannya laksana program kerja dibandingkan dengan kerja itu sendiri. Setiap entitas dalam kitab ini memiliki ukuran dan ketentuan. Hanya saja, kitab ini merupakan sebuah entitas yang ada sebelum segala sesuatu, pada saat terciptanya sesuatu dan akan tetap ada setelah musnahnya segala sesuatu. Entitas yang termasuk ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu adalah ilmu yang tidak mengenal lupa atau kehilangan.”[9] Pendeknya, kitab ini merupakan sebuah kitab himpunan seluruh entitas pada alam penciptaan dan memiliki semua yang dulu ada, ada dan akan ada, yang tiada secuil pun yang dialpakan dalam kitab tersebut.”[10]

“Kitab ini dalam firman Ilahi disebutkan dengan ragam nama: lauh mahfuzh atau kitab hafizh, ummul kitâb, kitâb mubîn, imâm mubîn yang masing-masing dari keempat nama ini memiliki daya tarik tersendiri. Dan, boleh jadi daya tariknya pada……imâm mubîn lantaran terkait dengan ketentuan-ketentuan pasti Ilahi… dan catatan amal perbuatan sebagaimana yang ditafsirkan pada surah Jatsiyah (ayat 29) diambil dari kitab tersebut..”[11]

Dalam lauh mahfuzh tercatat seluruh apa yang dulu ada, ada (sekarang) dan apa yang akan ada hingga hari Kiamat (dan tidak akan sirna).[12]

Lauh mahfuzh disebut sebagai ummul kitâb karena seluruh kitab samawi disimpulkan dari kitab tersebut.”[13] Disebut sebagai kitâb maknun karena lebih tinggi dan tersembunyi dari akal-akal manusia[14] dan pada kitab ini terkadang bentuk keluaran, ciptaan dan realisasinya segala urusan ditetapkan (itsbat) atau dihapus (mahw).[15] Atau melingkupi atau menutupi perbuatan-perbuatan manusia melalui pergantian metode dan caranya dengan ikhtiar manusia itu sendiri. Hal ini akan menjadi sebab yang pada akhirnya, buku catatan amal perbuatannya akan diambil naskahnya sesuai dengan usaha maksimalnya dan akan diserahkan kepadanya pada hari Kiamat. Meski pada kitab ini sendiri ketentuan-ketentuan yang bersifat pasti tidak dapat dihapus (mahw) dan ditetapkan (itsbat) seperti peristiwa-peristiwa penciptaan yang dialami oleh umat dan orang beriman atau pendosa sebelumnya. Demikian juga pelbagai tahapan penciptaan langit, bumi, manusia dan realisasi janji-janji Tuhan pada masa akan datang seperti keadilan universal dan digelarnya hari Kiamat dan sebagainya.

Dari beberapa persoalan yang dikemukakan di atas adalah jelas pada ayat-ayat ini bahwa yang dimaksud dengan “kitâb mubîn” bukan al-Qur’an yang dilafazkan dalam bahasa Arab atau sebuah kitab yang tertulis, melainkan al-Qur’an dan pewahyuannya secara gradual dan segala kejadian yang dikisahkan di dalamnya atau peristiwa yang akan terjadi, seluruhnya adalah sebagian dari “Kitâb Mubîn di sisi Allah” bukan semuanya. Bukan Al-Qur’an yang kini berada di tangan kita dan digunakan dalam kehidupan keseharian kita dan menjadi pedoman hidup kita. Akan tetapi, al-Qur’an yang satunya itu (kitâb mubîn) yang berada di luar jangkauan manusia. Adapun berita yang diperoleh para nabi, wasi dan wali adalah sesuai dengan izin Allah dan pengumuman Allah kepada mereka tidak lebih.[16]

Adapun pada sebagian ayat lainnya, seperti pada surah Qashash [28]: 2; asy-Syu’ara [26]: 2; an-Naml [27]: 1; al-Hijr [15]: 1, Yusuf [12]: 1; al-Maidah [5]: 15 dengan disebutkannya indikasi seperti wahyu, nuzul di samping “kitâb mubîn” yang dimaksud adalah al-Qur’an al-Karim yang ada di tangan kita sekarang yang dapat dipahami dan dijadikan sebagai petunjuk oleh setiap orang.

Dengan demikian, “kitâb mubîn” dalam al-Qur’an digunakan dalam dua bentuk. Bentuk pertama digunakan sebagai manifestasi ilmu fi’li Tuhan sebelum, pada waktu dan setelah penciptaan terhadap seluruh makhluk secara detil. Bentuk kedua adalah al-Qur’an itu sendiri yang dilafazkan dalam bahasa Arab yang menjadi sentral ilmu pengetahuan (yang berada di tangan kita sekarang). Tentu saja di antara dua hal ini tidak boleh dicampuradukkan satu dengan yang lainnya.

Yang perlu diingat adalah bahwa redaksi rutab dan yabis sesuai dengan riwayat disebutkan dengan contoh-contohnya seperti, janin yang gugur disebutkan sebagai contoh yabis dan bayi disebutkan sebagai contoh rutab. Atau hasil pertanian yang dipetik sebagai yabis dan apa yang belum lagi dipetik sebagai contoh dari rutab. Akan tetapi, secara lahir konteks ayat, menandaskan akan keumuman ilmu Tuhan terhadap segala makhluk dan entitas di alam semesta, kemajuan dan perubahannya.[17]

Dengan memerhatikan beberapa penjelasan di atas kini terdapat tiga kemungkinan:

Pertama, bahwa yang dimaksud dengan malakuti samawati dan bumi yang dipertontonkan kepada para wali Allah seperti Nabi Ibrahim As;[18] dan bahkan mikraj Nabi Saw pada alam-alam di atas,[19] berputar pada satu entitas yang disebut sebagai kitâb mubîn.

Kedua, ilmu gaib yang dimiliki oleh para maksum adalah diperoleh dari kitâb mubîn ini dan dari kitab ini ilmu mereka bertambah. Sebagian diberikan “ilmu al-kitâb”[20] dan memiliki wilayah universal Ilahi dan sebagian lainnya diberikan “ilmu min al-kitâb”[21] yang hingga batasan tertentu dapat memanfaatkan wilayah ini.

Ketiga, boleh jadi yang dimaksud dengan arsy dan kekuasaan atasnya (istila) adalah entitas (kitâb mubîn) dan makam ini. Karena itu, kekuasaan (istiwa) atas arsy adalah kiasan dari pengaturan alam semesta setelah penciptaan, sesuai dengan ilmu Ilahi yang tercatat pada kitâb mubîn.[22]

Catatan kaki

[1] Muhammad Shadruddin Syirazi, al-Hikmah al-Mutâ’aliyah, jil. 6, hal. 179-180.

[2] Silahkan lihat, Allamah Hilli, Bâb Hâdi ‘Asyar, Fashl Nafi al-Hawadits ‘anhu dan kitab-kitab teologi dan filsafat lainnya, terkait pembahasan Ilmu Ilahi.

[3] Ibid.

[4] Qs. Al-An’am [6]:10; Qs. Hud [11]:31; Qs. Al-Isra [17]:100; Qs. Shad [38]:9; Qs. Thur [52]: 37; Qs. Al-Munafikun [63]:7; Silahkan lihat al-Mîzân, jil. 13, hal. 96-201.

[5] Dan juga Qs. Yunus [10]:61.

[6] Muhammad Shadruddin Syirazi, al-Hikmah al-Mutâ’aliyah, jil. 6, hal. 179-180.

[7] Ibid.

[8] Sayid Amin Mehr, Ma’ârif Qur’an dar Al-Mîzân, hal. 224-225, nukilan dari al-Mîzân, terkait dengan ayat 59 surah al-An’am. Dan juga pada kitab yang sama, hal. 229, yang menukil dari al-Mîzân, terkait dengan ayat 58, surah al-Isra.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid, hal. 226.

[12] Ibid, hal. 230, nukilan dari al-Mîzân, terkait dengan ayat 4 surah Qaf.

[13] Ibid, hal. 233, nukilan dari al-Mîzân, terkait dengan ayat 1-4 surah az-Zukhruf.

[14] Ibid.

[15]. “Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:39)

[16]. “Katakanlah, “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib, serta tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat.” (Qs. Al-An’am [6]:50); “Dan aku tidak mengatakan kepadamu (bahwa) aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, aku tidak mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat.” (Qs. Al-Hud [11]:31)

[17] Silahkan lihat, Al-Mîzân, jil. 7, hal. 212; Kanz al-Daqâiq, jil. 4, hal. 342-344.

[18]. “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, (agar ia berargumentasi dengannya) dan termasuk orang-orang yang yakin.” (Qs. Al-An’am [6]:75); “Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi dan membutuhkan perlindungan (kepada siapa pun), jika kamu mengetahui?”(Qs. Al-Mukminun [23]:88)

[19]. “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Qs. Al-Isra [17]:1); Qs. Al-Najm [53]:1-18.

[20]. “Katakanlah, “Cukuplah Allah dan orang yang mempunyai ilmu al-Kitab (dan pengetahuan terhadap Al-Qur’an) menjadi saksi antara aku dan kamu.” (Qs. Al-Ra’ad [13]:43)

[21]. “(Tetapi) seseorang yang mempunyai sebuah ilmu dari kitab (samawi) berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhan-ku untuk mencobaku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).” (Qs. Al-Naml [27]:40); Silahkan lihat, Indeks: Ilmu Imam As, Pertanyaan 165.

[22] Sayid Amin Mehr, Ma’ârif Qur’ân dar Al-Mîzân, hal. 177-184, al-Mîzân, terkait dengan surah al-Ma’arij.