Mizanul Aqaid, Karya Imam Ghazali yang Terlupakan
Hari-hari terakhir di bulan Azar atau bulan ke 9 dalam penanggalan Iran, kerap membawa debar tersendiri. Langit pucat dan pohon-pohon meranggas berbaur dengan wajah-wajah kelabu para mahasiwa yang sebentar lagi akan menghadapi ujian semester ganjil. Tentu saya pun tak luput dari deraan rasa cemas memandangi tumpukan buku teks dan diktat, sembari mencoba berdamai dengan sinus yang setia menemani selama musim dingin.
Di tengah segala kerisauan, sebuah buku bersampul biru muda ini menemani malam-malam saya. Mizanul Aqaid, begitu tertera judul kitab di halaman depan dengan nama penulis Imam Muhammad al-Ghazali. Buku luar biasa yang diberikan oleh orang yang istimewa. Ya, tentu saja istimewa, karena beliau sendiri yang men-tashih dan meneliti naskah kitab ini dari beberapa manuskrip aslinya. Tak lain dan tak bukan, dia adalah Prof Maryam Husaini, dosen yang sangat saya kagumi.
Saya tidak tahu, apakah buku ini sudah ada versi Indonesia-nya atau belum, yang jelas kitab aslinya berbahasa Persia. Sebagaimana kita tahu, Imam Ghazali menghabiskan masa tuanya di kota Thus, tempat ia dilahirkan. Di sanalah, ia melengkapi berbagai karyanya dengan menulis dalam bahasa Persia, salah satu yang terkenal adalah Kimia Saadah. Kitab Mizanul Aqaid sendiri sebenarnya tidak tebal (saya menduga tulisan ini seperti catatan pengajaran kepada murid-muridnya).
Kitab Mizanul Aqaid ini, sebagaimana karya-karya Imam Ghazali lainnya, memuat pedoman kebahagiaan untuk umat manusia. Ia mengurai satu demi satu dari 10 cabang Syajarah Tayyibah, berikut buah yang dihasilkannya. Misalnya, ilmu membuahkan ketawadhuan, hikmah membawa pada kemuliaan, berpikir menghasilkan pandangan yang dalam, mahabbat atau kasih sayang melahirkan cinta, ridha membuahkan keadilan, dan sebagainya. Tentu di kitab tersebut terma-terma dijelaskan secara mendalam, dalam ruang terbatas kali ini, tidak akan cukup membahas materi kitab.
Namun ijinkan saya mengutip beberapa bagian penting pemaparan Prof Maryam Huseini yang ditulis dalam pengantar kitab Mizanul Aqaid ini.
Pertama, saya suka sekali kalimat pembuka Prof Huseini pada paragraf pertama yang juga merupakan kutipan dari pendahuluan kitab Kimia Saadah Imam Ghazali edisi Persia. “Ungkapan rasa syukur tak terhingga sebanyak hitungan bintang di langit, tetesan air hujan, seluruh dedaunan, sejumlah butiran pasir di sahara, juga seluruh partikel di bumi dan langit, hanya milik Tuhan yang maha Agung lagi maha Perkasa….”
Kedua, Prof Maryam Huseini dalam karya ini menempatkan Imam Ghazali sebagai salah seorang tokoh terpenting dalam sejarah keilmuan Islam, misalnya dengan menyematkan gelar Hujjatul Islam di depan namanya. Peneliti juga memuji Imam Ghazali sebagai salah seorang ulama yang memiliki karya tulis terbanyak di masanya. Bahkan, ia mengutip Montgomery Watt yang menyebut Ghazali sebagai seorang intelektual muslim.
Ketiga, salah satu kelebihan kitab ini, peneliti selain memberikan gambaran umum tentang tema-tema yang akan dibahas dalam kitab Mizanul Akaid dan menandai bagian-bagian penting dalam buku ini agar pembaca lebih mudah dalam memahami materi kitab. Ia juga menyampaikan kalimat kunci yang mungkin luput dari bidikan pembaca. Seperti kalimat: “Maksud Ghazali menulis Mizanul Akaid untuk menunjukkan bahwa jalan kebahagiaan ukhrawi adalah memahami secara benar kalimat tauhid (laa ilaha illallah)” “Kalimat tauhid menjadi pembuka sekaligus penutup dalam kitab ini”
Keempat, Keistimewaan lain buku ini, Prof Maryam Huseini ‘membocorkan’ kepada pembacanya proses mentashih kitab ini. Tidak hanya menyebutkan beberapa sumber manuskrip yang digunakan (Setidaknya ada 3 manuskrip; museum Hagia Sophia, museum Mashaad Khorasan, Museum di Tehran), namun juga menunjukkan penelusuran manuskrip dan metode analisa yang digunakan untuk membuktian bahwa naskah ini memang benar-benar karya Imam Ghazali. Selain itu, Ia juga melakukan studi komparasi kitab Mizanul Akaid ini dengan karya-karya Imam Ghazali lainnya, dari sisi bahasa maupun muatan isinya.
Kelima, di sampul buku tertulis nama Mahmod Alizadeh Kashani sebagai partner dalam penelitiannya. Ketika saya membaca paragraf akhir pendahuluan kitab ini, saya dibuat terkejut karena Pak Kashani ini ternyata adalah suami Prof Maryam Huseini sendiri. Ah…saya selalu meyakini, di balik kesuksesan salah satu pasangan, tentu ada dukungan dan support dari pasangan lainnya. Ini juga sekaligus menunjukkan, perempuan dapat memberikan kiprah terbaiknya jika diberikan kesempatan dan ruang yang setara dengan laki-laki.
Masih banyak lagi sebenarnya yang ingin saya tulis, namun rasanya sudah terlalu panjang. Saya tutup dengan beberapa quote yang ada dalam buku ini ya.
“Cinta adalah penyebab bergeraknya semesta dan seluruh wujud. Tak ada satu pun wujud di semesta, kecuali ada cinta di dalamnya”
“Setiap hati yang dihiasi oleh keikhlasan, maka cahaya hikmah akan terpancar darinya”
“Setiap ruh yang di dalamnya telah bersemayam mahabbah ilahiah, maka ia rela pada hukum dan ketentuan-Nya”