Umar bin Abi Rabi’ah, Penyair Cinta yang Kontroversial
Dunia kepenyairan Arab pada masa dinasti Umayyah dapat dikatakan berkembang begitu meruah. Hal ini tidak terlepas lantaran mendapat sokongan dari penguasa yang memang memiliki minat terhadap dunia sastra kepenyairan.
Jika kita menilik kitab-kitab sastra arab klasik seperti al-Iqd al-Farid, Al-Aghani maka semakin tegaslah bahwa di antara khalifah-khalifah dinasti Umayyah seperti halnya Mu’awiyah, Abdul Malik bin Marwan, Hisyam bin Abdul Malik, mereka mempunyai perhatian kuat terhadap pertumbuhan sastra pada masanya. Bahkan, lebih dari itu di antara penguasa Dinasti Umayyah adalah seorang penyair, seperti Walid bin Abdul Malik.
Perhatian para khalifah ini, memiliki dampak yang sangat bagus dalam aktivitas dunia kesusastraan arab. Para khalifah dinasti Umayyah menganggap bahwa pujian seorang penyair yang didedikasikan kepadanya merupakan bukti keberpihakan penyair itu dan kabilahnya kepada sang khalifah.
Oleh sebab itu, pada masa ini puisi-puisi yang berbau politik memiliki perkembangan yang sangat pesat, seperti puisi-puisi Farozdaq dan Jarir. Namun di samping puisi politik tersebut, puisi cinta (ghazal) pun juga berkembang begitu meruah.
Philip K. Hitti dalam bukunya History of The Arabs menyatakan, naiknya Dinasti Umayyah ke panggung kekuasaan, membuat ketertarikan lama terhadap anggur, lagu dan puisi kembali mendapat nafas. Pada masa ini, untuk pertama kalinya penyair cinta benar-benar menampakkan eksistensinya dalam literatur arab. (Philip K. Hitti: 2006)
Pada masa dinasti Umayyah inilah berkembang pesat syair cinta (ghazal) yang belum terjadi sebelumnya di masa Jahiliyyah. Syair cinta ini mendapat angin segar di masa Dinasti Umayyah di tangan Umar Ibnu Abi Rabi’ah, salah seorang penyair keturunan Quraisy yang dikatakan sebagai penyair yang memiliki retorika bahasa paling indah pada masanya dan disebut-sebut sebagai penyair papan atas di kalangan Quraisy. (Zirikli: 2002).
Kebanyakan, puisi Umar terdiri dari puisi ghazal yang bentuknya sangat tegas dan lantang, diungkapkan dalam bentuk hiwari.
Tradisi sastra kepenyairan cinta (ghazal) sebagaimana karya Umar Ibn Abi Rabi’ah demikian, pada dasarnya juga bukan barang baru dalam tradisi sastra arab sebelumnya (Jahiliyyah). Para penyair arab pra-Islam (Jahiliyyah) kebanyakan juga menyisipkan beberapa bait bernuansa cinta; erotis dalam pembuka syair-syair panjangnya (qashidah), seperti Umru’ul Qais, Khonsa dan lainnya.
Hanya saja, tidak ada satu pun di antara para penyair Jahiliyyah yang memiliki kecakapan khusus dalam menggubah puisi cinta (ghazal). Sedangkan Umar Ibn Abi Rabi’ah menjadikan puisi cinta itu sebagai puisi yang utuh dan memperbanyaknya sehingga terbentuk dalam satu diwan (antologi) yang terdiri dari puisi cinta yang utuh dan belum pernah ada pada masa sebelumnya.
Lantaran kepakaran dalam dunia kepenyairan cinta itu, pada akhirnya Umar Ibnu Abi Rabi’ah dijadikan sebagai kiblat dalam tradisi sastra ghazal. Umar ditahbiskan sebagai raja penyair ghazal. Sampai-sampai Philip K. Hitti salah seorang profesor kelahiran Lebanon menjuluki Umar sebagai raja penyair cinta yang berpaham hedonis; bebas. (Philip K. Hitti: 2006:)
Umar ibnu Abi Rabi’ah agaknya memang penyair cinta nan kontroversi yang kerap menunjukkan gaya hidup hedonis dan gemar bermain perempuan.
Dalam kitab al-A’lam, Khairuddin bin Mahmud Az-Zirikli mengisahkan, Umar ibnu Abi Rabi’ah pernah dilaporkan kepada khalifah Umar ibnu al-Aziz lantaran menggoda perempuan-perempuan yang sedang bepergian haji, sehingga ia mendapat hukuman; diasingkan di suatu pulau.
Bahkan, Aisyah binti Thalhah, salah seorang biduanita tersohor, cucu dari Abu Bakar dari jalur ibunya tersebut juga tak luput akan godaan Umar ibnu Abi Rabi’ah. Al-Jahidz (W. 255) dalam kitabnya, Rasail Al-Jahidz menceritakan.
Suatu ketika Umar berjumpa dengan Aisyah binti Thalhah yang kala itu sedang berada di atas keledai. Umar ibnu Rabi’ah kemudian melempar syair nan bergairah kepada Aisyah:
يا ربةَ البغلة الشهباء هل لكم … في عاشقٍ دنفٍ لا ترهقي حرجا
O, Nyonya yang menunggang keledai berwarna kelabu apakah kau dalam kerinduan yang tak terperikan? Tolong jangan membuatku terluka.
Umar ibnu Abi Rabi’ah memang perayu ulung, dan itu agaknya yang menjadi tumpuan Umar dalam mencipta syair-syairnya yang banyak bernuansa cinta; erotis. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab al- Manhaj al-Jadidi fi al- Adabi al-Arabi karya Umar Farukh, dikisahkan pada suatu ketika Umar Ibnu Rabi’ah berjumpa dengan Sulaiman Bin Abdul Malik di Damaskus. Olehnya, Umar diminta untuk membuat puisi madah/pujian yang khusus ditujukan kepadanya sebagaimana para penyair lainnya, lantas umar berkata: “saya tidak akan membuat puisi pujian kecuali untuk memuji perempuan”.