Soroush dan Teorinya; Al-Qur’an Produk Nabi
Adanya sikap Barat yang semakin brutal dalam memerangi Islam, dimana media-media Belanda dan media-media Denmark menjadi basis utamanya, dapat menginformasikan bahwa ada sebuah kelompok-kelompok tertentu yang mencoba bangkit memerangi Islam melalui keahlian mereka seperti membuat karikatur-karikatur, film tentang Nabi Saw dan al-Quran yang sifatnya menghina dan menjelek-jelekkan yang untuk kemudian dipertontonkan ke masyarakat dunia. Terakhir dapat kita amati, rilis film Fitna yang menimbulkan fitnah di seantero dunia Islam. Dalam kondisi seperti ini, terdapat wawancara Abdul Karim Sorous yang mengetengahkan ihwal al-Qur’an dan Nabi Saw yang secara tidak langsung menjadi teoritikus –sadar atau tidak sadar- kebrutalan ini. Tulisan ini tidak bisa –tanpa ada dasar dan bukti yang akurat – menyatakan bahwa apa yang tertulis dari wawancara tersebut adalah 100 persen pendapat dan keyakinannya. Akan tetapi sikap diamnya (tanpa menegaskan dan menafikan) Dr. Soroush terhadap informasi (ihwal wawancara yang dilakukan media Belanda itu) semacam ini dapat anggap sebagai kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.
Aliran Sophisme
Pada abad ke 5 SM, di Yunani muncul sebuah aliran yang meragukan wujud segala sesuatu dan bahkan ragu dengan wujud dirinya sendiri. Mereka banyak memaparkan pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinan yang aneh-aneh. Perkembangan pemikiran Sophisme ini dalam jangka waktu cukup lama sempat menguasai blantika pemikiran di Yunani. Akan tetapi dengan munculnya ilmuan besar dan ahli hikmah seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, pemikiran dan aliran Sophisme pun terkubur; kenapa? Karena mereka telah membeberkan dan membongkar paradigme-paradigma yang menjadi pijakan aliran sophisme. Aristoteles melalui buku Logika-nya telah mampu memberikan sumbangan besar kepada masyarakat tentang bagaimana cara berpikir yang logis serta realistis. Dengan adanya sumbangan besar dalam bidang pemikiran dari para ilmuan yang disebutkan di atas, namun tidak lama kemudian muncul kembali sebuah aliran baru yang mengistilahkan dirinya dengan agnostisisme yang dipelopori oleh Pyrho (275-365 M) dan aliran yang mengingkari keberadaan suatu hakikat berubah menjadi sebuah aliran Skeptisisme mutlak, namun aliran ini berlalu ditelan sejarah.
Para filosof Islam seperti Ibnu Sina, Mulla Shadra memiliki pandangan dalam hal ini dan yang tertarik untuk menelaah lebih jauh hal tersebut dapat merujuk ke buku Mas’alah Ma’rifah karya Allamah Subhani.
Reaksi Barat akhir-akhir ini adalah mengumbar kembali aliran Skeptisisme kepermukaan dan dipoles sedemikian rupa seakan-akan berbentuk sebuah barang ilmiah. Dan fokus perhatian para filosof Barat saat ini adalah selain merubah tatanan kuat filsafat, mereka juga sedang berusaha pada giliriannya meruntuhkan dan menghancurkan tatanan dan bangunannya. Dimana skill mereka adalah senantiasa menebarkan stetmen-stetmen skeptis di seluruh lapisan, menyitir Furughi: “Keahlian para filosof Inggris tidak lain adalah senang merusak tatanan tinggi filsafat yang masih tetap langgeng sampai pada masa itu” tanpa menambahkan atau memberikan kontribusi sesuatu pun.
Yang kita maksudkan disini bukan ragu yang kadang menjadi media ke arah yakin. Dan selama manusia tidak pernah ragu, maka ia tidak akan pernah sampai pada keyakinan. Keraguan adalah hal yang sangat indah ketika menjadi jembatan dalam memperoleh keyakinan bukan menjadi tujuan; akan tetapi sangat disayangkan karena sikap skeptis yang ada pada aliran ini adalah sebuah tujuan dan bukan wahana menuju ke keyakinan.
Hal lain yang lahir dari aliran Skeptisisme ini adalah ketika memaparkan pandangannya –sekecil apa pun masalahnya– selalu tidak disertai dengan dalil dan argumentasi. Setiap waktu ditanya: Apa dalil Anda berkata seperti ini? Selalu dijawab: I think (saya pikir atau saya kira…) dan pertanyaan-pertanyaan seperti; kenapa Anda memiliki pandangan seperti ini? Atas dasar dan dalil apa? Merupakan masalah yang tidak diperbolehkan dan bahkan dilarang.
Ibnu Sina berkata: “Setiap orang yang menerima pendapat atau pandangan seseorang tanpa didasari oleh dalil dan argumentasi, maka orang tersebut telah keluar dari fitrahnya sebagai manusia”. Akan tetapi, sangat disayangkan luka borok ini (yakni; berpendapat tanpa didasari dalil dan argumentasi) bisa tersebar tahap demi tahap, padahal logika Al-Quran menandaskan: Haatuu Burhânakum (Suguhkan argumenmu)
Beberapa waktu yang lalu kita mendengar info ihwal wawancara Dr. Soroush dengan salah satu media di Belanda. Dalam wawancara tersebut Dr. Soroush menyampaikan stetment-stetmentnya ihwal wahyu dan al-Qur’an. Dr. Soroush mengklaim bahwa Al-Qur’an merupakan produk pemikiran Nabi, sebagaimana para penyair dalam menggubah syair, nabi pun melakukan hal yang sama. Al-Qur’an merupakan kolaborasi antara Tuhan dan Muhammad, dari kolaborasi inilah lahir Al-Qur’an. Tuhan yang mengonsepnya, Muhammad yang meramunya dalam bentuk bahasa verbal. Sejarah kehidupan Muhammad yang mendominasi ayat-ayat al-Qur’an. Tulisan ini adalah dimaksudkan untuk menjawab dan menyangkal stetment-stetment yang dibuat secara subyektif dan tak bersadar oleh Dr. Soroush, sebagaimana para so called filosof Barat, yang melontarkan isu-isu tak bersandar dan tak berdasar.
Ringkasan Teori
Sejatinya Dr. Soroush, ketika memaparkan pandangan dan gagasannya, telah terperangkap dengan ikhtilaf dan pernyataan yang kontradiktif. Sedemikian sehingga ia tidak mampu mengkompilasikan pandangan yang dipaparkannya menjadi sebuah pandangan yang satu, utuh dan baku. Saya akan sebutkan pandangan Dr. Soroush dalam beberapa bagian:
1. Pengalaman keagamaan yang terjadi pada nabi ekuivalen dengan pengalaman yang dilakukan para penyair.
Dr. Sorous mengatakan: “Wahyu adalah ilham dan hal ini sama seperti pengalaman yang terjadi pada para penyair dan para arif. Tentunya Nabi Saw berada pada tataran pengalaman yang lebih tinggi. Dan di era modern ini, dengan menggunakan gaya bahasa metafora syair, kita dapat memahami wahyu itu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang filosof Muslim bahwa: “Wahyu merupakan bentuk syair yang paling tinggi.””
Analisis
Pandangan seperti ini bukan hal yang baru, akan tetapi merupakan warisan dari kaum Musyrikin Makkah, dimana ketika menginterpretasikan ihwal Alquran mereka menggunakan cara seperti ini dan berkata: Sebagaimana Amrul Qais mendapatkan ilham lalu kemudian dia menggubah lafaz-lafaz dan makna-makna dalam bentuk sebuah syair, maka Muhammad pun demikian; yakni dengan jalan ilham yang diperolehnya menyusun ayat-ayat tersebut. Tentunya yang dimaksud mereka dengan syair adalah syair yang bukan dalam bentuk sajak atau kasidah, akan tetapi khayalan-khayalan manusia yang diperoleh dari hasil tafakkurnya baik itu dalam bentuk berupa puisi maupun dalam bentuk prosa. Al-Quran menukil pandangan mereka itu dan sekaligus mengkritiknya, “Mereka berkata: ” Patutkah Kami mesti meninggalkan tuhan-tuhan Yang Kami sembah, karena mendengar ajakan seorang penyair gila?” (Qs. Ash-Shaffat :36), “Dan mereka mengatakan: “(Muhammad) itu seorang penyair Yang Kami tunggu-tunggu saat kebinasaannya”. (Qs. Ath-Thuur:30)
Terkadang Al-Quran dianggapnya sebagai hasil dari pemikiran Nabi Muhammad Saw dan terkadang juga mereka berkata: Alquran itu berisi pemikiran-pemikiran yang semrawut. Terkadang mereka juga berkata bahwa Nabi Muhammad Saw menyandarkan kebohongannya itu kepada Tuhan serta pada puncaknya mereka berkata bahwa Al-Quran merupakan sebuah buku syair yang disusun berdasarkan hasil wishful thinking (khayalan) Muhammad Saw.”bahkan mereka menuduh Dengan berkata: “Al-Quran itu perkara kalut Yang dimimpikan oleh Muhammad, bahkan perkara Yang diada-adakan olehnya, bahkan Muhammad sendiri seorang penyair.” (Qs. Al-Anbiyaa’:5)
Al-Quran ketika mengkritik pandangan seperti ini, menegaskan, “dan bukanlah Al-Quran itu perkataan seorang penyair (sebagaimana Yang kamu dakwakan. tetapi sayang!) amatlah sedikit kamu beriman.” (Qs. Al Haaqqah: 41), (Nabi Muhammad bukanlah penyair) dan Kami tidak mengajarkan syair kepadaNya, dan kepandaian bersyair itu pula tidak sesuai baginya. Yang Kami wahyukan kepadanya itu tidak lain melainkan nasihat pengajaran dan Kitab suci Yang memberi penerangan.” (Qs. Yaasin: 69)
Walhasil, mereka menganggap bahwa Nabi Saw sederetan dengan para penyair itu. Muatan pemikiran dan pandangan yang menjadi fokus bahasan kita tidak lebih dari ini meskipun mereka sedikit menambahkan stetmen dengan epheuisme bahasa ” Nabi berada pada tataran yang lebih tinggi “ , akan tetapi semuanya berasal dari nara sumber yang sama.
Kalau dia mengatakan bahwa ilham yang ada pada para penyair bersumber dari dirinya sendiri, sementara Nabi Saw memperoleh ilham (baca wahyu) dari maqam rububiyah. Dalam pada ini, hubungan kedua hal tersebut dalam logika termasuk hubungan differensial (tabayun) sehingga pada akhirnya tidak bisa diserupakan satu sama lain.
Terlepas dari hal diatas, pada dasarnya apa yang menjadi dalil dari pandangan seperti ini, apakah Anda punya bukti atas hal tersebut? Sangat disayangkan wawancara semacam ini hanya sebatas konsepsi dan visualisasi tanpa ada argumen dan dalil sebagai sandaran yang tangguh dalam membuktikan hal tersebut. Dan kalau memang betul Al-Quran berada pada tataran tertinggi formula sebuah syair, lalu mengapa Al-Quran mengeluarkan sebuah stetemen yang berisi tantangan untuk membuat ayat yang serupa dengannya meski dengan satu ayat saja? Penyair mana yang berani mengeluarkan tantangan seperti Al-Quran. Misalnya berkata: Tak seorang pun yang bisa membuat ghazal seperti yang saya buat hingga hari Kiamat nanti.
Di sini dapat pula dikatakan kepada sang pencetus pandangan ini bahwa: gaya interpretasi Anda ihwal Alquran ini tidak lain merupakan satu bentuk pengalaman syair; artinya jiwa Anda yang telah memberikan binaan kepada pemikiran seperti ini kemudian ditransfer ke intelek dan dikejawantahkan melalui bentuk ucapan dan tulisan tanpa ada sedikit pun hakikat yang tersimpan di balik semua itu.
Kalau memang betul bahwa syair dan seorang penyair serta yang semisal dengannya tidak memiliki sedikit pun nilai keabadian, maka pernyataan Anda pun demikian adanya.
2. Al-Quran merupakan produk Nabi Muhammad Saw.
Pada tema lain, dalam wawancara yang sama, Soroush mengatakan bahwa: gaya metafor syair bisa membantu dalam menjelaskan poin penting ini, betul bahwa nabi ibarat seorang penyair yang kekuatan eksternalnya berada dalam genggaman dan ikhtiarnya atau bahkan lebih tinggi dari itu, akan tetapi dalam kondisi itulah Muhammad dalam konteks pribadi adalah segala-galanya; yakni sang produser dan pembuat. Pokok bahasan ihwal ilham itu bersifat eksternal atau internal, pada hakikatnya tidak punya tempat dan tidak ada relevansinya.
Analisis
Stetmen-stetmen ini membuktikan bahwa sang pemilik teori ini memiliki asumsi bahwa Al-Quran merupakan hasil dari manifestasi unsur internal pribadi Nabi Muhammad saw yang sering diistilahkan dengan ‘wahyu nafsi’. Nara sumber pertama interpretasi yang mengatakan bahwa wahyu itu merupakan hasil dari manifestasi unsur internal pribadi nabi-nabi adalah bersumber dari para pendeta dan orientalis dan yang paling mumpuni dalam bidang ini dari kalangan orientalis. Mereka dengan sikap infantnya berusaha untuk memperkenalkan bahwa salah satu sumber referensi Al-Quran adalah manifestasi internal pribadi Nabi Saw. Salah seorang orientalis itu menuliskan bahwa: “Akal internal Muhammad memahami bahwa agama syirik tidak memiliki asas dan dasar. Dia (Muhammad saw), untuk mencapai dan sampai pada maqam kenabian, senantiasa menyembah Tuhan dan pergi ke Gua Hira menyepi untuk berasyik-ma’syuk atau beribadah kepada Tuhan dan di sanalah dia mencapai tingkatan tertinggi iman dan pemikiran-pemikiran luas serta mata batinnya pun semakin terbuka luas. Pada tahapan ini, karna demikian kuatnya, maka dia mendapat kelayakan untuk menghidayahi umat manusia. Dia terus menerus tenggelam dalam tafakkur sampai menemukan keyakinan: inilah nabi tersebut dimana Allah SWT mengutusnya untuk menghidayahi umat manusia. Pengetahuan-pengetahuan ini diolah sedemikian rupa oleh dia seakan-akan datang dari langit dan ucapan-ucapan tersebut dikirim oleh Tuhan melalui malaikat Jibril.”[1]
Pada dasarnya hal yang memisahkan dan membedakan antara feeling , cita-rasa para penyair dan feeling para nabi adalah hal yang tidak diyakini oleh Dr. Soroush. Para penyair berkeyakinan bahwa sumber ilham itu bersifat internal, sementara para nabi menganggap bahwa sumber ilham itu bersifat eksternal. Akan tetapi, sangat disayangkan poin terpenting perbedaan antara kedua hal diatas dianggap sepele oleh Dr. Sorous dan berkata: Pokok bahasan ihwal ilham itu bersifat eksternal atau internal, pada hakikatnya tidak punya tempat dan tidak ada relevansinya, karena pada tataran wahyu tidak ada perbedaan antara unsur internal maupun eksternal.
Seorang yang tidak memiliki pijakan pengetahuan Filsafat dan Irfan, tidak akan pernah mengetahui dan memahami garis pembeda antara kedua bentuk ilham dan kedua bentuk feeling tersebut. Oleh karena itu, demikian halnya kaum musyrik masa Nabi Muhammad Saw lantaran tidak punya kemampuan dalam membedakan antara kedua bentuk feeling tersebut, maka dengan sendirinya mereka berfikir bahwa bagaimana mungkin seseorang bisa mendapat ilham yang bersifat eksternal dan sekaligus menjadi pembimbing umat manusia. Al-Quran menceritakan ihwal bahwa pemikiran seperti ini bersumber dari mereka, “Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, “Berilah peringatan kepada manusia dan berilah berita gembira kepada orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi dan pahala yang baik di sisi Tuhan mereka.” (Tetapi) orang-orang kafir berkata, “Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata.”” (Qs. Yunus:2)
Sepanjang perjalanan sejarah, terdapat kelompok-kelompok yang kontra terhadap”wahyu muhammadi” memiliki banyak penafsiran dan penjelasan. Akan tetapi, esensi penjelasan dan interpretasi-interpretasi sesat itu pada dasarnya sejatinya merupakan satu kesatuan. Apa yang ada saat ini adalah merupakan bentuk tuduhan-tuduhan yang pernah dilakukan oleh Abu Jahal dan Abu Sofyan, namun dalam bentuk dan rupa yang berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa klaim Soroush ini dapat dilacak hingga masa-masa diturunkannya al-Qur’an.
3. Konsep dari Tuhan dan lafaz dari Muhammad Saw
Dr. Sorous, secara umum dan terperinci meyakini bahwa Al-Quran adalah produk Nabi Muhammad Saw dalam wawancar tersebut. Akan tetapi, di tempat lain dia mengatakan bahwa :“Nabi Saw dalam bentuk yang berbeda juga merupakan produser wahyu. Apa yang dia peroleh dari Tuhan mengandung unsur wahyu. Namun kandungan atau muatan wahyu ini tidak bisa disampaikan kepada manusia dalam bentuk asli dan hakikinya, karena wahyu itu lebih tinggi dari pemahaman mereka (manusia). Wahyu itu tidak memiliki bentuk dan format dan tugas pribadi Nabi adalah membahasakan wahyu tersebut sehingga memiliki bentuk dan format khusus dan bisa dipahami dan ditangkap oleh semua orang.”
Dr. Sorous dalam pernyataan ini, meyakini bahwa konsep dan makna itu datang dari Tuhan sementara bentuk dan formatnya berasal dari Nabi Muhammad Saw. Dan hasilnya adalah dia telah mengingkari salah satu mukjizat Al-Quran; yaitu keindahan lafaz-lafaznya; dan hanya makna-makna saja yang dianggap datang dari Tuhan.
Oleh karena itu, Al-Quran adalah dapat dikatakan sebagai hasil kolaborasi antara Allah Swt dengan Nabi Muhammad Saw; karena makna-maknanya datang dari Allah Swt sementara bentuknya bersumber dari Nabi Saw. Ibarat sebuah perusahaan saham dimana modal dari Allah Swt dan pengelola saham adalah Nabi Saw.
Sekarang yang harus ditanyakan adalah apakah pandangan ini berada pada tataran lebih rendah dari pandangan atau teori pertama? Sebelumnya dikatakan bahwa segala sesuatu bersumber dari Nabi Saw dan kelemahannya adalah adanya hubungan yang tidak kuat dengan Allah Swt, sedangkan di sini dikatakan bahwa makna-makna mentah dan tidak terformat itu berasal dari Allah Swt dan formatnya dibuat dan digodok langsung oleh Nabi Saw.
Pertanyaan selanjutnya yang harus diajukan di sini: Apa dalil Anda ihwal adanya kolaborasi ini (antara Tuhan dan Nabi Saw)? Apakah Tuhan yang Mahakuasa dalam menurunkan dan menciptakan konsep-konsep itu tidak mampu membuat sebuah format bagi konsep-konsep tersebut?
Terlepas dari hal di atas, Al-Quran dengan sendirinya menentang teori seperti ini, buktinya adalah sebagai permisalan: “Qul huwallahu ahad…(katakanlah Dia Allah itu Esa)“ menandaskan bahwa konsep-konsep dan bentuk serta formatnya itu kedua-duanya bersumber dari Allah Swt.
4. Sirah Kehidupan Muhammad saw mendominasi terciptanya Al-Quran
Dr. Soroush terkadang menganggap bahwa secara independen Al-Quran merupakan produk Muhammad saw dan dia menyatakan: Muhammad Saw memiliki peranan langsung. Dan terkadang menjelaskan adanya kolaborasi Tuhan dengan Nabi Saw; akan tetapi terkadang pula dia ingin mengatakan bahwa kondisilah yang mendominasi kehidupan Nabi Muhammad Saw. Dengan kata lain Dr. Soroush menganggap zamanlah yang telah memproduksi Al-Quran Al-Karim; artinya: “Sejarah kehidupan Muhammad Saw, ayah dan ibunya, masa kecilnya dan bahkan kondisi-kondisi jiwa serta ruhnya memiliki peran besar dalam membuat Al-Quran. Kalau Anda melihat dan membaca Al-Quran, maka anda akan merasakan bahwa Nabi Saw terkadang pada waktu-waktu tertentu merasa senang, dan berbicara dengan gaya bahasa fushah (elokuen) dan terkadang ketika kondisi kurang kondusif, Muhammad berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang sangat sederhana dan mudah dicerna. Dari aspek ini dapat dipahami bahwa wahyu tersebut merupakan hasil karya manusia”.
Yang menjadi Pertanyaan bahwa: Dr. Sorous, dengan stetment ini hendak memperkenalkan bahwa Al-Quran merupakan sebuah buku atau kitab hasil karya mutlak manusia. Soroush berusaha untuk mengeneralisasikannya dengan tulisan atau buku-buku lain, dimana aspek kehidupan setiap penulis sangat berperan dalam karya tulisannya atau kita istilahkan bahwa kecenderungan-kecenderungan serta latar belakang budaya sangat berpengaruh pada sebuah tulisan. Kalau memang seperti ini, maka mengapa Tuhan Muhammad menafikan itu semua dan menyatakan bahwa aspek yang sangat berperan dalam penciptaan Al-Quran tidak lain adalah wahyu sebagaimana Firman-Nya,“Dan ia tidak berkata menurut kemauan dan pendapatnya sendiri. Segala Yang dikatakannya itu tidak lain hanyalah wahyu Yang diwahyukan kepadaNya. wahyu itu (disampaikan dan) diajarkan kepadanya oleh (malaikat jibril) Yang amat kuat gagah.” (Qs. An-Najm: 3-5)
Stetmen-stetmen yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah sebuah buku hasil karya manusia sangat bertentangan dan sangat kontras dengan ratusan ayat-ayat suci Al-Quran yang mana kita akan sebutkan sebagian darinya, “Patutkah mereka (bersikap demikian), tidak mahu memikirkan isi Al-Quran? kalaulah Al-Quran itu (datangnya) bukan dari sisi Allah, nescaya mereka akan dapati perselisihan Yang banyak di dalamnya.” I(Qs. An-Nisaa: 82), “Alif, Laam, Raa’. ini ialah Kitab (Al-Quran) Kami turunkan Dia kepadamu (Wahai Muhammad), supaya Engkau mengeluarkan umat manusia seluruhnya dari gelap-gelita kufur kepada cahaya iman – Dengan izin Tuhan mereka – ke jalan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Terpuji.” (Qs. Ibrahim:1), “Sesungguhnya kami menurunkan Alquran itu dengan menggunakan bahasa arab semoga kalian bisa memahami dan berpikir” (Qs. Yusuf:12), “Dan ini ialah Kitab (Al-Quran) Yang Kami turunkan, Yang mengandungi berkat….” (Qs. Al An’am: 92)
Mencermati ayat-ayat di atas, bagaimana kita bisa mengklaim bahwa Al-Quran merupakan kitab hasil karya manusia, padahal tak seorang pun yang ragu akan kebenaran dan kredibilitas Muhammad Saw, Al Amin.
Induksi dan klaim-klaim yang menyesatkan
Di sini kita telah memaparkan inti dari pandangan atau teori yang digagas Soroush. Dia menjelaskan pandangannya ke dalam empat dimensi yang berbeda-beda tanpa menyertakan argument-argumen sebagai pijakannya. Dan satu-satunya bukti akan ketidakberasasan pandangannya adalah adanya kontradiksi dalam pandangan-pandangan yang dilontarkannya.
Di samping pandangan yang disebutkan di atas, masih ada beberapa ungkapan lain yang akan kita utarakan sekilas saja:
1. Dr. Sorous mengatakan: “Di era ini, mayoritas mufassir berpikir bahwa wahyu tidak hanya dalam masalah yang berkaitan dengan agama bisa salah tapi juga wahyu bisa salah dalam hal-hal yang berkaitan dengan perkara dunia dan sosial masyarakat. Apa saja yang djelaskan Al-Quran berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah dan hal lain yang terjadi di bumi ini tidak harus benar dan tidak harus terjadi. Para mufassir tersebut mayoritas menggunakan argumen bahwa bentuk kesalahan-kesalahan pada Al-Quran tersebut tidak akan berbahaya dan berdampak negatif pada kenabiaan Muhammad Saw; karena Nabi Saw turun ke tataran pengetahuan kaumnya dan berbicara dengan bahasa yang berkembang pada zaman itu.”
Yang menjadi pertanyaan adalah: kata mayoritas yang digunakan oleh Soroush tersebut ditujukan kepada mufassir siapa? Kapan dan dimana sepanjang 14 abad mufassir tersebut telah mengakui adanya kesalahan pada Al-Quran ketika membahas hal yang berkaitan dengan kehidupan?; jawabannya tidak lain bahwa mereka itu adalah para mufassir orientalis yang pekerjaannya hanya mencari muka saja seperti pemimpin Qadiyani-qadiyani dan yang terpengaruh oleh mereka seperti sebagian penulis yang berasal dari Mesir.
Terlepas dari hal diatas, diskriminasi dalam kesalahan ini mengandung makna apa? dimana Nabi Muhammad Saw ketika berbicara hal-hal yang berkaitan dengan metafisika selalu dianggap benar dan diyakini, sementara ketika beliau saw berbicara ihwal materi dan hal-hal yang bisa dirasakan oleh panca indra, maka selalu dianggap jauh dari hakikat dan kebenaran. Dan kalau pun ada seorang mufassir mencoba menafsirkan sebuah ayat, maka hal itu tidak bisa dijadikan sebagai dalil adanya kesamaan dalam memahami pokok materi tersebut.
Alquran telah mengklasifikasi ilmu pengetahuan Nabi Muhammad saw itu sebagai karunia terbesar Ilahi. “Dan telah mengajarkanmu apa Yang engkau tidak mengetahuinya. dan adalah kurnia Allah Yang dilimpahkanNya kepada mu amatlah besar.” (Qs. An-Nisaa:113)
Apakah ilmu yang diklasifikasikan oleh Al-Quran sebagai ilmu yang luar biasa dan amat besar dapat terjerambab dalam kesalahan?
2. Dr. Soroush melangkah ke yang lebih sensitif; yaitu dia mencoba mendeskripsikan ilmu Nabi Saw seperti ini:
“Saya punya pandangan lain. Saya menganggap bahwa ilmu Muhammad tentang bumi, tumbuh-tumbuhan, dan genetic manusia sama seperti ilmu yang dimiliki orang lain yang setara dengannya, tidak lebih dan tidak kurang. Dia tidak memiliki dan mengetahui ilmu yang ada dan kita miliki sekarang dan hal ini tidak akan berbahaya dan tidak berdampak negatif pada maqam kenabian Muhammad; karena dia adalah seorang nabi bukan ilmuan atau sejarawan.”
Yang menjadi pertanyaan: Apa dalil dan bukti anda mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak punya pengetahuan tentang masalah-masalah yang ada sekarang dan pengetahuan yang dimilikinya hanya sebatas apa yang ada di zaman jahiliyah saja?
Di sini kita tidak hendak berbicara ihwal mukjizat ilmiah Al-Quran, karena pembahasan itu memerlukan waktu dan ruang tersendiri. Rasulullah Saw melalui wahyu dan imam pengganti beliau, seperti Ali As, dalam Nahjul Balaghah serta cucu beliau, Ali Zainal Abidin, dalam Shahifah Sajjadiyah telah membuka berbagai tabir ilmu pengetahuan hakiki dimana tak seorang pun penghuni bumi yang pernah membayangkan hal tersebut, baik di zaman para imam tersebut maupun di zaman kita sekarang. Sangat naïf sekali jika kita mengingkari ilmu pengetahuan hakiki yang ada pada kitab suci tersebut (Al-Quran) dan menganggap Muhammad sebagai nabi (ansich) tetapi bukan ilmuan; artinya Nabi Saw seorang nabi bukan seorang ‘alim; maksudnya seorang nabi tapi tidak mengetahui rahasia-rahasia alam semesta.
Tuduhan kepada Mu’tazilah
Ketika Sorous menyatakan bahwa Al-Quran merupakan produk pemikiran Muhammad, maka tentunya dia punya tujuan dan maksud. Tujuannya adalah mencari relasi dan mitra baginya . Mitra yang dapat dijadikan oleh Soroush adalah Mu’tazilah dan persoalan ini ia nisbatkan kepada mereka dan berkata: “KIeyakinan bahwa Al-Quran merupakan sebuah produk manusia dan secara potensial bisa saja salah. Secara sepintas Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Quran itu adalah makhluk”.
Meskipun Mu’tazilah telah hilang dan tidak berkembang lagi dan begitu pun tokoh-tokohnya, tapi tentunya kitab-kitab mereka masih berada di tangan kita. Mereka, kelompok Mu’tazilah, tidak pernah berkeyakinan bahwa Al-Quran tersebut adalah makhluk yang diproduk oleh pikiran Nabi Muhammad Saw. Pada dasarnya yang menjadi pokok bahasan di abad kedua yang dipelopori oleh orang-orang Kristen yang bekerja di istana Khalifah Abbasiyah adalah mengenai apakah Al-Quran itu qadim ataukah haadits. Ada kelompok yang meyakini bahwa Al-Quran itu qadim dan ada juga kelompok yang meyakini bahwa Al-Quran itu haadits. Kelompok ahli hadis menganggap bahwa Al-Quran itu adalah qadim dan kelompok mu’tazilah menganggap bahwa Al-Quran itu adalah haadits, karena yang qadim secara dzati (hakiki) hanya Allah Swt dan selain Dia adalah haadits. Dan salah satu dari haadits itu adalah Al-Quran, dimana hal itu adalah fi’il (perbuatan) Allah Swt dan perbuatan Dia itu tidak terpisah dari sifat hudutsi (baru). Dan kalau mereka (Mu’tazilah) mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah makhluk Tuhan bukan makhluk (ciptaan) dan bukan buah pikiran Muhammad Saw. Oleh karena itu, dalam riwayat-riwayat Ahlulbait ditekankan bahwa hendaknya kita jangan menganggap Al-Quran itu qadim dan jangan pula menganggapnya sebagai makhluk, karena ketika dikatakan qadim maka akan terperangkap pada kesyirikan dan jika dianggap sebagai makhluk, maka musuh-musuh Islam akan menyalahgunakannya dan akan mengatakan bahwa Al-Quran adalah hasil karya pikiran dan perenungan Muhammad Saw. Dengan demikian, kaum musyrik di era Rasulullah Saw menggunakan redaksi yang sama seperti ini, ” Kami tidak pernah mendengar tentang itu Dalam agama Yang terakhir; perkara ini tidak lain hanyalah rekaan dan dusta semata-mata.” (Qs. Shaad :7)
Tuduhan Kepada Maulawi
Untuk membenarkan klaimnya, Dr. Soroush mencoba menjadikan Rumi sebagai tamengnya, “Al-Quran adalah hasil proyeksi dari pikiran Muhammad Saw. Apa yang ada dalam ucapan Rumi itu menjelaskan bahwa perubahan kondisi dan perubahan pribadi baik-buruk Nabi itu terlihat nampak dalam Al-Quran”.
Menisbatkan sesuatu itu kepada seseorang memang merupakan pekerjaan mudah, tapi membuktikannya adalah hal yang sangat sulit. Pada bait syair yang mana Rumi berkata seperti yang disimpulkan oleh Dr. Soroush. Sementara Rumi memiliki ratusan bait syair yang penjelasannya dengan sangat transparan bertentangan dengan apa yang dipahami oleh Dr. Sorous, di antaranya:
Ketika Kitabullah (Al-Quran) datang;
Kaum kafir pun melontarkan tuduhan-tuduhannya;
Mengatakan Al-Quran itu berisi dongeng dan cerita fiksi;
Tanpa meneliti dan mendalaminya;
Meskipun Al-Quran keluar dari lisan Muhammad;
Barangsiapa tidak berkata hak, maka ia kafir;
Ini semua adalah rumor dari sang kaisar;
Meskipun dari tenggorokan hamba Allah.
Penetapan Taklif untuk kaum Muslim
Dia (Dr. Sorous) diakhir ucapannya mencoba menetapkan taklif dan tugas bagi kaum muslimin di era ini. Dia berkata: “Tugas umat Islam hari ini adalah hendaknya menerjemahkan substansi Al-Quran sesuai dengan perjalanan zaman”
Pertanyaan: Apa perlunya Al-Quran yang Anda anggap sebagai sebuah kitab hasil karya manusia dan mungkin saja salah itu harus diterjemahkan dan ditafsirkan dengan menggunakan bahasa sekarang? Apa perlunya pretensi ini? Anda telah membuat jarak dengan komunitas Muslim dengan mengatakan bahwa Al-Quran merupakan hasil dan buah karya manusia dan peluang untuk salah sangat terbuka. Umat Islam tidak butuh lagi kepada nasihat anda. Orang yang pantas untuk Anda nasehati adalah orang yang tetap teguh bersama aAnda, akan tetapi Anda tidak punya otoritas lagi menasehati orang-orang yang telah keluar dari perkumpulan Anda.
Sangat disayangkan mengapa wawancara seperti dapat terjadi. Diharapkan wawancara ini bukan bersumber dari wawancara dia dan kemungkinan para translator yang salah dalam menerjemahkan. Apabila hal ini demikian adanya maka Dr. Soroush berkewajiban untuk memperbaiki klaim-klaim yang dibuatnya itu. Allâhu ‘Alim..[wisdoms4all]
Catatan Kaki:
[1] . Wahyu muhammadi, hal 86.