Perjanjian Hudaibiyah 1

Perjanjian Hudaibiyah (bahasa Arab:صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian damai antara pihak muslimin dengan musyrikin Mekkah. Perjanjian ini ditandatangani di daerah Hudaibiyah pada tahun ke-6 H/627. Peristiwa ini direkam dalam surah Al-Fath. Saat itu kaum muslimin bermaksud pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, namun pihak musyrik Quraisy menahan mereka. Karenanya Rasulullah saw mengirim utusan kepada Quraisy untuk berunding.

Mulanya Rasulullah saw menunjuk Umar bin Khattab, namun dia menolak dan mengusulkan Utsman bin Affan sebagai penggantinya. Setelah keberangkatan Utsman terdengar isu di kalangan muslimin bahwa dia terbunuh. Rasulullah saw kemudian menyeru segenap kaum muslimin yang bersamanya untuk berikrar setia kepadanya, istilah itu dikenal dengan sebutan Baiat Ridhwan. Setelah perundingan antar kedua belah pihak, akhirnya muncul kesepakatan Pejanjian Hudaibiyah. Di antara isi perjanjian tersebut adalah; gencatan senjata antara muslimin Madinah dengan musyrik Mekkah selama 10 tahun, dan kaum muslimin harus kembali ke Madinah, tahun berikutnya baru boleh ke Mekkah untuk ibadah umrah.

Keinginan Kaum Muslimin untuk Berhaji
Pada bulan Dzulqaidah tahun ke-6 H/627 Rasulullah saw bermimpi pergi ke Mekkah bersama pengikutnya dan melakukan ibadah umrah. “Sesungguhnya Allah telah membuktikan kepada rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya; (yaitu) sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Tetapi Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (Qs. Al-Fath: 48)

Rasulullah saw menceritakan mimpinya kepada para sahabatnya sekaligus menjanjikan kepastian terjadinya peristiwa itu di waktu yang akan datang. [1]Beliau mengajak para sahabatnya untuk bersiap diri berangkat ke Mekkah guna ibadah umrah. Musyrikin Quraisy memiliki dendam kesumat pada Islam, karena itu sebagai antisipasi akan terjadinya perseteruan dan halangan yang bakal mereka timbulkan, Rasulullah saw mengajak kabilah-kabilah Arab sekitar Madinah untuk ikut pergi ke Mekkah. [2]

Namun tidak banyak kabilah yang menerima ajakan beliau. Kebanyakan dari pihak Muhajirin dan Anshar yang siap menyertai Rasulullah saw.

Jumlah Kaum Muslimin
Pada hari Senin tanggal 1 Dzulqaidah tahun ke-6 H/627 rombongan muslimin yang terdiri dari golongan Muhajirin, Anshar dan beberapa kabilah Arab mulai meninggalkan Madinah menuju Mekkah. [3]Terdapat beberapa pendapat berbeda mengenai jumlah orang yang ikut serta dalam rombongan Rasulullah saw. [4]Paling masyhur adalah pendapat yang berpegang pada riwayat dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, disebutkan bahwa peserta dalam Perjanjian Hudaibiyah adalah 1400 orang. [5]

Jumlah itu termasuk 4 perempuan, di antaranya Ummu Salamah, istri Nabi saw [6]. Selama meninggalkan Madinah, Rasulullah saw mewakilkan kepemimpinan Madinah kepada Abdullah bin Ummi Maktum [7]atau Numailah bin Abdullah Laitsi. [8]

Kaum Muslimin Melaksanakan Ihram
Atas perintah Nabi saw, saat itu kaum muslimin tidak membawa senjata kecuali pedang yang memang biasa dibawa kemana-mana. Begitu keluar dari wilayah Madinah dan sampai di Dzulhulaifah, sekarang tempat ini dijadikan nama masjid yang dikenal dengan sebutan Masjid Syajarah, Rasulullah saw dan pengikutnya mengenakan pakaian ihram. 70 ekor onta yang dibawa mereka tandai dengan cap hewan kurban dan digiring di depan rombongan. Tujuannya agar orang-orang, terlebih musyrikin Quraisy, tahu bahwa tujuan kedatangan mereka bukan untuk perang, namun umrah dan thawaf mengelilingi Kakbah. [9] Disebutkan, onta bekas milik Abu Jahal yang disita dari perang Badar juga dibawa dan akan dikurbankan. [10]

Perjalanan Rasulullah saw ke Hudaibiyah
Begitu sampai di Usfan, daerah sekitar Mekkah, Rasulullah saw diberi kabar bahwa kaum Musyrikin Mekkah telah mengetahui kedatangan kaum muslimin dan bertekad akan menghalangi masuknya kaum muslimin ke Mekkah. [11] Kafir Quraisy menaruh pasukan di luar kota Mekkah dan mengirim Khalid bin Walid beserta 200 pasukan berkuda ke Kira’ al-Ghamim untuk menghadapi kaum muslimin. [12]

Mendengar kabar itu, Rasulullah saw bersabda, “Kasihan Quraisy, mereka menjadi korban perang”. Ia lalu bertanya, “Siapa yang bisa menunjukkan jalan lain supaya kita tidak berhadapan dengan Quraisy?” [13]

Atas panduan beberapa orang dari kabilah bani Aslam, Rasulullah saw dan rombongannya melanjutkan perjalanannya ke Mekkah melalui jalan alternatif untuk menghindari pasukan Quraisy. [14] Dalam perjalanan tersebut, untuk pertama kalinya kaum muslimin melakukan Salat Khauf, [15] tujuannya untuk berjaga-jaga dari serangan musuh. [16]

Memasuki Daerah Hudaibiyah
Saat rombongan muslimin memasuki daerah Hudaibiyah tiba-tiba onta milik Rasulullah saw (Qashwa’) berhenti dan duduk, Rasulullah saw lalu meyuruh pengikutnya di tempat itu. Dengan mukjizatnya, Rasulullah saw merubah sumur kering yang ada di sana menjadi bersumber kembali hingga penuh sehingga dapat mencukupi kebutuhan seluruh rombongan. Bahkan disebutkan waktu itu sempat turun hujan beberapa kali. [17]

Ketika Rasulullah saw berada di Hudaibiyah, Budail bin Warqa’ al-Khuza’i bersama orang-orang dari kabilah Khuza’ah datang menemui beliau. Rasulullah saw menjelaskan maksud kedatangannya, bahwa beliau dan rombongannya hanya ingin mengunjungi Baitullah, bukan perang. Bani Khuza’ah lalu mengabarkan hal itu pada kafir Quraisy. Quraisy menjawab, “Meski jika Muhammad tidak datang untuk perang, dia tetap tidak akan kami ijinkan memasuki Mekkah karena itu akan membuat orang-orang Arab menertawakan kami.” [18]

Setelah itu kafir Quraisy mengirim beberapa perwakilan menemui pihak Islam untuk berunding, namun kedua pihak tidak mendapatkan kesepakatan. [19] Alhasil, para pemuka Quraisy (termasuk Abu Sufyan yang pernah merasa malu di mata masyarakat Arab karena gagal menghadapi muslimin dalam perang Ahzab pada tahun ke-5 H/626) menganggap kedatangan kaum Muslimin ke Mekkah merupakan penghinaan dan sindiran tajam bagi mereka.

Bersambung ....