Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Hukum Mandi 2

0 Pendapat 00.0 / 5

Metode Irtimasi
Metode ini dilakukan dengan cara membenamkan seluruh tubuh kedalam air dalam satu waktu yang bersamaan dan cukup dilakukan sekali. Wajib hukumnya membenamkan keseluruhan anggota tubuh pada saat yang bersamaan.[10]

Menurut fatwa sebagian Marja’ taklid, jika berniat mandi irtimasi setelah keseluruhan anggota tubuh terbenam secara sempurna ke dalam air, maka mandi yang dilakukannya tidaklah sah. Oleh karenanya, lebih baik berniat disaat sebagian anggota tubuh berada di luar air.[11]

Hal-hal yang Diwajibkan
Hal-hal wajib dalam mandi yang keabsahannya bergantung pada hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:

Niat adalah melakukan amalan dengan niat melaksanakan perintah Allah swt, jika tidak disertai niat karena Allah swt, maka mandinya batal.[12]
Menjaga niat sampai selesai mandi[13]
Menyiramkan air ke seluruh anggota tubuh sehingga dikatakan mandi dalam pandangan umum. Menurut sebagain ulama, mambasuh tubuh terealisasi dengan menyiramkan air ke permukaan kulit, sekalipun dengan bantuan basuhan tangan.[14]
Tidak diharuskan untuk menyentuhkan air pada anggota tubuh bagian dalam, seperti dalam mata, hidung, mulut, bagian dalam telinga yang tidak telihat, juga pada bagian bawah kuku yang tidak terlalu panjang.[15]
Untuk bagian anggota tubuh yang terlihat tapi tidak akan tersentuh air secara normal, misalnya bagian dalam daun telinga maka tetap wajib untuk membasuhnya dengan air.[16]
Mubāsyarah (secara langsung) yaitu mandi sendiri, bukan dilakukan oleh orang lain.[17]
Pada saat melakukan mandi, tubuh dalam keadaan bersih.[18]
Air yang digunakan saat melakukan mandi adalah air mutlak, bersih dan mubah. Oleh karena itu, mandi yang dilakukan dengan menggunakan air mudhaf, najis dan gasab (tanpa seizin pemiliknya, jika air itu bukan milik umum) hukumnya batal dan tidak sah.[19]

Hal-hal yang Membatalkan
Menurut fatwa Imam Khomeini dan sebagian lainnya dari kalangan marja taklid, jika diantara proses mandi atau pun setelah itu, terjadi hadats asghar (hal-hal yang membatalkan wudu) seperti kencing dan sebagainya, itu tidak membatalkan mandi. [20] Atau dengan kata lain, orang tersebut tidak perlu mengulang mandinya. Namun jika hendak melakukan salat (dan seluruh perbuatan yang disyaratkan wudu), maka wajib baginya untuk mengambil wudu terlebih dahulu. [21]

Terdapat perbedaan antara hal-hal yang membatalkan wudu dengan hal-hal yang membatalkan mandi. Hal-hal yang membatalkan mandi adalah hal-hal yang mewajibkan mandi, seperti: 1. junub, 2. Keluarnya darah haid, 3. Keluarnya darah istihadah, 4. Keluarnya darah nifas[22]

Menurut pendapat sebagian ulama marja taklid yang lain, jika ditengah proses mandi terjadi hadats asghar (hal-hal yang membatalkan wudu) maka mandi harus dilakukan dari awal dan untuk melakukan hal-hal yang mempersyaratkan thaharah, maka harus mengambil wudu juga.[23]

Mandi Mencukupkan dari Berwudu
Fukaha Syiah terkait kecukupan mandi dari wudu tidak berbeda pendapat dan sejumlah besar dari mereka mengklaim ijma’ atas masalah ini.[24][25][26] Selain itu, pendapat masyhur dikalangan fukaha adalah mereka yakin bahwa dengan mandi junub, wudu tidak dibolehkan.[27][28] Sementara Syekh Thusi menganjurkan wudu dilakukan bersama dengan mandi janabah.[29]

Berkenaan dengan jenis mandi lainnya, apakah dapat menggantikan posisi wudu, terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. Mayoritas Fukaha berpendapat, untuk jenis mandi lainnya selain mandi janabah, tetap tidak menggantikan posisi wudu dan jika hendak melakukan salat, harus mengawalinya dengan mengambil wudu terlebih dahulu. [30] Sayid Murtadha, Ibnu Junaid[31]dan Sayid Muhsin Hakim berpendapat itu tidak jauh dari kebenaran.[32]Diantara fukaha kontemporer banyak mendukung pendapat ini.

Menurut fatwa Imam Khomeini, Khamenei, Ayatullah Shafi, Ayatullah Subhani, Ayatullah Golpaigani, Ayatullah Fadhil dan Ayatullah Bahjat, orang yang mandi janabah, untuk melakukan salat tidak boleh mengambil wudu. Dengan mandi-mandi wajib yang lain seperti mandi haid, nifas dan istihadah tidak sah melakukan salat dan harus mengambil wudu sebelumnya. Dengan mandi-mandi sunnah juga tidak sah melakukan salat.

Menurut Fatwa Ayatullah Wahid Khurasani, Ayatullah Sistani, Ayatullah Nuri Hamadani, Ayatullah Tabrizi dan Ayatullah Khui, dengan mandi-mandi wajib selain mandi istihadah menengah, sah melakukan salat tanpa wudu, meskipun ihtiyat mustahabnya juga mesti mengambil wudu. Dengan mandi-mandi sunah golongan pertama juga sah mengerjakan salat, meskipun ihtiyat mustahabnya juga mesti mengambil wudu.

Menurut Fatwa Ayatullah Syubairi Zanjani, dengan mandi wajib (selain mandi istihadhah) dan mandi-mandi mustahab golongan pertama, sah melakukan salat, meskipun ihtiyat mustahabnya mesti mengambil wudu juga.

Menurut fatwa Ayatullah Makarim Syirazi, dengan semua mandi, sah melakukan salat dan tidak wajib wudu, baik berupa mandi junub atau selainnya, baik berupa mandi wajib atau mandi mustahab, akan tetapi menurut ihtiyat mustahab mukallaf mesti mengambil wudu pada selain mandi junub.[33]

Pelaksanaan Mandi dengan Sejumlah Niat
Jika seseorang memiliki kewajiban mandi dari beberapa mandi wajib, maka ia bisa meniatkan untuk keseluruhan dengan melakukan satu mandi.

Jika diantara sejumlah jenis mandi wajib tersebut terdapat mandi janabah, maka menurut mayoritas fatwa fukaha, niat mandi janabah saja sudah cukup untuk semua pelaksanaan mandi wajib tersebut, tanpa perlu meniatkannya untuk pelaksanaan mandi wajib lainnya.

Apabila semua mandi-mandi itu mustahab atau sebagiannya wajib dan sebagian yang lain mustahab, maka menurut mayoritas pendapat fukaha cukup melakukan satu mandi. [34] Namun sebagian fukaha berpandangan melaksanakan satu kali mandi untuk beberapa niat mandi tidak mencukupi.

Catatan Kaki
1. Misykini, Mushthalahat al-Fiqh, hlm. 290
2. Bahrani, al-Hadāiq al-Nādhirah, jld. 4, hlm. 182; Hamadani, Mishbāh al-Faqih, jld. 3, hlm. 219; Thabathabai Yazdi, al-‘Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 466: Amuli, Mishbāh al-Huda, jld. 4, hlm. 70.
3. Thabathabai Hakim, Mustamsak al-‘Urwah, jld. 3, hlm. 68, 72 dan 341.
4. Thabathabai Yazdi, al-‘Urwah al-Wutsqa, jld. 2, hlm. 142.
5. Thabathabai al-Hakim, Mustamsak al-‘Urwah, jld. 3, hlm. 79 dan 82; Amuli, Mishbāh al-Huda, jld. 4, hlm. 200-211; Khui, Muassasah al-Khui, jld. 6, hlm. 366 dan 379.
6. Thabathabai al-Yazdi, al-‘Urwah al-‘Utsqah, jld. 1, hlm. 494.
7. Amuli, Mishbāh al-Huda, jld. 4, hlm. 214.
8. Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 3, hlm. 105.
9. Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 3, hlm. 106 dan 122; Thabathabai al-Yazdi, al-‘Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 512-513.
10. Thabathabai al-Yazdi, al-‘Urwah alWutsqah, jld. 1, hlm. 495; Thabathabai al-Hakim, Mustamsak al-‘Urwah, jld. 3, hlm. 85-86.
11. Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 3, hlm. 99; Thabathabai al-Yazdi, al’Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 496; Thabathabai al-Hakim, Mustamsak al-‘Urwah, jld. 3, hlm. 86-87; Khui, Mausu’ah al-khui, jld. 6. hlm. 388-389.
12. Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 3, hlm. 78.
13. Jawāhir al-Kalām, jld. 3, hlm. 79.
14. Musawi Amuli, Madārik al-Ahkām, jld. 1, hlm. 291; Bahrani, al-Hadāiq al-Nādhirah, jld. 3, hlm. 87.
15. Bahrani, al-Hadāiq al-Nādhirah, jld. 3, hlm. 91-92; Sabzwari, Mahdzab al-Ahkām, jld. 3, hlm. 57-58.
16. Jawāhir al-Kalām, jld. 3, hlm. 80.
17. Bahrani, al-Hadāiq al-Nādhirah, jld. 3, hlm. 95.
18. Najafi,Jawāhir al-Kalām, jld. 3, hlm. 101-102; Thabathabai al-Yazdi, al-‘Urwah al-Wutsqa, jld. 1, hlm. 499; Amuli, Mishbāh al-Huda, jld. 4. hlm.244.
19. Thabathabai al-Yazdi, al-‘Urwah al-Wutsqah, jld. 1, hlm. 504
20. Imam Khomaeni, Taudhih al-Masāil Mahsyi, masalah 386.
21. Imam Khomaeni, Taudhih al-Masāil Mahsyi, masalah no. 386, pendapat Sistani, Nuri Hamadani dan Syubairi Zanjani.
22. Pusat tanya jawab masalah-masalah keagamaan
23. Imam Khomeini, Taudhih al-Masāil Mahsyi, masalah no,. 386, pendapat al-Khui, Bahjat, Tabrizi, Makarim Syirazi.
24. Al-Khilaf, hlm. 131, masalah no. 74.
25. Hilli, Mukhtalaf al-Syi’ah, jld. 1, hlm. 339.
26. Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 3, hlm. 340.