Imam Musa bin Ja’far a.s. Adalah Sumber Ketakutan dan Ancaman Harun ar-Rasyid (1)
Sejarah menuturkan bahwa Imam Musa bin Ja’far a.s. adalah sumber ketakutan Harun ar-Rasyid serta merupakan ancaman bagi kekuasaan mereka. Kebesaran dan kepribadian Imam Kazhim memberikan ketakutan dan kegelisahan bagi para penguasa Abbasiyah dan aparat-aparatnya dalam menghadapi pribadi yang lapang dada dan tegar itu kendati mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan, serta negara dan kekayaan yang besar. Mereka tidak memiliki sarana lain kecuali penjara dan penindasan dalam melindungi dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Sejarah menuturkan kepada kita tentang pemenjaraan Imam AI-Kazhim dan kesabaran beliau dalam menghadapi penderitaan dan kekejaman para penguasa. Ketika Harun hendak memenjarakan Imam Musa, didatangkan dua ekor keledai yang diikatkan satu sama lain dengan tali, dan Imam Musa bin Ja’far dinaikkan di punggung salah satu keledai itu. Beberapa orang pengawal membawa beliau menuju Bashrah, sedang rombongan lainnya menuju Kufah. Hal itu dimaksudkan untuk mengelabui mata orang banyak tentang ke mana Imam Kazhim.
Dalam pandangan Imam Musa Kazhim, bumi ini dijadikan Allah seluruhnya sebagai tempat beribadah dan masjid, serta diciptakan sebagai mihrab untuk beribadah, medan untuk bertasbih, dan menyucikan asma-Nya, serta perjalanan mendekatkan diri dan mencapai makrifat kepada Allah. Bagi beliau, kondisi seperti itu tidak akan pernah berubah, kapan dan dimanapun beliau berada. Bahkan ketika situasi dan kondisi untuk itu dipersempit dan ujian semakin berat, maka taqarrub beliau kepada Allah justru semakin meningkat dan semakin membuat beliau memohon pertolongan kepada-Nya dengan sabar dan salat. Atas dasar itu, beliau menjadikan penjara sebagai tempat bersujud. Tekanan dan penderitaan yang dialaminya diisinya dengan zikir kepada Allah, sehingga siangnya diisi dengan puasa, dan malam harinya diisi munajat dan ibadah.
Salah seorang yang ditugasi mengawasi beliau di dalam penjara, yakni Isa bin Ja’far menuturkan bahwa dia pernah mendengar Imam berdoa: “Allahumma, ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahatahu bahwa aku selalu memohon kepada-Mu agar aku bisa selalu mengisi waktuku untuk beribadah kepada-Mu, dan sekarang aku bisa melakukan hal itu. Karena itu, segala puji hanya bagi-Mu.” (Bihar Al-Anwar, jil. 48, hal. 107)
Karena sikap Imam yang seperti itu, maka Isa bin Ja’far sesudah menahan Imam a.s. selama satu tahun mengirimkan sepucuk surat kepada Harun yang isinya antara lain berbunyi: “Mohon Tuan ambil dia dari saya, dan serahkan kepada siapa saja yang Tuan kehendaki. Kalau tidak, maka saya akan membebaskannya. Sebab, saya telah mengajukan berbagai argumen kepadanya, namun saya tidak berhasil mengatasinya. Saya khawatir mendengar dia mendoakan saya atau mendoakan (keburukan) untuk Tuan. Saya betul-betul tidak ingin mendengar dia berdoa kecuali untuk meminta rahmat dan maghfirah kepada Allah bagi dirinya sendiri.” (Abu AI-Faraj AI-Ashfahani, Maqatil Al-Thalibiyyin, hal. 502)
Bersambung ...