Imam Musa bin Ja’far a.s. Adalah Sumber Ketakutan dan Ancaman Harun ar-Rasyid (2)
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abdullah dari ayahnya, menemui AI-Fadhal ibn Al-Rabi yang ketika itu sedang duduk-duduk di ruang atas, lalu dia berkata kepada Abdullah, “Perhatikan kamar itu, lalu katakan kepadaku apa yang engkau Iihat.”
“Pakaian yang tergeletak”, jawab Abdullah.
“Lihatlah baik-baik”, katanya lagi.
Abdullah kembali mengamati dan kemudian memikirkannya baik-baik, lalu aku berkata: “Rupanya orang sedang sujud.”
“Kau kenal dengannya?” tanya Al-Fadhal.
“Dia adalah Musa bin Ja’far. Aku mengawasinya siang dan malam, dan aku melihatnya di setiap waktu kecuali dia sedang beribadah seperti itu. Dia salat fajar, lalu disambung dengan salat lain hingga matahari terbit, kemudian sujud lama sekali, dan tidak mengangkat kepalanya hingga matahari tergelincir di ufuknya. Untuknya disediakan orang yang memberitahu datangnya waktu salat, dan bila dia diberitahu bahwa waktu salat telah tiba, dia segera melaksanakan salat… Selesai salat, kemudian dia makan, lalu memperbarui wudunya, dan sesudah itu sujud dan melaksanakan salat tanpa henti di tengah malam hingga subuh tiba,” jawab Abdullah. (Bihar Al-Anwar, jil. 48, hal. 607)
Allamah Majlisi menuliskan: “Kemudian dia diperintahkan untuk menyerahkan Imam Musa bin Ja’far kepada AI-Fadhal bin Yahya yang menempatkannya di salah satu kamar di rumahnya dengan mengunci pintunya. Di situ Imam Musa bin Ja’far sibuk dengan beribadah. Beliau mengisi sepanjang malam dengan salat, membaca AIquran, dan puasa di sebagian besar hari-harinya, serta tidak pernah memalingkan wajahnya dari mihrab. Karena itu, Fadhal bin Yahya melapangkan hidup beliau dan memuliakannya.”
Begitulah pengaruh Imam Kazhim terhadap para pengawasnya di dalam penjara, dan beliau menghabiskan waktunya dengan berdoa, munajat, istighfar, ruku, sujud, dan tak henti-hentinya berzikir kepada Allah. Semua itu beliau pandang sebagai anugerah dari Allah, sebab membuat diri beliau bisa sepenuhnya beribadah dan membebaskan diri dari kepentingan lain selain untuk Allah Swt.
Cahaya kalbunya menerangi kegelapan dinding-dinding penjara, kehebatan sabarnya telah mematahkan rantai yang membelenggunya dan memorak-porandakan keinginan para thaghut, kelezatan munajatnya mengisi seluruh ruang penjara dengan kerinduan dan kegembiraan ibadah. Kalau sudah demikian, apa lagikah yang masih bisa dilakukan oleh orang-orang yang zalim dan kejam, serta apa lagikah yang bisa dilakukan para penguasa terhadap dirinya? Imam a.s. mempengaruhi orang-orang yang ada di sekitarnya, dan menundukkan orang-orang yang ada di dekatnya dengan akhlak, tindakan, dan jiwanya.
Harun kemudian memindahkan Imam dari penjara ke penjara lainnya, dari Isa bin Ja’far ke tangan Al-Fadhal ibn Al-Rabi’, kemudian ke tangan Al-Fadhal bin Yahya, dan seterusnya ke tangan Sanadi bin Syahik, dengan harapan ia bisa mengikis habis pribadi beliau, memadamkan semangat perlawanan yang dibangkitkannya, dan mengusirnya dari hati kaum Muslimin. Akan tetapi, keberadaan Imam Musa bin Ja’far di dalam penjara justru merupakan sumber gerakan politik dan jihad yang sangat besar, khususnya kepindahan beliau dari satu penjara ke penjara lainnya dan berita tentang diri beliau yang selalu diikuti oleh umat, sehingga sia-sialah para penguasa melakukan kekerasan terhadapnya.
Keberadaan Imam mengobarkan semangat revolusi, perlawanan, penentangan, dan mewarnainya dengan warna syariat. ltu sebabnya, Imam menolak permintaan orang-orang yang mengajukan diri untuk menjadi perantara dalam mengeluarkan beliau dari penjara, atau memperlihatkan suatu sikap yang bisa menyebabkan perjuangan umat menjadi melemah. Ketika Harun menyadari bahwa semangat perlawanan membisu yang diperlihatkan oleh Imam Musa dalam penjara itu mulai menyelusup ke kalbu kaum Muslimin, dan semangatnya bertemu dengan kesadaran mereka, dia menjadi takut kalau kesadaran tersebut mengkristal dan berubah menjadi pemberontakan.
Harun akhirnya putus asa, kemudian ia memerintahkan Al-Sanadi untuk membunuh Imam. Maka dituangkanlah racun dalam bubur gandum yang diberikan untuk Imam Musa bin Ja’far. Maka beliau pun segera merasakan adanya racun yang menjalar ke seluruh darahnya yang suci, dan berusaha mengatasi racunnya selama tiga hari, namun tidak berhasil. Akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir pada 25 Rajab 183 H di penjara Al-Sanadi bin Syahik. Inna lillahi wa inailahi rajiun.