Apakah dalam surga juga terdapat perjalanan menuju kesempurnaan?
Pandangan dominan di kalangan ulama adalah kesempurnaan tidak mungkin ada di surga kiamat. Kelompok ini meyakini bahwa berdasarkan sumber-sumber agama surga ada dua bentuk: satunya surga barzakhi (isthmus) dan yang lainnya surga di hari kiamat. Kesempurnaan dalam surga barzakhi adalah bersifat mungkin. Untuk informasi lebih lanjut silahkan merujuk pada jawaban 5925 (Kesempurnaan Barzakhi).
Akan tetapi kesempurnaan pada surga akhirat bersifat tidak mungkin; karena alam kiamat dan masuk ke dalam surga adalah merupakan penutup perjalanan kesempurnaan manusia sehingga masuk dalam surga itu artinya ia telah meraih kematangan (kesempurnaan) bukan untuk menjadi sempurna.
Dalam menjelaskan pendapat ini dapat dikatakan bahwa kesempurnaan dan gradasi derajat dalam surga adalah hutang dan akibat derajat-derajat iman dan amal saleh manusia di dunia. Allah Swt berfirman:
«وَ لِكُلٍّ دَرَجاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَ ما رَبُّكَ بِغافِلٍ عَمَّا یعْمَلُون»
Dan masing-masing orang ada tingkatannya,(sesuai dengan apa yang mereka kerjakan). Dan Tuhan tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (Qs. Al-Maidah [5]:132)
Karena itu, sesuai dengan sabda Imam Ali As yang menyebutkan, “Hari ini (sampai ketika kalian masih hidup) adalah hari untuk beramal dan berusaha, bukan hari perhitungan amalan-amalan, tetapi hari esok kiamat adalah hari perhitungan dan tak akan ada (kesempatan untuk) beramal.” [1]
Oleh karenanya, jika pada hari akhirat laporan amalan-amalan dan perbuatan-perbuatan baik akan ditutup dan kesempurnaan adalah akibat dari amalan saleh, maka dalam surga tidak ada kesempurnaan, kecuali jika kita mengumpulkan sebelumnya di dunia ini. Di akhirat kelak tidak terdapat kesempurnaan berupa gradasi dari satu tingkatan ke tingkatan lain surga tanpa sebelumnya dikumpulkan pendahuluan dan prasyaratnya di dunia.
Dalam hal ini, Allah Swt dalam al-Quran berfirman:
«لا ینْفَعُ نَفْسًا إیمانُها لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ
فی إیمانِها خَیرًا قُلِ انْتَظِرُوا إِنّا مُنْتَظِرُونَ»
“Tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu. Katakanlah,”tunggulah! maka kamipun menunggu”. (Qs. Al-An’am [6]:158)
Berlawanan dengan pendapat yang telah disebutkan, ada pandangan lain yang dikemukakan; yang meyakini adanya kesempurnaan di hari kiamat. Kelompok ini dalam menjelaskan pendapat mereka mengatakan: setelah memasuki alam pertama dari alam-alam kiamat dan bersatunya ruh dengan badan, ruh akan menempati berbagai tingkatan dan posisi-posisi serta makam-makam, dalam gerak laju manusia dimana ruh masing-masing menempati posisinya. Dalam kondisi ini, ruh melalui suatu etape kesempurnaan dalam perjalanan kembalinya manusia menuju Tuhan. Hal itu disebabkan oleh karena pada setiap perpindahan (tingkatan) manusia semakin dekat pada bentuk aslinya dan menemukan kembali kesempurnaan yang hilang darinya ketika melakukan rangkaian perjalanan dan secara bertahap menemukan daya eksistensialnya dan akan sesuai dengan alam Ilahi.
Di samping itu setelah masuk ke dalamnya, keteraturan khusus yang menguasai tempat itu niscaya memiliki gerak dan kesempurnaan, dan pada tiap alam setelah masuk ke dalamnya akan mencapai kesempurnaan-kesempurnaan baru.
Kelompok ini menganggap bahwa ayat-ayat serta riwayat-riwayat juga menjadi penjelas perjalanan dan kesempurnaan dalam kumpulan serta alam-alam setelah itu.
Beberapa contoh dari ayat-ayat tersebut akan kami tunjukkan sebagai berikut:
«إِنَّ الَّذينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَ أَيْمانِهِمْ ثَمَناً قَليلاً أُولئِكَ لا خَلاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ
وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَ لَهُمْ عَذابٌ أَليمٌ»
“Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak akan menyapa mereka, tidak akan memperhatikan mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (Qs. Ali Imran[3]:77)
Kelompok ini mengatakan: frase ayat “tidak akan menyucikan mereka” pada ayat ini, memiliki pemahaman khusus. Frase ini menjadi penjelas hakikat tersebut bahwa manusia-manusia yang berada pada jalan lurus penghambaan (shirat mustaqim ubudiyah) dan kebenaran; ada dalam rel/jamaah dan pada makam-makam serta alam-alam tersebut, yang termasuk penyucian Allah Swt, Allah Swt membuat suci mereka dari berbagai noda dan mensucikan serta membersihkan mereka dari apa yang menutupi wajah asli manusia dan dari hakikat-hakikat yang membuat mereka jengah. Tentu saja penyucian Ilahi ini tidak akan meliputi kelompok manusia yang tidak berada pada shirat ubudiah dan menantang Tuhan.
Harus diperhatikan bahwa pensucian Ilahi itulah pemenuhan dan penyempurnaan jiwa manusia; karena manusia dalam kehidupan duniawi secara lahiriah memiliki satu rangkaian kepercayaan dimana berdasarkan kepercayaan-kepercayaan tersebut ia memiliki cara dan praktik suluk yang khusus. Akan tetapi dalam perkara batiniah, jiwa manusia adalah (buah dari) akidah dan amal perbuatan tersebut. Jiwa memiliki gerak khusus dimana gerak tersebut jika berada pada jalur suluk ubudiyah dan shirat mustaqim, maka secara bertahap akan membersihkan ruh dari apa yang seharusnya (ruh) bersih (dari itu), dan membawanya kepada tahapan-tahapan kesempurnaan.
Gerak batiniah inilah yang merupakan penyucian Tuhan yang dilakukan pada jiwa manusia, di bawah kontrol suluk lahiriah (syariat) agama. Penyucian ini, melepaskan dan membebaskan ruh dari segala hijab, keterikatan, warna dan apapun yang menimpa ruh ketika berpisah dari tempat aslinya. Sebenarnya hal ini merupakan satu gerak kesempurnaan (takamuli) untuk ruh.
Gerak ruh ini tidak menjadi bagian dari penyucian, baik itu penyucian di dunia yang dilakukan dibawah kontrol suluk agama maupun penyucian di akhirat sebagai keniscayaan dari hukum-hukum khusus yaitu alam dan ‘awâlim-nya.
«إِنَّ اللَّهَ يُدْخِلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ يُحَلَّوْنَ
فِيها مِنْ أَساوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَ لُؤْلُؤاً وَ لِباسُهُمْ فِيها حَرِيرٌ
وَ هُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَ هُدُوا إِلى صِراطِ الْحَمِيدِ»
“Sungguh, Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan kev dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Di sana mereka diberi perhiasan gelang-gelang emas dan mutiara, dan pakaian mereka dari sutera. Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan diberi petunjuk (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji”. (Qs.al-Hajj [22]:23-24)
Kelompok ini mengatakan: ayat ini juga mengisyaratkan bahwa setelah menempati surga, para penghuni surga dibimbing pada perkataan yang suci dan jalan yang terpuji. Jadi jelaslah bahwa baru akan dimulai jalan khusus di tempat tersebut dan jalan yang tidak ada gerak padanya adalah bukanlah jalan. Ayat ini mengatakan: Allah Swt dengan nama “hamid” nya, orang-orang mukmin dan para pecinta dibawa pada ke tempat yang seharusnya mereka dibawa. Jadi tetap ada gerak di awâlim hasyr (alam-alam masyhar) dan di situ perjalanan kesempurnaan tetap berlanjut.[2]
Akan tetapi berdasarkan prinsip hikmah dan filsafat dalam menjawab pandangan ini, dapat dikatakan bahwa jiwa di hari kiamat telah sampai pada kesempurnaan tajarrud (non material); oleh itu di sana tidak terdapat kesempurnaan. Ayat-ayat juga telah dijelaskan atau penjelas tentang perkembangan wujud alam akhirat, atau dengan ungkapan Faidh Kasyani yang memaknainya sebagai raf’e mawâne’ (menghilangkan pelbagai halangan).[3] []
[1]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 42.
«اَلیوم عملٌ و لا حساب و غداً حساب و لا عمل»
[2]. Muhammad Suja’i, Qiyâm Qiyâmat, hal. 101 dst…, Bunyad Andisyeh Jawan, Muassasah Farhanggi Danesy wa Andisye Ma’asir, Tehran, 1380.
[3]. “Alam akhirat bukanlah alam gerak menuju kesempurnaan, dan tidak mungkin memiliki rangkaian perjalanan menuju kesempurnaan, akan tetapi sumber siksaan jika berasal dari aksiden-aksiden sekunder maka ia akan akan hilang dalam substansi jiwa, itu pun bukan dikarenakan rangkaian perjalanan kesempurnaan.” Faidh Kasyani, Ushûl Ma’ârif, Muqaddimah, hal. 332, Daftar Tabligh Islam, Qum, Cetakan Ketiga, 1375 S. Untuk informasi lebih lanjut silahkan lihat Terjemahan Persia Tafsir al-Mizân, jil. 8, hal. 134; Majmu’-e Âtsâr Syahid Muthahhari, jil. 4, hal. 806; Syarh Zâd al-Musâfir, Sayyid Jalaluddin Asytiyani, hal. 93; Majmu’-e Maqâlât, Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, hal. 172.