Imam Ali as & Tafsir Akal Perempuan dalam Nahjul Balagah(2)
Namun, masih ada pendapat lain tentang hadis ini. Di antaranya mengatakan bahwa akal manusia dilihat dari fungsinya terbagi atas dua; ‘akal teoritis’ yang berfungsi sebagai sumber proses berpikir dan berargumen. Dan, ‘akal praktis’ yang dengannya manusia dapat menerima setiap konsep sehingga dapat diaplikasikan dalam perilaku. Hal ini telah dijelaskan dalam Ushul-Kafi tentang ‘Akal (aql) dan bala tentaranya, dan kebodohan (jahl) beserta bala tentaranya’.
Menurut pendapat ini, maksud dari kalimat ‘akal perempuan kurang’ adalah lemah dari sisi akal teoritis. Artinya, perempuan lemah dalam beragumen dan berpikir. Untuk menguatkan pendapat ini, ada yang berdalih dengan al-Qur’an, surat adz-Dzuhruf ayat 18, tentang jawaban yang disampaikan kepada Arab Jahiliyah ketika mereka meyakini bahwa malaikat sebagai anak perempuan Tuhan,
اَوَمَنْ يُّنَشَّؤُا فِى الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِى الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِيْنٍ
“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang ia tidak dapat memberi alasan yang kuat dalam berargumen.” (Adz-Dzuhruf:18))
Pada zaman Jahiliyah, jika masyarakat tidak membunuh anak perempuan niscaya mereka akan mendidiknya dengan berbagai corak dandanan dan perhiasan. Cara mendidik semacam ini menyebabkan kemampuan berpikir anak-anak perempuan tidak dapat berkembang. Allah Swt dalam ayat tersebut telah mencela metode pendidikan seperti itu. Karena itu, tidak tepat berargumen dengan ayat tersebut, karena perempuan yang dididik dengan metode yang salah saja yang telah dicela Allah.
Pendapat kedua menyatakan bahwa akal empiris (aql tajrubi) perempuan tidak sekuat kaum lelaki. Ini disebabkan tugas utama wanita adalah melahirkan dan mendidik anak, sehingga kesempatan untuk mendapatkan pengalaman sangat minim dibandingkan laki-laki. Dengan demikian, perbedaan bukan terletak pada sisi alamiah akan tetapi lebih dikarenakan pembagian pekerjaan di antara mereka.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akal dalam riwayat itu bukanlah tertuju pada kemampuan akal itu sendiri, akan tetapi lebih ditekankan pada cara berpikir pemilik akal. Maksudnya, perbedaan bukan pada esensi akal tetapi pada pengaktifan potensi akal. Perempuan jarang menganalisa suatu peristiwa dengan akalnya, ini semua dikarenakan jiwa emosional lebih mendominasi dirinya. Sementara untuk berpikir yang benar dibutuhkan penguasaan terhadap kestabilan emosional. Di sisi lain, karena sisi emosional laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan, dia dengan mudah dapat mengendalikan emosinya.
Karena itu, jika seorang perempuan mampu mengendalikan perasaannya, ia pun dapat berpikir dan menganalisa dengan baik. Tentunya, perasaan dan emosional tidak selamanya buruk. Karena, pasti ada hikmahnya jika Allah Swt menganugrahkan perasaan ekstra kepada perempuan. Salah satunya, peran ibu yang memerlukan perasaan yang lebih. Jadi, yang tepat adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Kapan harus mengedepankan rasional, dan kapan harus mengedepankan emosional.
Kesimpulannya, apapun pendapat para pemikir tentang hal ini, semua itu tidak menunjukkan rendahnya eksistensi perempuan. Karena, secara empiris kita juga mengenal perempuan-perempuan agung seperti Sayidah Khadijah, Sayidah Fathimah, dan Sayidah Zainab. Mereka adalah sosok yang mampu menempatkan kapan harus bersikap rasional dan emosional.
Selain itu, hadis tersebut tidak berkenaan dengan semua perempuan, tapi situasi dan kondisi yang menyebabkan Imam Ali as berkata demikian. Kata ’nisa’ (perempuan) memakai alif-lam istighraq yang dalam Bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan umum dan mencakup semua yang sejenisnya, mengisyaratkan bahwa jika ada perempuan yang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh perempuan di Perang Jamal, maka hadis tersebut pun akan mencakup perempuan itu.