Kisah Nabi Musa yang Merasa Paling Pandai
Di dalam kitab hadis Shahih Bukhari disebutkan bahwa Kanjeng Nabi saw bercerita: “Musa pernah berpidato di tengah-tengah Bani Israil. Di tengah pidato, ada orang bertanya kepadanya, ‘Kanjeng Nabi Musa, siapakah manusia yang paling pandai di dunia ini?’ Mendengar pertanyaan tersebut, Kanjeng Nabi Musa menjawab dengan tegas. ‘Siapa lagi kalau bukan Saya!,’
Karena jawaban itu, Gusti Allah menegur Nabi Musa sebab merasa kepandaiannya lebih tinggi dari yang lain. Di dalam teks hadis, Kanjeng Nabi Muhammad menggunakan lafal ‘ataballaahu ‘alayh yang artinya bisa saja bukan hanya teguran melainkan celaan.
Bukan hanya menegur, Gusti Allah juga menunjukkan Nabi Musa untuk menjumpai seorang hamba yang lebih pandai darinya. Dalam beberapa riwayat, hamba Allah tersebut bernama Khidhir yang berada di Majma’al Bahrayn.
Di dalam Alquran surah al-Kahfi (65) Allah menyebutkan bahwa pada akhirnya Musa as dan Yusya’ bin Nun bertemu dengan Nabi Khidhir “Yang telah Kami beri rahmat dan Kami beri pengetahuan dari sisi Kami (wa ‘allamnaahu min ladunnaa ‘ilman).”
Al-Qurthuby mengutip pendapat Ibnu ‘Athiyyah menyebutkan ilmu yang diperoleh Khidhir adalah ilmu makrifat yang berkaitan dengan hal-hal batiniyyah yang diwahyukan kepadanya dan bukan hanya ilmu lahiriyah yang berkaitan dengan hukum-hukum dan tata prilaku manusia. Sebaliknya, ilmu Nabi Musa adalah ilmu syariat yang berkaitan dengan hal-hal lahir tentang tata perilaku manusia yang kasat mata.
Yang menarik dari kisah Khidhir dan Nabi Musa sebagaimana dalam surah al-Kahfi ialah, meskipun ilmu yang dimiliki oleh Khidhir adalah ilmu makrifat akan tetapi ilmu tersebut memiliki nalar logis. Bukan sesuatu yang abstrak dan tanpa penjelasan yang susah dipahami. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan yang ia utarakan di akhir perjalanannya bersama Nabi Musa.
Kisah ini memiliki pelajaran penting yang perlu dicermati. Pertama, bahwa pengetahuan seseorang berbeda-beda dan berjenjang, hal ini menunjukkan tingkat pengetahuan seseorang.
Kedua, pengetahuan tersebut pada akhirnya akan menentukan sikap dan perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Ketiga, semua ilmu yang ada, pada dasarnya memiliki rasionalitas yang dapat diterima oleh akal manusia; dan yang keempat siapa pun tidak patut menyombongkan diri dengan pengetahuan yang ia miliki jika ia menyadari bahwa masih banyak yang lebih baik darinya.
Di ujung perjalanan Khidhir dan Nabi Musa, Khidhir memberikan sebuah epilog dengan mengatakan, “Wahai Musa, sesungguhnya ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah seukuran dengan air yang diminum oleh burung-burung dari air laut ini.” Hal ini disampaikan kepada Musa, agar Musa mau merendahkan diri dengan ilmu yang ia miliki.
Sebab, masih ada yang lebih pandai dari manusia terpandai di dunia sekalipun. Untuk itu sebagai manusia biasa tidak satu pun yang patut menyombongkan diri dengan apa yang dimiliki, karena sombong adalah pakaian Allah dan Dia lah satu-satunya yang berhak mengenakannya.