Tips Berinteraksi dengan Menggunakan Hadits
Kecenderungan umat Islam di perkotaan saat ini kerap berinteraksi dengan menggunakan hadits. Sayangnya, tidak dibarengi dengan pemahaman tentang bagaimana memahami sabda Nabi Muhammad tersebut.
Karena itu, Ketua Program Studi Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta KH Rifqi Muhammad Fatkhi menjelaskan beberapa tips agar mampu berinteraksi dengan menggunakan hadits. Salah satunya, ia menerangkan tentang tips memahami hadits dalam bingkai Al-Qur’an.
Pertama, ia menyebutkan bahwa sunnah atau hadits adalah nassu kitabi. Artinya, segala yang telah ditulis di dalam Al-Qur’an juga telah dituliskan di dalam hadits. Misalnya, ketika Al-Qur’an bicara tentang larangan pencurian maka hadits pun akan berbicara tentang larangan mencuri.
“Saat hadits bicara larangan berzina, Al-Qur’an bicara larangan berzina. Itu nassu kitabi,” tutur Kiai Rifqi secara virtual dalam Pesantren Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), pada Kamis (29/7/2021).
Kemudian, hal kedua yang mesti dipahami adalah jumlatu kitabi. Ia menerangkan bahwa hadits atau sunnah pasti menjelaskan firman Allah di dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika Al-Qur’an bicara tentang perintah shalat maka hadits akan menjelaskan soal bagaimana teknis pelaksanaan shalat. Begitu pula saat Al-Qur’an memerintahkan untuk zakat zakat, hadits pun menjelaskan mekanismenya.
“Ketiga, sunnah menyebutkan yang tidak disebut oleh Al-Qur’an. Jadi, Allah dengan pengetahuan dan rahmat-Nya membiarkan itu keluar dari lisan Nabi Muhammad,” tutur Kiai Rifqi.
Keempat, ia mengutip pernyataan Imam Syafi’i dalam Kitab Ar-Risalah bahwa sunnah atau hadits tidak pernah bertentangan dengan Al-Qur’an. Contoh, suatu ketika Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadits tentang seorang mayat yang akan disiksa dengan tangisan orang-orang yang masih hidup.
“Rasulullah bersabda: yu’adzadzabul mayyitu bi buka-ilhayy. Mayit itu akan disiksa dengan tangisan yang hidup. Ibunda Aisyah protes wa laa taziru waaziratun wizra ukhra (Faathir ayat 18). Al-Qur’an bilang begitu. Jadi hadits itu ditolak oleh ibunda Aisyah. Karena bertentangan dengan Al-Qur’an. Sunnah tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an,” jelas Kiai Rifqi.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Imam Syafi’i bahwa hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an. Kedua wahyu tersebut tidak mungkin bertentangan. Namun menurut Kiai Rifqi, hal yang lebih penting lagi adalah hadits harus sejalan dengan Al-Qur’an.
“Kalau hadits bicara perempuan, maka kita harus lihat Al-Qur’an bicara apa tentang perempuan. Hadits tidak bisa berdiri sendiri. Jadi pengetahuan seseorang terhadap Al-Qur’an menentukan penjelasan dia terhadap hadits. Omong kosong dia bicara atau menjelaskan hadits, tapi tidak paham apa-apa terhadap Al-Qur’an,” beber Kiai Rifqi.