Ayat Mawaddah(2)
Perbedaan Pendapat mengenai Makna Qurba
Sejumlah pendapat ahli tafsir mengenai makna al-Qurba dapat dikemukakan secara singkat sebagai contoh sebagaimana berikut:
Sebagian dari mufasir bahkan dikatakan mayoritas dari kalangan mereka berpendapat bahwa mukhatab/lawan bicara yang dituju oleh ayat ini adalah kaum Quraisy. Karena disebabkan Nabi Muhammad saw dianggap melecehkan sembahan-sembahan Quraisy, maka mereka membenci dan memusuhinya. Allah swt pun memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan kepada kaum Quraisy bahwa kalau sekiranya mereka menolak dakwah dan ajakan Nabi saw untuk mengeesakan Allah swt setidaknya mereka tidak memusuhi Nabi saw, karena mau tidak mau Nabi saw adalah juga bagian dari keluarga besar mereka. Makna qurba adalah karib kerabat dan keluarga terdekat dan huruf (فی) bermakna sababiyat (hubungan pernikahan)
Sebagian lain berkata, Mengenai mawaddah yang dikaitkan dengan qurba bukanlah ditujukan kepada kaum Quraisy melainkan kepada kaum Anshar. Kaum Anshar membawa harta kekayaan mereka kepada Nabi Muhammad saw sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Namun atas perintah Allah swt, Nabi saw menolak pemberian tersebut. Ayat yang turunpun ditujukan kepada kaum Anshar dengan menyebutkan bahwa Nabi saw tidak menghendaki upah dari mereka berupa harta kekayaan melainkan upah berupa kecintaan kepada keluarganya yang berada di tengah-tengah mereka.
Pendapat lain menyebutkan, mengenai mawaddah fil qurba, adalah kecintaan kepada keluarga sendiri. Dan mukhatab dari ayat ini adalah kaum Quraisy dan seluruh masyarakat secara umum. Yang maknanya dapat disebutkan adalah, “Saya tidak menghendaki dari kalian sesuatupun kecuali kecintaan terhadap keluarga kalian sendiri, yaitu dengan memperbanyak silaturahim”.
Pendapat lainnya, makna qurba adalah taqarrub (melakukan pendekatan) kepada Allah swt dan mawaddah fi qurba dimaksudkan adalah melakukan taqarrub kepada Allah swt dengan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Keempat pendapat ini ditolak oleh Mufassir Syiah. [4]
Pendapat selanjutnya adalah yang menyatakan, mawaddah fi qurba adalah kecintaan kepada keluarga Nabi saw yaitu Ahlulbait dan keturunannya. Pendapat ini dikuatkan oleh adanya sejumlah riwayat sahih, yang juga bahkan terdapat dalam literatur Ahlusunah terlebih lagi dalam kumpulan riwayat dalam kitab-kitab Syiah yang memberikan penafsiran mawaddah fil qurba adalah kecintaan kepada itrah Nabi saw dan memberikan loyalitas kepada mereka.
Terdapatnya riwayat-riwayat mutawatir dari kedua mazhab besar ini yang menyebutkan wajibnya memberikan kecintaan kepada Ahlulbait as, mempertegas kuatnya pendapat ini. [5]
Lebih detail lagi, ulama Syiah dengan berdasar pada sejumlah dalil yang kuat meyakini bahwa yang dimaksud al-qurba adalah Ali as, Fatimah sa, Hasan as, Husain as dan 9 Imam lainnya setelah Imam Husain as yang berasal dari keturunannya. [6] Demikian pula dengan Allamah Hilli yang menjadikan ayat Mawaddah sebagai ayat keempat dari Alquran yang menegaskan akan keimamahan Imam Ali as. Dari Ibnu Abbas meriwayatkan sewaktu ayat Mawaddah diturunkan, ia berkata, “Wahai Rasulullah saw, siapa dari keluargamu yang wajib bagi kami untuk mencintainya?” Nabi saw menjawab; “Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.” [7]
Riwayat seputar Ayat Mawaddah
Dari Imam Sajjad as ketika ditanya mengenai ayat Mawaddah, ia menjawab, “Mengenai ayat Mawaddah adalah berikanlah kecintaan kepada kami Ahlulbait Nabi Muhammad saw.” [8] Diriwayatkan dari Imam Baqir as bahwa misdaq yang dimaksudkan dari ayat Mawaddah adalah para Imam Maksum. [9] Imam Shadiq as juga bersabda, “Ayat Mawaddah diturunkan untuk menceritakan mengenai kami Ahlulbait dan Ashabul Kisa’.” [10] Hakim Haskani dari ulama Ahlusunah, menukil 7 riwayat yang menceritakan mengenai ayat ini yang menegaskan bahwa yang dimaksud al-Qurba adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. [11]
Demikian pula Ahmad bin Hanbal menukilkan riwayat yang berbunyi, “Ketika ayat قل لاّ اسئلکم turun, sejumlah sahabat Nabi bertanya, ‘Wahai Rasulullah saw, siapakah keluarga yang dimaksudkan yang kami diperintahkan untuk mencintainya?’ Nabi saw menjawab; “Ali, Fatimah, dan dua putranya.” Dan perkataan ini diulang-ulangi Nabi sebanyak tiga kali. [12]
Sayid Syihabuddin Mar’asyi Najafi dalam kitab Syarah Ihqāq al-Haq, sekitar 50 orang dari ulama besar Ahlusunah yang ia sebutkan namanya meriwayatkan hadis-hadis mengenai ayat Mawaddah dengan sanad-sanad yang berbeda-beda dalam kitab-kitab mereka. [13] Demikian pula dalam kitab Ghāyat al-Marām, terdapat 17 riwayat dari Ahlusunah dan 22 riwayat dari Syiah yang menceritakan mengenai ayat ini. [14]
Kewajiban Mencintai Ahlulbait
Jika hadis dari Rasulullah saw yang memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk merujuk kepada Ahlulbait as sepeninggalnya dalam persoalan-persoalan agama khususnya berkenaan dengan Alquran, ushul, furu’ agama dan hakikat-hakikatnya seperti hadis Tsaqalain, hadis Safinah, dan yang lainnya terdapat dalam literatur Sunni dan Syiah, maka tidak ada keraguan sedikitpun bahwa perintah untuk mencintai Ahlulbait as menjadi wajib hukumnya. Karena dalam ayat disebutkan bahwa mencintai Ahlulbait as adalah upah atas perjuangan Nabi saw menyampaikan risalah Islam kepada umat maka perwujudan kecintaan tersebut adalah dengan mendukung, memberikan loyalitas dan menjadikan mereka pemimpin umat yang menjadi rujukan dalam segala hal. Jadi kecintaan yang dimaksudkan tidak hanya terbatas pada rasa suka atau sekedar menjalin keakraban dan persahabatan kepada Ahlulbait. Meskipun istilah yang digunakan adalah upah untuk Nabi saw, namun pada hakekatnya keuntungan dari pemberian upah tersebut adalah kembali kepada si pemberinya, bukan kepada Nabi saw ataupun Ahlulbait as. [15]
Catatan Kaki
1. Ibnu Mandzur, lihat klausul “ود”
2. Ibnu Manzhur, lihat klausul “قرب”
3. Ibnu Hajar ‘Asqalani, jld. 4, hlm. 434.
4. Syakri Alusi, 1405:25/30-32.
5. Thabarsi, 1425:9/48.
6. Thusi, jld. 9, hlm. 157; Thabarsi, jld. 9, hlm. 48.
7. Hilli, hlm. 175.
8. Kufi, hlm. 392.
9. Kulaini, jld. 1, hlm. 413.
10. Hakim Huskani, jld. 2, hlm. 213.
11. Hakim Haskani, jld. 2, hlm. 189-196.
12. Qurthubi, jld. 3, hlm. 2.
13. Husaini Mar’asyi Tustari, jld. 3, hlm. 2-18.
14. Bahrani, Thaqdim, jld. 3, hlm. 23-244.
15. Allamah Thabathabai, al-Mizān, jld. 18, hlm. 66.