Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Perkawinan (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Hukum-Hukum
Dalam kitab-kitab fikih praktis (Taudhih al-Masāil) dimuat banyak hukum-hukum fikih mengenai pernikahan. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut:

Dalam pandangan fukaha, nikah dengan sendirinya hukumnya adalah mustahab yang ditekankan, namun menjadi wajib bagi mereka yang jika tidak menikah akan jatuh pada kemaksiatan atau dosa.[13]


Dalam pernikahan baik permanen atau temporer, lafal akad harus dibaca, dan pernikahan tidak akan terealisasi dengan sekedar kerelaan wanita dan laki-laki.[14]
Wanita dan laki-laki bisa membaca lafal akad sendiri, dan juga bisa mewakilkan kepada orang lain untuk membacakan akadnya.[15]
Apabila wanita dan laki-laki punya kemampuan untuk membacakan lafal akad dengan bahasa Arab, maka akad itu harus dibaca dengan bahasa Arab.[16]
Wanita yang masih perawan (bākirah) ketika hendak menikah juga harus meminta izin kepada ayah atau kakek dari pihak ayah.[17]
Menikah dengan mahram seperti ibu, saudara perempuan dan ibu mertua adalah haram.[18]
Pernikahan permanen dan temporer wanita muslim dengan laki-laki non muslim tidak dibolehkan.[19]
Pernikahan temporer lelaki muslim dengan wanita non muslim yang ahlulkitab dibolehkan.[20]

Perbedaan-Perbedaan Nikah Permanen dan Nikah Temporer
Pernikahan permanen (dāim) dan temporer (muwaqqat) memiliki banyak kesamaan-kesamaan hukum, di antaranya, wajib membaca lafal akad pada kedua-duanya. Dua pernikahan ini juga memikili beberapa perbedaan sebagai berikut:

Dalam nikah permanen, suami wajib memberikan nafkah istri. Namun, dalam nikah temporer tidak wajib demikian.
Dalam nikah permanen, istri tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami. Namun dalam nikah temporer, izin suami tidak wajib.
Dalam nikah permanen, istri dan suami saling mewarisi. Sedangkan dalam nikah temporer, suami-istri tidak saling mewarisi.[21]
Jika dalam lafal akad nikah temporer tidak disebutkan mahar, maka akad menjadi batal. Namun, dalam nikah permanen akad tetap sah, dan jika terjadi hubungan badan, maka istri berhak mendapatkan mahar yang pantas (mahrul mitsl).[22]

Tolok Ukur dalam Memilih Calon Pasangan Menurut Riwayat
Dalam sebagian riwayat dijelaskan beberapa tolok ukur dan standar dalam perkawinan terutama dalam memilih calon pasangan. Berdasarkan satu riwayat, Nabi Muhammad saw menyarankan seseorang untuk menikah dengan orang-orang yang memiliki pengamalan agama yang baik.[23] Dalam kitab Makārim al-Akhlāq dikupas sebuah riwayat dari Imam Shadiq as bahwa, “Kawinlah kalian dengan keluarga yang baik, sebab karakteristik-karakteristik keluarga akan berpindah kepada anak keturunan.”[24]Dinukil juga dari Imam Ridha as bahwa, “Hindarilah menikah dengan orang yang buruk akhlaknya.”[25]

Faktor-Faktor Putusnya Pernikahan
Faktor-faktor putusnya pernikahan menurut pandangan fukaha adalah: penggantian kelamin,[26]kematian, kemurtadan, talak, pelaknatan (li’ān) dan hal-hal yang dapat menggugurkan (faskh) pernikahan.[27] Setelah tali pernikahan putus maka istri harus menjalani masa iddah (masa tertentu dimana istri tidak berhak menikah).[28]

Faktor-Faktor Penghalang Pernikahan
Dalam fikih Islam, dengan adanya faktor penghalang pernikahan dengan sebagian perempuan hukumnya haram.

Penghalang sementara adalah kondisi-kondisi yang membuat pernikahan laki-laki dan perempuan menjadi haram sementara yang dengan hilangnya kondisi tersebut, maka keharamannya juga akan hilang.[29] Seperti:

Memenuhi batas maksimal beristri: Yaitu laki-laki merdeka (bukan budak) yang berada dalam ikatan pernikahan dengan akad permanen dengan empat perempuan merdeka, maka dia tidak dapat melangsungkan pernikahan dengan perempuan merdeka kelima dengan akad permanen.[30] Atau dengan memiliki ikatan pernikahan dengan dua perempuan budak dengan akad permanen tidak bisa melangsungkan pernikahan dengan perempuan budak yang ketiga dengan akad yang sama.[31]
Mengumpulkan dua saudara perempuan: Menikah dengan dua saudara perempuan pada waktu yang bersamaan hukumnya haram, namun jika seorang laki-laki istrinya meninggal dunia dan atau dengan melalui perceraian keduanya berpisah, maka ia bisa menikah dengan saudara perempuan istri sebelumnya.[32]
Kekafiran dan kemurtadan: Pernikahan permanen atau temporer perempuan Muslim dengan laki-laki kafir harbi atau ahli kitab dan demikian juga jika murtad, maka hukumnya haram.[33] Demikian pula laki-laki muslim tidak diperbolehkan untuk menikah dengan perempuan kafir dari kalangan bukan ahli kitab dan murtad.[34]
Penghalang permanen: Yaitu Faktor-faktor penyebab dan penghalang yang dengan keberadaannya menyebabkan laki-laki dan perempuan selamanya tidak boleh melangsungkan pernikahan.[35] Dalam fikih Islam, zina muhshanah (perzinahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang memiliki pasangan nikah masing-masing),[36] li’an,[37] ifdha,[38] qadzf,[39] menikahi perempuan yang masih dalam masa iddah,[40] liwath dengan anak laki-laki atau ayah dan saudara laki-laki perempuan,[41] menceraikan istri setelah melewati kesembilan kalinya[42] dan akad pernikahan pada masa ihram, menjadi penyebab pernikahan menjadi haram selamanya. [43]
Catatan Kaki
1. Muassasah Daerah al-Ma’ārif Fiqhe Islami, Farhangge Fiqh, jld. 1, hlm. 390
2. Subhani, Izdiwāje Muwaqqat dar Kitab va Sunnat, hlm. 125, 126
3. Subhani, Izdiwāje Muwaqqat dar Kitab va Sunnat, hlm. 63
4. Husaini, Ahkāme Izdiwāj, hlm. 121
5. Surah Ar-Rum: 21
6. Surah An-Nur: 32; Husaini, Ahkāme Izdiwāj, hlm. 39-40
7. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 327, Bab Orang yang Mendapatkan Istri Shalehah
8. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 327, Bab Orang Yang Mendapatkan Istri Shalehah
9. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 329,Bab Kemakruhan Membujang
10. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 329, Bab Kemakruhan Membujang
11. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 330-331, Bab Nikah Menambah Rezki
12. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 329, Bab Kemakruhan Membujang
13. Husaini, Ahkam Izdewaj, hlm. 39-40
14. Imam Khomaini, Taudhih al-Masāil (muhassya), jld. 2, hlm. 450
15. Imam Khomaini, Taudhih al-Masāil (muhasysya), jld. 2, hlm. 450
16. Imam Khomaini, Taudhih al-Masāil (muhasysya), jld. 2, hlm. 453
17. Imam Khoamini, Taudhih al-Masāil (muhasysya), jld. 2, hlm. 458
18. Imam Khomaini, Taudhih al-Masāil (muhasysya), jld. 2, hlm. 464
19. Imam Khoamaini, Taudhih al-Masāil (muhasysya), jld. 2, hlm. 468
20. Imam Khomaini, Taudhih al-Masāil (muhasysya), jld. 2, hlm. 468
21. Husaini, Ahkāmi Izdiwāj, hlm. 120-121
22. Akbari, Ahkāme Khanevadeh, hlm. 26
23. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 332
24. Thabrisi, Makārim al-Akhlāq, hlm. 203
25. Kulaini, al-Kāfi, jld. 5, hlm. 563
26. Imam Khomaini, Tahrir al-Wasilah, hlm. 992-993