Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

IDEOLOGI KEGELAPAN

0 Pendapat 00.0 / 5

Karena sadar bahwa kedengkian adalah kontra logika dan etika bahkan abnormalitas yang tentu tak berkelas, sebagian pengidapnya tak sudi dianggap dan dikenali sebagai pendengki melalui sikap, pernyataan dan perilaku sebagai indikator konkret.

Pendengki yang cerdas menyimpan dengki dan merawatnya dengan telaten seraya mencari celah dan dalih yang bisa dijadikan perisai saat tak mampu menahan luapan dengki yang membuncah.

Ketika sebuah isu kasus personal dijustifikasi dengan hoax yang dikesankan ilmiah dan disertai amplifikasi stereotiping serta framing hujatan dengan sasaran satu komunitas tanpa pilih dan pilah mampu membius publik awam moral dan intelektual,  kedengkian yang sejatinya tak memerlukan argumen rasional dan basis moral itu pun tak lagi tampak sebagai immoralitas bahkan dianggap sebagai sikap ksatria. Nah, pada momen inilah para pendengki cerdas tak lagi canggung untuk berpartisipasi dalam gerakan genosida narasi. Sambil membawa-bawa jargon sakral, para penumpang gerbong terakhir kereta kedengkian berharap aman dari tuduhan kedengkian.

Pihak terdengki tak mesti orang menampakkan dan menyombongkan diri dengan itu. Sebagian dari mangsa kedengkian tak merasa punya keistimewaan, bahkan menganggapnya sebagai beban, malah sebagian dari terdengki berulang kali memberikan pernyataan tegas dan rasional secara terbuka tentang itu. Tapi pendengki tak merasa perlu tunduk kepada logika yang menganjurkan pemilahan dan tak patuh kepada etika yang menganjurkan kewaspadaan. Meski tahu ada ketidakadilan nyata yang menghancurkan kehidupan orang-orang tak bersalah, pendengki malah berpartisipasi dalam stereotiping dalam skala luas tanpa batas.

Dari perspektif psikologi, kedengkian sering kali dipahami sebagai perasaan tidak puas atau perasaan kurangnya keberhasilan yang melibatkan perbandingan dengan orang lain. Orang yang mengalami kedengkian cenderung merasa tidak nyaman dengan keberhasilan atau kebahagiaan orang lain dan mungkin merasa rendah diri atau marah. Kedengkian dapat menjadi masalah psikologis yang serius jika tidak dikelola dengan baik. ("Envy Up, Scorn Down: How Status Divides Us" oleh Susan T. Fiske dan "The Anatomy of Envy: A Study in Symbolic Behavior" oleh Harold F. Searles).

Dari perspektif sosiologi, kedengkian bisa dimaknai sebagai gejala sosial yang mempengaruhi hubungan antar individu dan struktur masyarakat secara lebih luas. Kedengkian dapat menciptakan ketidakharmonisan dan ketegangan di antara anggota masyarakat, terutama jika tidak diatasi dengan bijaksana. Fenomena kedengkian juga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengendalikan atau memanipulasi opini publik sesuai dengan kepentingan mereka. ("The Social Psychology of Envy"  oleh Richard H. Smith).

Konten-konten negatif penyebar fitnah dan kebencian tak menambah jumlah pembenci dan pendengkii. Narasi-narasi keji itu  hanya mengkonsolidasi para pendengkii dan membuat mereka berani mengekspresikan kedengkian yang sudah lama dirawat.

Kedengkian adalah isu patologi moral dan mental yang tak dibatasi oleh doktrin dan brand formal agama dan mazhab, karena logika dan knowledge atau strata pendidikan formal tak mampu menghapusnya tanpa basirah dan gnosisme. Kedengkian adalah visi universal obskurantisme, the ideology of darkness.