TRAGEDI KARBALA DALAM KONTEKS KINI DAN SINI
Kita memang tak habis pikir, kecewa dan kesal ketika sebagian besar umat Nabi tak tahu, tak ingat atau tak peduli Asyura dan tragedi Karbala bahkan sebagian figur yang mengaku atau dikenal sebagai ulama bahkan mengklaim terhubung secara genealogis dengan Al-Husain mencemooh peringatannya. Tapi yang lebih penting dari itu adalah mensyukuri karunia akal sehat dan hati bugar yang mendorong kita untuk memperingatiinya, mengambil hikmah-hikmah spirtual dan rasional darinya serta memperbarui ikrar kepatuhan ritual dan non rifual sebagai pemilih Jalan Kesucian.
Asyura mesti membuat para pengingatnya makin tangguh, rendah hati, lapang dada, tak mudah tersinggung, tak menanti apresiasi dalam interaksi sesama, tak membesarkan hal-hal kecil, melek prioritas dan rajin evaluasi.
Esensi dari peringatan Asyura bukan kehadiran dalam peringatan dan ekspresi duka semata tapi mengikuti paradigma yang demi itu Al-Husain menjual murah tubuhnya serta mewartakan (bila merasa kompeten) ajaran-ajaran suci Nabi SAW melalui jejejiwa suci yang direkomendasikannya sebagai referensi otoritatif.
Saat mengucapkan "adakah orang yang mau menolongku?!", Al-Husain tentu tak bermaksud meminta bantuan agar tetap hidup bernapas karena dia telah menegaskan "aku memandang kematian sebagai kebahagiaan saat dipaksa hidup di bawah kezaliman". Jelas, dia tidak sedang meminta bantuan personal demi menghindarkannya dari prestasi syahadah. Dia meminta kita semua untuk mengambil peran penuh risiko dalam mengikuti ajaran suci kakek dan ayahnya sebagai individu dan komunitas serta menentang kezaliman dan kepalsuan dalam segala dimensinya.