Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Memahami Al-Qur'an; Dari Makrifat Zhanni Hingga Makrifat Yakini

0 Pendapat 00.0 / 5


Oleh: Dr. Mohammad Kazem Shaker
Allah Swt selain menciptakan manusia, juga memberikan kemampuan berekspresi kepadanya sehingga ia mampu mewujudkan proses pemahaman dengan merangkai kata-kata dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian melalui sarana komunikasi itu, Sang Pencipta memberi pemahaman kepada manusia tentang seluruh realita dan memintanya untuk merenungkan ayat-ayat penciptaan, baik yang ada di jagad raya ataupun dalam dirinya. Dengan bersandar pada pemikiran yang kuat dan pengetahuan pasti, manusia melangkah dengan penuh keyakinan menuju tujuan-tujuan yang luhur.

Terminal pemikiran dalam seluruh variasi ayat al-Quran adalah ilmu pengetahuan, keyakinan dan kepastian. Oleh karena itu, al-Quran menekankan pada perolehan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat yakin (makrifat yakini) dan menghindari pengetahuan atas dasar prasangka dan keraguan (makrifat zhanni). Sayangnya, kini kita menyaksikan pemaparan beberapa kajian yang berujung pada masuknya keraguan dan relativitas dalam esensi seluruh kerangka pengetahuan agama.

Pertanyaannya adalah sejauh mana pemahaman kita terhadap teks-teks agama, khususnya al-Quran, dapat dipercaya dan diyakini? Dengan kata lain, apakah pemahaman kita atas teks-teks agama mencapai derajat yakin, atau semuanya dibarengi bentuk keraguan dan prasangka?

Makalah ini pada awalnya akan mempresentasikan tiga derajat pemahaman - yaitu, keyakinan, prasangka dan keraguan, kemudian akan mengevaluasi berbagai metode memperoleh pengetahuan dari al-Quran menurut tingkat pemahaman.


Derajat Pemahaman
Kitab suci al-Quran dalam berbagai ayatnya, menggunakan kata-kata seperti, keyakinan (yakin), prasangka (zhan), dan keraguan (syak). Kata-kata ini merupakan gambaran atas pemahaman manusia terhadap beragam peristiwa dan masalah. Kitab suci ini juga menekankan makrifat yang bersifat yakin dan melarang manusia untuk bersandar pada pemahaman yang bercampur keraguan dan prasangka.

Derajat pemahaman mulai dari tahap keraguan hingga keyakinan, tidak terbatas pada pemahaman-pemahaman internal atau tema-tema eksternal, tapi juga mencakup pemahaman teks. Untuk membedakan antara makrifat yakini atau selainnya yang kita peroleh dari al-Quran, kita perlu menetapkan kriteria masing-masing jenis makrifat tersebut. Karena itu, sebelum melangkah maju ke depan, kita perlu menjelaskan secara singkat konsep "keyakinan", "keraguan" dan "prasangka" serta kriteria masing-masing.


1. Makrifat Yakini (pengetahuan yang bersifat pasti dan yakin)
Pakar bahasa mendefinisikan kata “yakin” dalam tiga arti. Makna-makna tersebut adalah, sebuah pengetahuan yang diperoleh melalui argumentasi dan dalil, ketenangan dan kelegaan jiwa sebagai hasil dari pemahaman, dan hilangnya keraguan.

Makna ketiga merupakan sebuah definisi privatif; artinya kata yakin didefinisikan dengan kepastian sebagai antonim dari keraguan. Dari definisi pertama dan kedua juga dapat dipahami bahwa yakin dibahas dalam dua ranah; pertama, bidang epistemologi dan kedua bidang psikologi. Yakin dalam bidang epistemologi adalah sebuah tingkatan makrifat yang dibangun atas dasar kepastian dan itu lebih umum dari hal-hal yang bisa diindera dan dinalar.

Dalam bidang psikologi, yakin termasuk sifat-sifat kejiwaan dan dirasakan oleh jiwa manusia. Yakin jenis ini sendiri ada dua; 1). Selain tidak bergantung kepada epistemologi, tapi mungkin juga mengandalkan ilusi dan imajinasi. 2). Memiliki landasan yang kuat dan rasional (yakin epistemologi).

Imam Khomeini ra dalam sebuah ulasan tentang beragam kelompok orang beriman, menulis: “Derajat iman dalam hati dengan pemahaman rasional adalah dua hal yang jauh berbeda. Banyak hal yang sudah dipahami oleh manusia melalui logika dan argumentasi, namun belum sampai pada derajat iman dalam hati dan keyakinan. Hati dan akalnya tidak berbarengan dalam masalah ini.”

Apa yang dibahas dalam bidang akidah, adalah manusia harus memiliki keyakinan epistemologi terhadap prinsip-prinsip agama. Karena bila yakin psikologi, jika termasuk bagian pertama, maka ia tidak bertumpu pada ilmu, sementara jika jenis kedua, ini juga tidak mudah diperoleh oleh manusia, tapi perlu kontemplasi, ibadah, dan latihan.


2. Makrifat Zhanni (tidak pasti, relatif)
Dalam beberapa ayat al-Quran, makrifat zhanni dianggap hal yang keliru dan tidak bisa diandalkan. Dalam ayat-ayat itu, prasangka kadang dikategorikan antonim dari ilmu dan kadang antonim dari yakin. Seperti firman Allah Swt dalam surat An-Najm ayat 28, atau surat Jasiyah ayat 32.

Banyak pakar bahasa menilai zhan (prasangka) sebagai sinonim syak (keraguan). Namun Raghib Isfahani punya definisi lain terhadap kata itu dan lebih tepat dengan pemakaian dalam ayat-ayat al-Quran. Dia menulis: “Apa yang diperoleh melalui bukti (tanda), maka disebut zhan. Jika bukti itu lebih kuat, maka ia lebih dekat kepada ilmu dan jika lebih lemah, maka ia tidak akan lebih dari ilusi.”

Penilaian negatif al-Quran terhadap zhan dikarenakan tidak tampaknya tanda-tanda. Untuk memperjelas pembahasan ini, kami akan memaparkan sebuah contoh sederhana: “Misalkan saja Anda memberi salam kepada seseorang dan ia tidak menjawabnya. Dalam kasus ini, jika Anda mengatakan bahwa ia adalah orang yang sombong, pengetahuan Anda terhadap kesombongan orang tersebut adalah zhan. Sebab, kesombongan merupakan sebuah sifat internal dan Anda tidak dapat memahaminya secara langsung, tapi hanya melalui sebuah tanda (tidak menjawab salam). Padahal tanda itu tidak sama dengan kesombongan, mungkin saja karena dia lagi banyak pikiran, jadi tidak mendengar salam Anda.”

Kebanyakan sifat-sifat yang kita sematkan kepada seseorang –- seperti kekikiran, kedengkian dan iri hati — adalah jenis sifat internal, yang kita nilai melalui perbuatan-perbuatan lahiriyah. Ini semua adalah prasangka.


3. Makrifat yang bercampur dengan keraguan
Semua pakar riset bahasa menilai keraguan sebagai antonim dari keyakinan. Dengan kata lain, segala bentuk pemahaman yang tidak mencapai titik kepastian dan epistemologi, dikategorikan makrifat yang bercampur keraguan.


Metode Memahami Teks; Zhanni atau Yakini
Allah Swt melalui bahasa, baik lisan atau tulisan, telah membuka pintu selebar-lebarnya untuk manusia. Mereka dapat mentransfer apa yang ada dalam pikiran dan benaknya kepada orang lain melalui bahasa. Pentingnya bahasa dalam pertumbuhan pendidikan manusia sangat fantastis bahkan dapat dikatakan peradaban manusia adalah hasil dari bahasa. Allah Swt menganugerahkan kemampuan kepada manusia untuk menciptakan nama-nama dan kemudian berkomunikasi melalui bahasa lisan dan tulisan. Dengan bahasa, manusia dapat menjelaskan apa yang ia lihat dan rasakan kepada orang lain.

Proses peletakan dan aplikasi kata-kata bagi objek materi dilakukan dengan sederhana dan pakar bahasa juga tidak menemukan kesulitan dalam memahami dan memberi pemahaman kepada orang lain. Namun dalam objek non-materi, yang memiliki aspek dan dimensi, tidak mudah melahirkan sebuah pemahaman. Karena, lingkaran arti kata-kata mengalami fluktuasi, perluasan dan penyempitan.

Di sisi lain, pendekatan manusia kepada bidang estetika telah memperkaya bahasa dengan nilai sastra, kelembutan dan kedalaman makna. Dampak kedua fenomena tersebut lahirnya sinonisme dalam bahasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sinonim dalam bahasa terutama dalam sastra, adalah hal yang tidak dapat dihindari.

Poin lain yang perlu dicatat adalah, bahasa bukan sebuah masalah personal, tapi merupakan sebuah alat komunikasi. Oleh karena itu, komunikasi akan terjadi dengan kehadiran dua orang atau lebih. Setiap komunitas mungkin saja punya kesamaan dalam masalah-masalah tertentu dan perbedaan dengan kelompok lain. Untuk itu, selain ada bahasa masyarakat awam, juga ada bahasa komunitas-komunitas terbatas.

Dengan penjelasan ini, kini Anda dapat membayangkan bahwa Allah Swt berkomunikasi dengan manusia melalui bahasa tersebut. Sementara kebanyakan makna dan tema-tema yang ingin dipahamkan Tuhan kepada manusia, tidak punya contoh yang persis di tengah temuan-temuan manusia. Karena itu, kesamaan dan kemiripan semakin menjamur dalam teks-teks agama dan dampaknya, pikiran manusia dirasuki oleh keraguan, prasangka dan kemungkinan.

Meski demikian, dalam al-Quran ada sistem yang mencegah terjadinya kesalahpahaman akibat kemiripan, yaitu keberadaan ayat-ayat yang jelas dan tegas di samping ayat-ayat yang samar dan mengandung multi penafsiran. Berlalunya waktu dan kaburnya tanda-tanda, mungkin saja akan melahirkan keraguan seputar maksud ayat-ayat al-Quran. Tentu saja, jangan berharap dapat mencapai pemahaman pasti dan mendetail terhadap maksud Sang Pencipta. Ayat-ayat al-Quran dan referensi untuk memahaminya tidak berada pada satu tingkatan dari segi kejelasan dan kepastian.

Tidak diragukan lagi, kata dan kalimat sebuah teks tidak memiliki kualitas yang sama dalam menyampaikan maksud pembicara. Para pakar ilmu yurisprudensi memaparkan berbagai kategori dalam menjelaskan klasifikasi kata dari segi kejelasan dan kesamaran. Kita dapat mengatakan bahwa kata dan kalimat-kalimat al-Quran dalam menjelaskan maksud Tuhan, dapat dibagi menjadi dua kategori umum; pertama, kata-kata yang memiliki petunjuk yang jelas atas maksud Allah Swt, dan kedua, kata-kata yang tidak punya petunjuk yang jelas dan atau petunjuknya tidak jelas dalam menyingkap maksud Tuhan.


Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam berasal dari kata Ihkam yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Sedangkan secara terminology, muhkamat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, serta dapat dipahami dengan mudah dan tidak memerlukan keterangan dari ayat lain. Ayat-ayat muhkamat menunjukkan maksud asli Allah Swt dan sangat jelas. Ayat-ayat yang termasuk golongan ini berhubungan dengan prinsip dan kaidah-kaidah agama, prinsip-prinsip umum moral dan keutamaan manusia serta sesuai dengan fitrah.

Kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Sedangkan secara terminology, mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya atau maknanya yang tersembunyi dan memerlukan keterangan tertentu atau Allah Swt yang mengetahui makdunya. Dengan kata lain, ayat mutastabih adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali setelah dikaji secara mendalam.

Dalam menafsirkan ayat-ayat mutsyabih, terdapat beberapa teori dan yang paling penting antara lain:

1. Ayat-ayat yang tidak dapat dipahami maksudnya oleh manusia. Maksud Allah Swt tidak dapat diketahui secara detail. Mayoritas ulama Ahlu Sunnah berpendapat bahwa segala bentuk penafsiran tentang ayat-ayat tersebut tidak lepas dari keraguan dan prasangka.

2. Ayat mutasyabih ditafsirkan dengan merujuk kepada ayat-ayat muhkam. Allamah Thabathabai termasuk mufassir yang mengusung pendapat ini. Dia menulis, “Sebagian ayat al-Quran sedemikian rupa menafsirkan sebagian ayat yang lain. Berdasarkan penjelasan ini, ayat-ayat mutasyabih juga harus punya penafsiran dan ini tidak lain kecuali ayat-ayat muhkam.”

3. Ayat mutasyabih harus dikembalikan ke ayat-ayat muhkamat, namun tidak dapat ditafsirkan dengan muhkamat. Penulis tafsir Manahij al-Bayan berpendapat bahwa ayat-ayat muhkam mendominasi ayat-ayat mutasyabih dan dengan mengembalikan mutasyabihat kepada muhkamat, hanya dapat disimpulkan secara pasti bahwa yang dimaksud bukan petunjuk-petunjuk lahiriyah ayat mutasyabih, dan kita tidak mampu menetapkan maksud ayat jenis ini.

Syeikh Thusi dalam mukaddimah tafsir al-Bayan menulis, “Jika sebuah ayat tidak menunjukkan dengan jelas maksud Tuhan, maka dalam menafsirkannya, tidak dibenarkan melibatkan pendapat pribadi. Dan juga tidak diperbolehkan berpedoman kepada satu riwayat dalam memahami dan menafsirkan ayat, terutama penafsiran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip agama.”


Kesimpulan
1. Apa yang diperoleh manusia melalui ilmu pengetahuan tidak terlepas dari tiga kategori, yakin, prasangka, dan keraguan. Yakin adalah pengetahuan yang pasti. Prasangka ialah pengetahuan yang diperoleh melalui bukti-bukti non-spesifik (umum). Dan keraguan menunjukkan tidak adanya kepastian secara mutlak, baik itu keraguan yang bersandar pada bukti-bukti atau hanya sebuah kemungkinan.

2. Keyakinan dan keraguan terealisasi dalam dua bidang: bidang psikologi dan bidang epistemologi. Dan jangan mencampuradukkan keduanya.

3. Sinonim dalam kata dan kalimat termasuk karekteristik bahasa, terlebih bahasa dihiasi oleh nilai-nilai sastra. Karena adanya ketidaksesuaian penuh antara kebenaran yang disampaikan dalam wahyu dengan daya tangkap manusia biasa, telah memperparah munculnya fenomena kesamaran dalam teks-teks agama.

4. Kaidah mengembalikan ayat-ayat mutasyabih kepada muhkamat, merupakan sebuah kaidah inovatif untuk mengubah pemahaman-pemahaman yang bercampur dengan keraguan dan prasangka kepada pengetahuan yakin.