Syiah, al-Qur'an dan Imamah
Doktrin kepemimpinan dan dunia Syiah dan Sunni menjadi isu yang hangat didiskusikan. Sebagian dari dua kelompok memasukan objek bahasan ini ke dalam pembahasan furu’ yang tidak punya konsekwensi dogmatis. Sebagian lagi memasukan ini ke dalam wilayah yang lebih tegas, ke dalam pembahasan akidah yang merupakan red line mazhabnya.
Menariknya kemudian, sejalan dengan perkembangan istilah kepemimpinan dalam setiap mazhab-mazhab yang ada, istilah Imamah kemudian identik dengan kelompok Syi’ah dan Khilafah menjadi istilah yang kental dengan Sunni. Selain itu, perbedaan-perbedaan mendasar juga muncul. Sunni beranggapan bahwa kepemimpinan adalah aktifitas manusia yang sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam untuk menentukannya, sementara Syi’ah bertahan pada keyakinan holistic bahwa kepemimpinan adalah hak proregatif Allah yang murni lepas dari campur tangan manusia dan sebagainya.
Tulisan ini mencoba mengulas tafsir tematik tentang kepemimpinan menurut Syi’ah dalam nash al-qur’an dalam frame pandangan Syi’ah.
Ayat "akmaltu lakum"
Ayat al-Qur’an yang berbunyi: Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah takut kepada mereka, takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu[1]
Pada bagian dari ayat di atas diawali dengan “pada hari ini” yang bisa berarti “sekarang ini” atau “hari yang sudah disebutkan sebelumnya”. Allah SWT berfirman bahwa pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa untuk menghancurkan agamamu, karena mereka merasa tidak akan berhasil, maka kaum kafir memutuskan menghentikan permusuhan mereka terhadap Islam. Jadi janganlah takut kepada mereka. Kalimat selanjutnya sangat penting, tetapi takutlah kepada-Ku, Allah bermaksud mengatakan “orang0orang kafir tidak akan mampu menghancurkan agamamu, dan bila itu mereka lakukan, mereka akan Aku hancurkan”. Ayat selanjutnya pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu…. Dalam bagian ini, digunakan dua kata: Disempurnakan dan dicukupkan. Kedua kata ini kira-kira artinya sama, meski ada bedanya juga.
Menyempurnakan dan Mencukupkan
Sesuatu, selama bagian finalnya belum ada, maka sesuatu itu tidak lengkap. Kalau bagian finalnya sudah ada, berarti sesuatu itu telah lengkap. Sebuah mobil, meskipun bagian-bagiannya telah lengkap, tapi selama masih belum bisa digunakan, masa ia tidak disebut sempurna. Sesuatu tidak bisa disebut sempurna meskipun seluruh bagiaannya sudah lengkap kalau pembentuknya belum sampai pada puncaknya.
Al-Qur’an mengatakan, “pada hari ini telah kesempurnakan bagimu agamamu…” dengan kata lain, sekarang Islam yang telah diinginkan Allah SWT. Maksudnya bukanlah bahwa Islam tetap seperti sebelumnya, namun Allah SWT telah mengubah pandangan-Nya tentangnya. Maksudnya, bahwa sekarang Islam, agama pilihan Allah telah sampai pada tahap lengkap dan sempurna. Begitulah maksud ayat tersebut. Hari apa yag dimaksud ”pada hari ini”. Hari apa yang menurut al-Qur’an agama kaum muslimin disempurnakandan nikmat Allah dicukupkan?
Mengherankan bahwa ayat sebelum dan sesudahnya tidak menunjukkan apa yang dimaksud dengan “pada hari ini”. Konteksnya tidak memberikan indikasi verbal. Dalam ayat-ayat sebelumnya tidak disebut-sebut peristiwa penting yang berkenaan dengan pada hari ini. Norma hukum berkenaan dengan daging binatang tertentu, daging bangkai, darah dan daging babi disebut-sebut dalam ayat-ayat yang mendahului ayat ini. Kemudian tiba-tiba al-Qur’an mengatakan ayat hari ini telah kesempurnakan….(sampai akhir ayat 3) lalu al-Qur’an sekali lagi berpaling ke tema sebelumnya dan mengatakan; “Namun barang siapa terpaksa makan daging yang diharamkan, bukan karena kehendak untuk berbiat dosa, maka Allah SWT maha pegampun lagi lagi maha pengasih.” Ayat-ayat ini posisinya demikian, sehingga kalau ayat yang menyelangi ditiadakan, maka ayat-ayat lainnya tidak kehilangan konsistensi dan pokok bahasannya tidak terganggu.
Maksud ”Pada Hari Ini”
Para mufasir baik Syi’ah maupun Sunni telah berusaha memberikan penjelasan maksud dari kalimat pada hari ini. Ada dua cara untuk menginterpretasi maksud kalimat di atas. Pertama, mengetahui arti dari konteksnya, dan cara kedua yaitu merujuk ke sejara da hadits untuk mengetahui kapan ayat ini turun. Mereka yang menggunakan cara pertama, tidak perhatian terhadap apa yang dikatakan sejarah dan sunnah tentang latar belakang ayat ini. Mereka hanya melihat kepada substansi ayatnya dan mengklaim bahwa ayat itu berkaitan dengan hari ketika Nabi saw diangkat menjadi Rasul. Menurut mereka, “pada hari ini” maksudnya adalah hari itu, bukan pada hari ini.
Semua mufasir al-Qur’an sefakat bahwa Surah ini diturnkan di Madinah, dibanding dengan surah an-Nasr, turunkan bahwa lebih belakangan. Memang satu atau dua ayat yang ada di surah-surah lain turunnya sesudah itu, namun tidak dalam bentuk surah yang lengkap. Jadi surah al-Maidah adalah sura yang terakhir diturunkan.
Beberapa pandangan tentang makna “Pada hari ini” di kemukakan oleh para mufasir, antara lain:
a. Hari Pengangkatan Rasul
Telah disebutkan bahwa menurut sebagian orang, yang dimaksud dengan pada hari ini, bukan sesuai dengan arti lafzdinya. Pertanyaannya adalah bagaimana indikasinya? Mereka mengatakan bahwa karena pada hari ini telah digambarkan sebagai hari ketika Allah SWT. Memilih Islam sebagai agama bagi umat manusia. Tentu saja kalimat di atas maksudnya hari ketika Islam datang. Argument ini didasarkan pada kata-kata “Aku pilih Islam sebagai agamamu”. Argumen ini tentu saja benar seandainya kata-kata ini tidak didahului dengan kalimat yang mengatakan, pada hari ini telah kesempurnakan agamamu dan telah aku lengkapkan lengkapkan nikma-ku untukmu. Hari ketika Islam datang adalah permulaan kalimat Allah, bukan dari kesempurnaannya. Karena itu pada hari ini tidak mungkin hari ketika Nabi Muhammad saw diangkat menjadi nabi.[2]
b. Hari Penaklukan Mekah
Kemungkinan lainnya adalah bahwa “pada hari ini” adalah hari penaklukan Mekah. Ini juga hanya sekedar anggapan karena tidak ada bukti yang memperkuatnya. Ada argument yang menyebutkan bahwa ada hari lain yang sangat penting dalam sejarah Islam, yaitu ketika Mekah ditaklukkan, Karena pada hari itu turun ayat-ayat ini:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yagn telah lalu dan yang akan darang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpinmu ke jalan yang lurus”[3]
Tidak diragukan lagi bahwa “hari ini” sangat penting. Di jazirah Arab, secara spiritual, posisi Mekah unik. Sejak serangan terhadap Ka’bah oleh pasukan gajah dan kekalahan pasukan itu dengan cara yang istimewa, semua orang sangat menghormati Ka’bah. Mereka memandang Ka’bah sebagai tempat ibadah yang sangat suci. Sejak peristiwa tersebut kaum Quraisy merasa sangat bangga diri. Mereka mengatakan bahwa Ka’bah sedemikian sangat suci sehingga tentara hebat yang menyerang Ka’bah mendapat kehancuran yang datang dari langit dan seluruhnya binasa. Kaum Quraisy percaya bahwa peristiwa itu memperlihatkan arti penting mereka. Peristiwa itu membawa pengarus psikologis yang kuat pada orang-orang Arab lainnya, yang mulai menghormati dan mulai mematuhi kaum Quraisy.
Sejak saat itu orang-orang Arab mulai percaya bahwa kaum Quraisy tidak mungkin terkalahkan, dan bahwa Ka’bah tidak mungkin dapat diserang. Namun tidak seperti yang mereka perkirakan, Nabi Muhammad saw berhasil menaklukan Mekah dengan mudah dan tanpa adanya pertumpahan darah. Selama penaklukan itu, tidak sedikitpun yang terluka. Barangkali inilah mungkin yang diinginkan oleh Nabi saw, disamping mempertimbangkan kesucian Mekah, ketika nabi mengambil sikap menghindari perang ketika menaklukkannya. Inilah alasan kenapa dari sudut pandang psikologis penaklukan Mekah memili pengaruh luar biasa terhadap masyarakat Arab. Mereka sangat terkesan bahwa ternyata Nabi mampu melaklukan Mekah tanpa menimbulkan kerugian pada pihak manapun. Konsekwensinya, penduduk lain jazirah Arab juga melakukan penyerahan diri. Merekapun datang ke Madinah dalam jumlah besar untuk memeluk Islam. Al-Qur’an mengatakan “tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan sebelum sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan hartanya dan berperang sesudah itu.”[4]
Karena sebelum penaklukan Mekah kaum Muslim berjumlah sedikit, maka kalau mereka berbuat kebajikan, itu karena iman yang kuat. Namun setelah penaklukan, situasi menjadi lain, orang berbondong-bondong masuk Islam. Namum Islamnya mereka tak sama nilainya dengan Islamnya orang-orang yang memeluk Islam sebelum penaklukan. Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa penaklukan Mekah merupakan kemenangan besar Islam. Fakta ini juga tidak dapat dibantah.
Seperti yang talah dikatakan, sebagian orang beranggapan bahwa hari yang dipandang penting oleh Islam adalah hari penaklukan. Kelompok ini mengutip ayat yang berbunyi: Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah takut kepada mereka, takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.”
Namun sebagaimana yang telah lalu, tidak ada satupun dalam teks atau catatan sejarah yang membuktikan dan memperkuat pendapat bahwa ayat ini berkenaan dengan penaklukan Mekah. Selain itu sebagian dari ayat ini tidak mendukung argumen-argumen di atas. Kata-kata telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-nikmat-Ku menunjukkan pada saat itu segala sesuatu tentang agama telah difirmankan, agama telah diwahyukan, dan tidak ada yang belum difirmankan. Namun kita tahu pasti bahwa banyak petunjuk, perintah atau ajaran agama justru turun setelah penaklukan Mekah. Posisi ini tidak sesuai dengan kata-kata Telah Kucukupkan bagimu nikmat-nikmat-Ku.
Kalau orang mengatakan telah lengkap bangunan gedung, maka dia tidak merujuk ke sebuah bangunan yang masih belum lengkap. Banyak ayat al-Qur’an –termasuk ayat-auat surah al-Maidah, sebuah surah yang panjang berisi benyak aturan hukum- yang turun setelah penaklukan Mekah. Mana mungkin ayat ini, yang merupakan satu bagian dari surah al-Maidah, berkenaan dengan penaklukan Mekah yang terjadi pada tahun ke delapan hijrah, padahal Surah ini turun menjelang akhir tahun kesepuluh. Sekalipun dikatakan bahwa ayat ini turun ketika penaklukan Mekah, namun kesempurnaan nikmat Allah SWT tetap saja tidak sesuai dengan peristiwa ini.
Penjelasan Syi’ah
Ada pandangan lain yang dikemukan mazhab Syi’ah yang didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an serta sejarah.
1. Kalau masalah ini dilihat dari sudut pandang sejarah, maka dapat ditemukan banyak bukti yang memperkuat penjelasan mereka. Kebanyak buku yang ditulis tentang persoalan ini mengemukan bawha sejarah dan hadis sepakat, bahwa ayat al-qur’an “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah takut kepada mereka, takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.” Turun di Qhadir Khum.[5] Dan pandangan ini secara mayoritas diterima oleh ulama tafsir dan sejarah Sunni.[6]
Menurut riwayat, ketika Nabi saw kembali dari menunaikan ibadah haji perpisahan pada tahun terakhir hayatnya yakni sekitar dua bulan sebelum wafatnya. Beliau wafat pada 28 Safar atau menurut sunni 12 Rabiulawal. Nabi saw sampai di Ghadir Khum pada 18 Zulhijjah, yaitu dua bulan sepuluh hari sebelum wafat atau dua bulan dua puluh empat hari menurut mazhab Sunni.[7] Tempat ini terletak di dekat Juhfah, lalu Nabi memerintahkan kepada kafilah untuk berhenti untuk menyampaikan suatu masalah. Nabi juga memerintahkan dibuatkan mimbar, setelah itu ia naik dan memulai khutbahnya;
Nabi berkata; “Bukanlah aku lebih utama atas diri kalian dibanding kalian sendiri?” Semua yang hadir menjawab ”Ya” Lalu Nabi berkata “Barang siapa yang mengganggap aku lebih utama atas dirinya, maka inilah Ali (bin Abi Thalib) pemimpinnya”. Pada riwayat yang lain; Rasul bersabda; “Ali adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku pemimpinnya” pada saat inilah turun ayat al-Qur’an “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah takut kepada mereka, takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.”[8]
Sebab turunnya ayat ini dicatat hampir secara ijma’ oleh seluruh sejarwan Islam baik Sunni maupun Syi’ah. Argumentasi Syi’ah yang didasarkan pada latar belakang sejarah merupakan jalan terbaik dalam menengahi interpretasi-interpretasi lepas yang dilakukan beberapa penafsir ataupun pemikir dengan melakukan pendekatan linguistik maupun semata. Sebab sejarah lebih patut dipegang dari pada interpretasi personal.
Bila ada yang mengatakan bahwa frase “pada hari ini” artinya bukanlah hari ini, lantas apa artinya? Berkenaan dengan saat turunnya ayat ini, ternyata bukan satu atau dua, melainkan puluhan riwayat mutawatir mengatakan bahwa ayat ini turun di Ghadir Khum pada hari Nabi saw menunjuk Imam Ali as sebagai penggantinya.
2. Dalam ayat tersebut sendiri, ada indikasi-indikasi internal yang menguatkan apa yang ditegaskan oleh sejarah. Ayat ini mengatakan “Pada hari ini kaum kaum kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu.”
Kita melihat bahwa beberapa ayat yang lain mengatakan, orang-orang kafir ingin menghancurkan agama kaum Muslim. Ayat yang sedang dibahas ini mengatakan bahwa sekarang mereka telah kehilangan harapan untuk menghancurkan agama Islam dan aktifitas permusuhan mereka terhadap muslimin telah berakhir. Jadi “janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku” firman Allah; “Takutlah kepada-Ku” maksudnya apa? Apakah Allah musuh agama-Nya sendiri? Bukan ayat ini menetapkan prinsip dasar yang sama berkenaan dengan nikmat Allah SWT yang telah disebutkan dalam begitu banyak ayat lainnya.
Penutup
Imamah yang dibicarakan oleh Syi’ah atau setidak-tidaknya oleh para Imam mereka, berbeda dengan apa yang dibahas oleh kaum Sunni. Imamah juga berbeda dengan pemerintahan, yang begitu telah banyak diseminarkan dewasa ini, terutama dalam menarik garis pemisah antara mazhab Syi’ah dan Sunni.
Permasalah kepemimpinan dalam Sunni sangat sederhana dan sangat manusiawi dan bisa dikatakan kering dari nilai-nilai langit. Khilafahan sebagai klaim Sunni, adalah peristiwa kepemimpinan manusia yang lepas dari ukuran nilai-nilai firmani. Dan semangat mereka mempertahankan keabsahan kekuasaan Abu baker, Umar dan Utsman, menarik mereka ke dalam permasalahan politis, “kepemimpinan adalah kekuasaan”.
Sunni berpendapat bahwa aspek-aspek metafisis manusia yang disebutkan Allah SWT dalam kaitannya dengan Adam as, Ibrahim as, dan lainnya hingga Muhammad saw, sudah berakhir. Sekarang manusia hanya biasa-biasa saja. Paling banter, ada yang menjadi ulama karena memiliki pengetahuan. Mereka kadang berbuat keliru, dan terkadan gtidak. Ada yang menjadi penguasa, sebagian ada yang tanpa cela sebagian ada yang tercela. Kaum Sunni tidak mempercayai adanya Hujah Allah SWT yang punya kontak dengan alam metafisis. Mazhab ini berpendapat bahwa dengan wafatnya Nabi saw maka semua ini sudah berakhir.
Dalam pandangan Syi’ah, pada dasarnya, masalah Imamah ada karena adanya masalah kenabian, bukan berarti bahwa keimamahan lebih rendah dari kenabian, namun dalam arti bahwa imamah adalah seperti kenabian. Para Nabi besar adalah nabi sekaligus imam. Imamah adalah suatu keadaan spiritual. Dalam hubungan ini imam menggarisbawahi kensep tentang manusia paripurna. Suatu kesadaran kemanusiaan yang tidak pernah putus dengan aktifitas langit!
[1] . QS. Al-Maidah: 3
[2] . lihat Ara’ Haula al-Imamah, Mahdi Isfahani, 28.
[3] . Qs. al-Fath: 1-2
[4] . QS. Al-Hadid: 10
[5] . Mukaddimah kitab, Madkhal ila Dirasah Nash al-Ghadir.
[6] . al-Imamah wa al-Khilafah, Ayad al-Manshuri, hal. 21
[7] . Sirah Nabawiyah, Najah Attai, 2/132
[8] . Ibid hal. 133